Mengajar Orang Dewasa, Susah-susah Gampang
Mengajar sebagai sebuah aktivitas transfer
mentransfer ilmu memiliki tantangannya sendiri. Para pengajar pasti sangat
paham hal ini. Oleh karena itu ada ilmu khusus bahkan jenjang pendidikan khusus
yang harus dipelajari oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ajar
mengajar.
Saya sama sekali tidak memiliki basic pendidikan khusus tersebut tapi tuntutan
job mengharuskan saya ikut memikirkan strategi pendidikan dan
pelatihan di Credit Union kami. Mulai dari modul dan jenis-jenis diklat yang dibutuhkan oleh
anggota Credit Union, sampai evaluasi efektifitas diklat terhadap perkembangan
Credit Union kami.
Resistensi
Salah satu penyebab masalah yang biasa muncul
di lapangan adalah peserta diklat yang didominasi oleh orang dewasa dan tua. Jurus-jurus
mengajar secara paedagogis tidak berlaku disini. Apalagi bila fasilitator atau
orang yang berdiri di depan kelas adalah orang yang usianya jauh lebih muda, bisa
terpaut beberapa tahun, sepuluh sampai dua puluh tahun. Tentu muncul “mental block” yang disebabkan mereka menganggap
orang yang lebih muda masih minim pengalaman dan wawasan.
Kalau materi yang dibawakan berbentuk
sosialisasi kebijakan, atau hal-hal yang sifatnya teknis praktis pada umumnya
tidak terjadi banyak resistensi dari peserta. Toh materinya sudah sakleg seperti itu. Namun masalah seringkali muncul saat materi
yang dipresentasikan adalah materi yang berupa konsep, perubahan mindset, penyamaan persepsi atau
materi-materi sejenis. Kalangan orang tua apalagi yang sudah cukup sepuh merasa
mereka tidak perlu lagi diajari hal-hal semacam itu karena mereka sudah cukup
kenyang makan asam garam kehidupan ini. Indikator resistensi mereka yang
langsung kelihatan misalnya enggan menyimak penjelasan, suka protes tanpa dasar
yang jelas, enggan mengikuti instruksi fasilitator atau suka memotong ucapan
fasilitator saat sesi berlangsung.
Misalnya saat fasilitator membawa materi
menetapkan tujuan keuangan dengan merancang target-target kehidupan, satu dua
peserta terlihat enggan mengikuti instruksi untuk menuliskan target kehidupan
mereka pada kertas kerja yang dibagikan. Alasannya tidak perlu lagi menuliskan
target kehidupan karena usia sudah lanjut. Padahal, selama masih hidup kita pasti
selalu punya perencanaan untuk hari esok bukan? Atau contoh lain, fasilitator
membawa materi konsep menabung yang baik yaitu pendapatan dikurangi tabungan,
sisanya barulah digunakan untuk belanja atau kebutuhan lain. Belum seluruh
konsep dipaparkan, sudah ada yang protes.
“Zaman sekarang susah kalau mau menabung model begitu. Harga barang pada
naik, sementara pendapatan begitu-begitu saja,” kilah beberapa orang itu.
Jangan bayangkan tim fasilitator kami
secanggih orang-orang yang memang terlahir sebagai motivator seperti Tung Desem
Waringin, Mario Teguh atau Merry Riana. Sebagian besar pelatihan kami,
khususnya untuk anggota hanya difasilitasi oleh aktivis atau manajemen
potensial yang direkrut secara khusus. Tugas utama mereka adalah berbagi dan
menduplikasi materi-materi yang lebih dulu disodorkan kepada mereka. Tentu ada
pelatihan-pelatihan khusus untuk selalu mengasah kompetensi fasilitator-fasilitator
ini. Tapi berhadapan dengan situasi-situasi khusus seperti yang sudah
dicontohkan di atas, memerlukan tidak hanya skill
presentasi tapi juga jam terbang yang memadai. Apalagi budaya ketimuran kita
menyangkut penghargaan terhadap orang tua masih cukup mengakar kuat. Sehingga
jika tidak mampu diatasi secara tepat, situasi resistensi ini dapat membuyarkan
konsentrasi fasilitator.
Strategi Andragogi
Menjawab hal tersebut, modul diklat harus
dibuat untuk membantu fasilitator memberikan pendekatan yang sesuai untuk orang
dewasa dan tua. Jurus-jurus andragogi harus lebih banyak digunakan agar pesan
dari setiap materi sampai ke pikiran peserta lalu menukik masuk ke hati mereka
tanpa resistensi yang berlebihan.
Oleh karena itu pada materi-materi tertentu
metode ceramah ditinggalkan. Fasilitator mesti lebih memberi ruang kepada
peserta untuk berdiskusi, mengeluarkan isi kepala mereka dengan lugas, lalu
mereka saling menanggapi satu sama lain dan memberi kesimpulan. Fasilitator jadi
polisi lalu lintasnya. Memberi rambu-rambu yang harus diikuti seperti peraturan
selama sesi berlangsung dan pertanyaan-pertanyaan diskusi yang terkait dengan
materi. Pertanyaan-pertanyaan ini harus di-setting
sedemikian rupa agar alur berpikir peserta lebih runtut sehingga pada akhirnya
sampai pada kesimpulan yang diinginkan. Kemungkinan peserta untuk menjadi
resisten berkurang, karena setiap peserta diberi ruang untuk berpendapat dalam
atmosfir diskusi yang sudah dikondisikan. Pada akhir sesi fasilitator cukup
menegaskan kesimpulan tersebut dan menghubungkannya dengan tujuan materi.
Metode diskusinya bisa langsung dilakukan
secara pleno, atau dibuat berjenjang, diawali dengan diskusi dalam
kelompok-kelompok kecil lalu hasil diskusi tersebut dilaporkan oleh wakil
kelompok untuk ditanggapi seluruh kelas.
Strategi andragogi inilah yang kemudian terbukti
manjur diterapkan. Apalagi cara belajar orang dewasa sudah jauh berubah
dibanding cara belajar semasa sekolahan dulu. Orang dewasa lebih suka
menghubungkan materi-materi diklat yang diterima dengan pengalamannya. Orang
dewasa juga lebih suka menerima materi yang dekat dengan dunianya.
Dengan memposisikan mereka sebagai subjek
bukan semata objek penerima materi, mereka akan lebih membuka diri terhadap masukan
dan lebih tergugah menerima materi yang disampaikan. Kembali pada contoh
diatas, ketimbang langsung memberi ceramah mengenai konsep menabung yang ideal.
Fasilitator dapat mengajak peserta diklat melakukan diskusi kecil. Pertanyaannya
misalnya seperti ini: Mana konsep menabung yang ideal menurut anda: 1)
Pendapatan à Belanja à Menabung, atau 2) Pendapatan à Menabung à Belanja?
Apa alasannya? Lalu dapat ditambahkan pertanyaan seperti ini Bagaimana
kiat-kiat mewujudkan cara menabung yang ideal tersebut?
Nah, dengan mengajukan pertanyaan tersebut, fasilitator
membuat pikiran peserta diklat bergerak aktif memikirkan jawabannya. Untuk
pertanyaan pertama sebenarnya memang kelihatan jelas yang mana jawabannya. Tapi
cara ini lebih memanusiakan dibanding langsung mencekoki otak peserta dengan
jawabannya. Pertanyaan kedua mengarahkan peserta untuk memutar kembali film
kehidupannya, siapa tahu ada pengalaman-pengalaman yang bisa digunakan sebagai
jawaban. Bisa juga peserta jadi berpikir kiat apa saja kira-kira yang bisa
dilakukan untuk mewujudkan strategi menabung tersebut. Dengan demikian
penolakan terhadap konsep hampir pasti tidak ada lagi. Sekalipun fasilitator
usianya mungkin jauh lebih muda. Pada bagian kesimpulan, fasilitator tinggal menegaskan
dan menambahkan bila perlu. That’s it.
Tapi
bagaimanapun juga dunia ajar mengajar itu begitu kompleks. Pelaku-pelaku yang
berkecimpung dalam dunia itu dimatangkan bukan saja dengan materi dan konsep,
tapi juga dengan pengalaman demi pengalaman. Sesuatu yang kelihatan ideal di
buku manual, mungkin jadi tidak ideal begitu praktik mengajar dilakoni. Begitu
pula sebaliknya. Tidak sedikit strategi-strategi pengajaran yang tepat
ditemukan saat berada di lapangan. Strategi ini kemudian dikembangkan lagi
melalui kajian-kajian dan penelitian yang juga melibatkan orang-orang di belakang
meja, lalu diuji kembali di lapangan dan seterusnya. Demikian siklus manajemen
pengetahuan. (PG)
Post a Comment