Pamrih Itu Bibit Dosa
Bumi ini bakal jadi
tempat paling indah sejagad raya kalau saja semua orang mau menabur kebaikan
seperti matahari. Lihat matahari kita. Dia memancarkan cahaya dan panas tanpa
pamrih ke seluruh penjuru semesta, tak peduli dengan memancarkan energi maha dahsyat
itu dia sebenarnya sedang membakar dirinya sendiri sampai habis, sampai
paripurna tugasnya.
Saya pribadi masih
sulit mengingat kapan terakhir kali berbuat kebaikan tanpa mengharapkan
“sesuatu” sebagai imbas hasilnya. “Sesuatu” itu tidak mesti kasat mata.
Harapan, angan-angan dan kata-kata yang kita harapkan dari orang yang menerima kebaikan juga berarti “sesuatu”
bukan?
Suatu hari kawan
kantor meminta bantuan pinjaman duit kepada saya. Kebetulan saat itu saya juga lagi
ada, jadi saya bersedia membantunya. Sebagai rekan seperjuangan kita mesti
tolong menolong dong. Siapa tahu
besok-besok saya yang mengalami masalah, kepada siapa lagi saya harus meminta
tolong kalau bukan kepada kawan-kawan saya.
Itu pikiran spontan saya. Tapi setelah dipikir-pikir, apa sebenarnya
motivasi saya menolong? Apakah karena merasa memang wajib membantu kawan yang
kesusahan atau saya mengharapkan sesuatu di balik pertolongan itu?
Ternyata dalam
skala tolong menolong yang kecil pun motivasi kita berbuat kebaikan seringkali terdistorsi
dengan letupan-letupan keegoisan kita. Walaupun kita sedang mengarahkan energi
untuk menolong orang lain, ujung-ujungnya kita malah balik memikirkan
kepentingan diri sendiri.
Lalu bagaimana bisa
jadi bibit dosa? Untuk menjawab itu saya narasikan sebuah kisah. Kisah ini
berangkat dari realita yang ada, hanya bagian ending-nya saja saya beri sedikit sentuhan fiksi. Jadi harap
membacanya dengan tenang, dear
kompasianer.
Seorang tokoh masyarakat
yang begitu dihormati, sebut saja
namanya Bram, mendapat tawaran dari seorang negarawan yang punya cita-cita
luhur dan mulia untuk Indonesia tercinta. Negarawan tersebut bersama laskarnya
membangun sebuah rumah bersama, sebuah partai baru yang langsung mendapat
respon hangat dari masyarakat. Sebut saja nama partainya X. Pak Bram pun diajak
untuk ikut serta membangun rumah bersama tersebut. Jiwa pak Bram terbakar oleh
idealisme partai dan mulai bekerja keras tak kenal lelah membesarkan partai X.
Sebagai partai muda, tentu infrastruktur
partai masih banyak yang harus dibenahi dan dikembangkan. Pak Bram pun
mengorbankan tidak saja pemikiran dan waktu tapi juga tenaga dan materi untuk
partainya.
Setelah sekian lama
berjalan, partai X semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Kaderisasi
berjalan baik dan Pak Bram pun didaulat menjadi ketua DPD. Tapi kaderisasi
menjadi belati bermata dua untuk pak Bram. Setelah kemimpinan partai berjalan
satu periode, tumbuh banyak potensi pemimpin baru dari dalam partai. Mereka
adalah orang-orang muda, energik, berpikiran terbuka dan lebih suka menghadapi
tantangan. Pak Bram sebenarnya masih ingin mengecap indahnya kepemimpinan karena
dia merasa masih banyak cita-cita partai yang belum tercapai maksimal. Apalagi gaung
partai X semakin terdengar di seantero nusantara. Tapi nampaknya angin sudah
berubah haluan. Orang-orang partai lebih memilih generasi baru ketimbang pak Bram
untuk memimpin periode berikutnya.
Saat yang lain larut dalam
keriaan pesta pelantikan, pak Bram malah berduka. Dia merasa orang-orang itu telah
mengkhianatinya. Dia merasa tidak ada lagi
yang menghargai keringat dan pengorbanannya membesarkan partai. Lalu seperti
kilat yang membelah langit, seketika itu juga idealismenya berubah 180 derajat.
Dia tiba-tiba merasakan amarah yang menyala-nyala di dalam dirinya. Amarah itu
harus disalurkan, jika tidak dia bisa terkena penyakit stroke mendadak. Dia pun
menyorot tajam kepada anak muda yang kini tengah gembira merayakan kemenangannya
menjadi ketua DPD yang baru. Yah, anak muda itulah sasaran tembaknya. Tinggal tunggu
saja tanggal mainnya. Pak Bram orang yang berpengaruh, berkuasa dan kaya. Jadi
dia bisa berbuat apapun yang dia inginkan untuk membalas kekalahannya.
Nah, pada awal
kisah, kelihatannya Pak Bram adalah contoh sempurna orang yang memperjuangkan
kebaikan dan idealisme tanpa pamrih. Padahal batas antara pamrih dan tidak
pamrih itu setipis kulit bawang. Batas itu hanya akan teruji begitu keadaan berbalik.
Dari kaya jadi miskin, kalah jadi menang, di atas jadi di bawah, budak jadi
orang merdeka, pemimpin menjadi pengikut dan pemberi bantuan jadi orang yang
butuh bantuan. Saat pak Bram merasa tersisihkan, wataknya berubah seketika.
Dari seorang pemimpin yang dihormati ternyata bisa jadi seorang pendendam yang
gelap mata. Artinya pak Bram sebenarnya berbuat kebaikan dengan mengharapkan
“sesuatu”, bukan murni untuk membangun dan mengembangkan rumah bersama. Kalau
tidak ada pamrih, mestinya dia lebih legowo
memberi kesempatan kepada orang muda untuk meneruskan perjuangannya. Dia
harusnya ikut bergembira menyambut pemimpin baru partai.
Bibit-bibit dosa
akibat pamrih akan bertumbuh begitu harapan si pemberi kebaikan tidak terpenuhi
dalam diri si penerima kebaikan. Manifestasinya bisa macam-macam. Ada orang yang
suka menyumpahi orang lain atau berdoa agar orang lain secepatnya disambar
kereta api. Padahal baru berpikir negatif saja sudah dosa, apalagi kalau
benar-benar mengeksekusi pikiran-pikiran tersebut.
Inilah yang terjadi
pada orang yang berbuat kebaikan dengan pamrih. Pemuda yang menolong seorang
gadis agar cintanya terbalas, pengusaha yang berbuat baik kepada kepala daerah
agar proyeknya diluluskan, public
figur yang menyambangi panti asuhan biar diliput media dan seabrek contoh lain.
Tapi bukan berarti perbuatan-perbuatan baik mereka itu salah. Perbuatan baiknya
sudah benar, motivasinya yang keliru.
Perbuatan baik yang
dilandasi motivasi tulus untuk menolong dapat dilihat pada seorang ibu yang
penuh cinta membesarkan anak-anaknya, tuan rumah yang memberi tumpangan gratis
kepada orang asing yang kemalaman atau seorang pemuda yang membantu bapak tuna
netra menyeberang jalan. Perbuatan baik
mereka tidak dilandasi kepentingan macam-macam.
Dengan memiliki
motivasi demikian, orang-orang bisa berbuat baik bisa lebih nothing to lose. Jika besok-besok
perbuatan baik mereka tidak terbalas, ya tidak ada masalah. Biarlah nanti amal
kebaikan itu dibalas oleh Tuhan yang empunya kehidupan ini. Eh, itu juga
namanya ngarep ya? Berarti pamrih
juga. Tapi kalau pamrih sama Tuhan rasanya bisa jadi pengecualian dalam hal
ini.
Akhirnya kita akan semakin
menemukan makna kebersamaan jika semua orang berbuat baik tanpa pamrih kepada
sesamanya. Walaupun memang rasanya sulit diamalkan, tidak ada salahnya mulai
mencoba dengan hal-hal kecil kepada orang-orang terdekat kita.
Mari jadikan dunia tempat yang lebih indah dengan menabur kebaikan. (PG)
Setuju sekali...pamrih nggak ada manfaatnya..
ReplyDeleteKita sepakat ya. Trims sudah mampir mbak Fabina.
Delete