Blogging Menggunakan Dikotomi Kendali dari Filosofi Stoa
Filosofi Stoisisme (atau biasa disebut juga Stoa) berusaha menyikapi segala peristiwa (baik atau buruk) secara objektif. Segala sesuatu yang berada di alam semesta ini terhubung satu sama lain dan berjalan sesuai garisnya masing-masing. Jadi tidak perlu mengutuk kehidupan jika keadaan berjalan tidak sesuai rencana atau keinginan kita. Kita tidak bisa mengendalikan segala hal di luar sana, jadi lebih baik menyikapinya dengan mengelola apa yang berada dalam kendali kita sepenuhnya yaitu pikiran, perkataan dan perilaku kita.
Tidak heran sebagian orang menyebut
Stoa sebagai “filosofi pasrah”. Dalam beberapa hal mungkin saja label tersebut benar.
Tapi secara kontekstual, Stoa sangat berbeda dengan pasrah. Stoa justru mendorong
kemandirian setiap pribadi untuk memilih respons dalam menghadapi segala
sesuatu.
Referensi saya saat berkenalan dengan
Stoa adalah buku best seller bertajuk Filosofi Teras yang ditulis
oleh Henry Manampiring. Ada kisah menarik tentang jati diri Stoa yang ditulis
dalam buku tersebut. Alkisah, saat perang Vietnam terjadi, salah satu pesawat
tempur pasukan Amerika Serikat berhasil ditembak jatuh di wilayah Vietnam. James
Stockdale, pilot pesawat tempur yang naas tersebut selamat tapi akhirnya jadi
tawanan pasukan Viet Cong.
Sebagai tawanan perang, Stockdale
ditempatkan di ruang isolasi, dikeroyok pasukan musuh dan disiksa berkali-kali secara
fisik dan moral (sampai harus pincang seumur hidup). Masa-masa tergelap dalam
hidupnya itu berjalan selama kurang lebih 7 tahun sebelum dia dibebaskan. Beruntung,
Stockdale sudah mempelajari ilmu Stoa sebelumnya sehingga mengaplikasikan ilmu
tersebut saat menjadi tawanan. Jika hanya sampai pada “pasrah” saja, kemungkinan
besar dia tidak akan selamat melewati berbagai penyiksaan tersebut.
Stockdale menerapkan cara mengelola
pikiran ala Stoa sehingga bisa tetap bertahan, bahkan masih bisa memberikan
dukungan dan membesarkan moral tawanan perang lain yang sudah nyaris menyerah
pada keadaan.
Cara pandang atau perspektif inilah
yang membuat Stoa berbeda dengan pasrah. Bagi kaum Stoa, bencana adalah fakta
yang sifatnya objektif. Cara pandang kita-lah yang membuat bencana itu menjadi
subjektif.
Dikotomi Kendali
Dikotomi kendali adalah salah satu
prinsip yang dapat membantu kita menyelami Stoa lebih dalam. Para filsuf Stoa
mengelompokkan segala hal dalam kehidupan menjadi dua, yaitu hal-hal yang tidak
bisa kita kendalikan dan hal-hal yang bisa kita kendalikan.
Hal-hal yang tidak bisa kita
kendalikan misalnya: opini dan tindakan orang lain, kondisi ekonomi makro,
bencana alam, nilai jual saham, harga emas, tempat dan waktu lahir kita, jodoh
tetangga di samping rumah dan seterusnya. Sedangkan hal-hal yang bisa kita
kendalikan misalnya: opini kita, persepsi kita, cara kita menanggapi sebuah
isu, kata-kata yang kita ucapkan dan perilaku kita.
Pada referensi yang lain ada yang menyebutnya
trikotomi kendali, dengan menambahkan hal-hal yang bisa kita kendalikan
sebagian misalnya hasil ujian kita, kekayaan atau kesehatan kita. Tapi pada
dasarnya prinsip ini tetap mengacu pada prinsip dikotomi kendali di atas.
Dengan memahami dan menghayati
dikotomi kendali ini, kita akan melihat dunia kita dari sudut pandang yang
baru. Yang terjadi selama ini adalah kita cenderung mengeluarkan emosi negatif:
marah, stres, uring-uringan pada hal-hal yang sebenarnya berada di luar kendali
kita. Misalnya: terjebak macet berjam-jam, kinerja kita tidak dihargai
pimpinan, tetangga yang gemar berghibah, harga-harga sembako naik, calon
presiden kita kalah suara dan seterusnya. Menurut filosofi Stoa, merespons
secara negatif peristiwa-peristiwa tersebut adalah sebuah kesia-siaan karena peristiwa
tersebut tidak akan berubah (ingat, bukan di bawah kendali kita). Justru kita yang
akan dirugikan: karena stres asam lambung naik, jadi pikiran dan tubuh terganggu.
Belum lagi kalau kita melampiaskannya pada hal-hal yang bisa merugikan diri
sendiri seperti konsumsi alkohol berlebihan dan lain-lain.
Dibanding merespons sebuah
peristiwa secara negatif, lebih baik kita fokus mengelola apa yang bisa
kendalikan dalam menyikapi peristiwa. Sekali lagi yang bisa kita kendalikan
adalah cara pandang, mindset dan perilaku kita. Dengan tetap jernih
melihat segala situasi, kita bisa tetap tenang menghadapi segala masalah
sehingga bisa menemukan solusi yang terbaik bagi diri kita maupun orang lain.
Lihat kembali kisah James Stockdale di atas.
Aplikasi Dalam Dunia Blogging
Prinsip dikotomi kendali ini
berlaku pula di media sosial, tempat kita berinteraksi dengan warganet yang
lain. Dalam relasi dengan warganet yang lain, hal-hal yang berada dalam kendali
kita misalnya: konten yang kita tayangkan, cara kita merespons konten orang
lain, komentar kita, circle pertemanan atau siapa-siapa saja yang akan
kita ikuti dan seterusnya.
Sedangkan yang tidak berada di
dalam kendali kita misalnya: komentar warganet yang lain, jumlah likes,
jumlah follower dan seterusnya.
Demikian pula dalam dunia tulis
menulis atau dunia blogging. Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan,
misalnya: seberapa jauh kita melakukan riset untuk tulisan kita, berapa banyak
tulisan yang akan kita hasilkan dalam sebulan, seberapa sering kita melakukan blogwalking
dan seterusnya. Tapi ada pula hal-hal yang tidak berada di dalam kendali kita,
misalnya: berapa banyak orang yang akan mampir ke tulisan kita, tulisan kita
bakal viral atau tidak, komentar orang lain terhadap tulisan kita, tulisan kita
akan diplagiat atau tidak dan seterusnya.
Dengan prinsip dikotomi kendali, kita
harus lebih banyak fokus pada pada hal-hal yang bisa dikendalikan untuk
meningkatkan performa blog kita.
Untuk kualitas tulisan, misalnya. Kita
harus mencari kiat bagaimana meningkatkan kualitas tulisan dari waktu ke waktu.
Salah satu kiatnya adalah sering membaca tulisan-tulisan jurnalis atau blogger
yang sudah senior agar referensi, kosa kata dan sudut pandang kita lebih kaya. Kemudian
jika tulisan kita mengacu pada sejumlah informasi atau data, kita harus melakukan
riset yang lengkap agar tulisan lebih berbobot.
Berikut, bagaimana agar tulisan
kita lebih ramah SEO. Beberapa kiat yang bisa dilakukan adalah memilih
kata-kata kunci (keyword) yang tepat, rajin promosi atau membagikan
tulisan di media sosial dan jaringan pertemanan serta mengoptimalkan gambar
atau ilustrasi yang tepat dan aman dari masalah lisensi.
Hal-hal lain yang bisa dilakukan
adalah mempelajari waktu jam tayang tulisan yang tepat. Tidak lupa rajin
berkomentar dan memberi vote pada artikel kawan-kawan yang lain agar mereka
ngeh dengan keberadaan kita.
Ini beberapa contoh aksi yang
sepenuhnya berada dalam kendali kita saat melakukan aktivitas blogging.
Dengan melakukan kiat-kiat tersebut, kita sudah mengambil bagian yang tepat
dalam dikotomi kendali. Hasil dari segala ikhtiar tersebut biarlah berjalan
sesuai garisnya, karena hal tersebut bukan berada di bawah kendali kita.
Dengan memahami hal ini, kita bisa
lebih bijak menyikapi nasib tulisan kita setelah ditayangkan, baik atau buruk
hasilnya. Jika artikel yang sudah ditayangkan sepi pembaca, misalnya, kita
tidak perlu sedih berkepanjangan. Tidak perlu sampai bad mood seharian
atau semingguan, mogok makan, mogok minum bahkan mogok menulis lagi.
Sedih secukupnya saja. Setelah itu
waktu yang dimiliki kita alokasikan untuk assesment dan evaluasi apa
kira-kira yang menyebabkan tulisan kita minim pembaca. Setelah itu kembali
fokus pada apa yang berada di bawah kendali kita dan apa yang bisa kita
lakukan.
Kalau fokus kita ada pada hal-hal
yang tidak bisa kita kendalikan, justru nanti kita bisa jatuh pada hal-hal yang
kurang etis dilakukan. Misalnya membuat akun-akun palsu untuk meramaikan
tulisan sendiri atau menulis judul yang clickbait untuk meraup klik dari
warganet.
Wasana Kata
Prinsip dikotomi kendali dari filosofi
Stoa dapat digunakan secara luas dalam kehidupan. Aplikasinya dapat digunakan
dalam segala hal, termasuk dalam dunia blogging. Dengan memahami
dikotomi kendali, kita dapat memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita
kendalikan dibanding hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita berharap
dengan ikhtiar yang maksimal, tulisan kita dapat lebih menjangkau dan
bermanfaat bagi banyak orang.
Tapi dalam dikotomi kendali, apapun nanti nasib tulisan kita berada di luar kendali kita. Jadi jangan sampai kecewa atau sedih berlebihan jika hasilnya tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Jangan sampai hal-hal tersebut membuat semangat kita untuk berkarya dan menebar kebaikan lewat tulisan jadi kendor. (PG)
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment