Ini Pesan Khalil Gibran Tentang Memiliki Anak
Memiliki anak atau childfree adalah pilihan bebas setiap pasangan. Pilihan itu tidak akan menjadi masalah, selagi pasangan yang melakoninya bahagia dan bertanggungjawab dengan pilihan tersebut. Toh keduanya benar dalam sudut pandangnya masing-masing. Yang menjadi masalah kalau barisan kedua kubu saling serang dan saling menjatuhkan satu sama lain.
Tidak bisa dipungkiri walaupun
sudah kian santer terdengar, fenomena childfree tidak akan diterima
dengan mudah dalam budaya kita yang sangat menunjung tinggi tradisi dan
nilai-nilai kekeluargaan. Dalam banyak budaya kita kehadiran anak memiiliki
peran strategis dalam menegaskan eksistensi sebuah keluarga.
Pertanyaan seperti “sudah isi
belum?” dan sejenisnya cukup sering dilontarkan pada pasutri-pasutri baru. Walaupun
sering kali jadi terkesan basa-basi, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat
menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat kita yang menganggap anak adalah
pelengkap keluarga. Tanpa kehadiran anak, keluarga belum utuh.
Jadi para penganut childfree,
terutama yang tinggal di Indonesia, pasti sudah paham dengan situasi tersebut
dan siap dengan segala konsekuensinya.
Nah, kita kembali ke judul tulisan.
Apa pesan Khalil Gibran tentang memiliki anak?
Kalau ada pembaca yang langsung menebak
ini ada kaitannya dengan puisi Anakmu Bukanlah Anakmu, 100 untuk
anda. Puisi karya maestro sastra asal Lebanon tersebut langsung muncul di pikiran
begitu membaca tulisan-tulisan tentang childfree yang beberapa hari ini
cukup ramai diperbincangkan.
Seingat saya pertama kali membaca
puisi tersebut saat SMA. Seperti banyak karya-karya Khalil Gibran yang lain,
puisi ini langsung meninggalkan kesan mendalam di benak saya saat itu.
Permainan kata dan metafora ala Khalil Gibran selalu berhasil membawa pembacanya
seperti berpindah dimensi dan duduk dalam ruang pemikiran sang penulis sendiri.
Sayang saya tidak punya bukunya
lagi saat ini. Jadi buat yang belum pernah membacanya, saya tuliskan ulang
puisinya di sini. Puisinya saya salin dari geotimes.id dari https://geotimes.id/kolom/anakmu-bukanlah-anakmu/
Anakmu bukanlah anakmu
Mereka putera-puteri Kehidupan yang rindu kehidupan itu sendiri
Mereka datang melaluimu
namun bukan darimu
Dan meski mereka bersamamu namun mereka bukan milikmu
Kau boleh memberi
mereka cinta tapi bukan pikiranmu
Sebab mereka punya pikiran sendiri
Kau bisa memberi tempat
bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka
Sebab jiwa mereka hidup
di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi
Kau boleh berikhtiar
untuk menjadi diri mereka namun jangan pernah berupaya menjadikan mereka
seperti dirimu
Sebab hidup tak
berjalan mundur ataupun teronggok di masa silam
Kau adalah busur yang
melesatkan anak-anakmu, sebagai anak panah kehidupan yang meluncur ke masa
depan
Lengkung busur itu
mencari tanda di atas jalan lurus yang tak berujung, dan Dia melengkungkanmu
dengan dayaNya agar panah-panahNya melesat cepat dan jauh
Berlengkunglah dengan
riang bersama lengan busur itu
Sebab Dia bukan hanya
mencintai anak panah yang melesat, tapi juga sang busur yang diam
Luar biasa, bukan? Sejak awal
puisi, Khalil langsung gaspol dengan baris-baris puisi yang mengungkapkan bahwa
kelak anak akan menjadi pribadi yang benar-benar mandiri. Orang tua tidak boleh
mengatur, mengekang, atau mengubah anak menjadi seperti yang orang tua
inginkan. Ilmu parenting pun sepakat dengan pesan ini.
Coba lihat lagi baris-baris
puisinya
Kau boleh memberi
mereka cinta tapi bukan pikiranmu
Sebab mereka punya pikiran sendiri
Kau bisa memberi tempat
bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka
Sebab jiwa mereka hidup
di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi
Kemudian sebagai penegasan
sekaligus mengangkat puisi ini menjadi lebih holistik, Khalil Gibran
menganalogikan anak sebagai anak panah, orang tua sebagai busur dan Tuhan
sebagai Sang Pemanah. Kita pernah mendengar ungkapan bahwa anak itu titipan
Ilahi. Nah, ungkapan tersebut klop dengan analogi ini.
Sekarang mari kita coba menginterpretasi
puisinya dikaitkan dengan fenomena yang sedang ramai diperbincangkan saat ini.
Kita skip untuk opsi childfree
ya, karena memang tidak kompatibel dengan puisinya. Kita fokus pada mereka yang
memilih untuk memiliki anak. Pasangan yang dikaruniai anak berarti mendapat
anugerah khusus dari Tuhan dan oleh karenanya anugerah tersebut harus dijaga
sepenuh hati.
Sayangnya, masih ada saja pandangan-pandangan
tertentu tentang memiliki anak yang sudah terlanjur diamini masyarakat kita. Misalnya,
punya anak biar nanti kalau orang tua sudah semakin tua ada anak yang merawatnya,
punya anak biar nanti ada yang meneruskan bisnis keluarga, punya anak biar
nanti anak-anak yang membiayai hidup orang tuanya dan seterusnya.
Jika mengacu pada puisi Khalil
Gibran di atas, pandangan seperti ini adalah pandangan yang salah. Zaman dan
kehidupan terus bergerak. Anak-anak kita di masa depan pasti punya
perjuangannya sendiri. Masalah-masalah
mereka di masa depan juga sudah pasti akan jauh berbeda dengan masalah-masalah
kita hari ini.
Jadi anggapan anak harus balas budi
sebenarnya mereduksi nilai dari relasi orang tua – anak itu sendiri. Mengasuh
anak jadi lebih mirip investasi, bukan karena sudah menjadi hakikat menjadi
orang tua sebagaimana analogi busur dan panah di atas.
Kalaupun anak nantinya akan berbakti
dengan merawat orang tuanya yang semakin menua, itu lebih karena faktor moralitas
si anak, bukan karena alasan yang sifatnya transaksional. Apalagi anak-anak juga
mungkin sudah mendapat pendidikan budi pekerti yang baik dari orang tuanya.
Jadi para orang tua yang saat ini
sedang seru-serunya membesarkan si buah hati, sudah siapkah kita melepas mereka
seperti busur yang melepas anak panah? Kita harus berjuang melengkungkan diri
selengkung-lengkungnya agar anak panah tersebut bisa melesat jauh lurus ke
depan saat dilepaskan. Mudah-mudahan pesan Khalil Gibran ini menginspirasi kita
semua. (PG)
Ilustrasi gambar oleh pramoddhamagaye
Pertama kali tayang di kompasiana.com
Post a Comment