Jangan Salah, Bernapas pun Dibayar
Lupakan sejenak kenaikan harga beras dan elpiji. Ada ancaman
lain yang mengintai kita dari balik tirai waktu. Ancaman itu bernama resiko kesehatan jangka
panjang, yang seringkali kurang dipersiapkan dengan baik tameng keuangannya.
Resiko ini tidak kasat mata karena bersifat akumulatif seiring waktu dan
lifestyle kita. Terutama untuk masyarakat metropolitan atau megapolitan yang
irama kehidupannya berderap cepat seperti genderang perang. Imbasnya, kita begitu akrab dengan
budaya instant dan praktis. Semua hal bisa dilakukan dengan cepat dan tersaji
sekejab mata. Yang penting ada duit, ada kartu debet dan ada kartu kreditnya.
Suatu kali, paman saya yang baru saja datang
dari daerah dengan nada guyon berkata kepada saya, “Di kampung, kita masih bisa
hidup sekalipun tidak punya uang. Yang penting masih kuat mencangkul. Nah, di
kota ini kalau tidak ada uang kita tidak bisa hidup lagi. Buat makan lombok
pun, mesti beli. Tinggal bernapas saja yang masih gratis.”
Tapi pembaca sekalian, terutama yang tinggal di perkotaan, sadar atau tidak sebenarnya
bernapas pun saat ini sudah tidak gratis lagi alias bayar. Saat kita menghirup
udara, berbagai unsur gas selain oksigen ikut masuk juga ke dalam paru-paru
kita. Di antara unsur-unsur tersebut ada unsur yang berbahaya bagi kesehatan
seperti karbonmonoksida (CO). Karbonmonoksida lebih mudah bersenyawa dengan
hemoglobin dibanding oksigen. Dengan demikian lebih mudah masuk ke peredaran
darah, bahkan sampai ke otak. Memang dampaknya tidak langsung terasa saat ini.
Tapi bila zat tersebut sudah menumpuk dapat menjadi racun dalam darah dan lebih
parah dapat memicu tumbuhnya kanker. Jadi saat kita bernapas saat ini kita
sebenarnya sudah mulai membayar biaya kesehatan jangka panjang. Hanya saja
pembayarannya tidak langsung, melainkan terakumulasi sampai pada saatnya nanti
tiba.
Resiko-resiko kesehatan jangka panjang ini
akan semakin besar untuk kita yang memang memiliki lifestyle atau kebiasaan yang kurang sehat. Seperti pecandu
alkohol, perokok (termasuk orang-orang disekitarnya), pencadu narkotika,
pecandu junk food, suka “jajan”
(jajannya pakai tanda kutip loh...^_^), dan sederet kebiasaan kurang baik
lainnya. Perhatikan total pengeluaran bulanan anda. Berapa persen kontribusi “biaya
kelakuan” ini dari total pengeluaran bulanan anda?
Biaya kesehatan jangka panjang ini harus
dipersiapkan tameng keuangannya yaitu tabungan kesehatan. Cara menghitung
penyisihannya adalah melihat tren biaya kesehatan dan resiko yang mungkin anda
alami dengan tetap memperhitungkan inflasi. Instrumen tabungannya bisa berupa
tabungan berjangka yang memang anda siapkan untuk biaya kesehatan, asuransi
kesehatan dan instrumen tabungan lainnya yang relevan. Mestinya penyisihan tabungan kesehatan ini
tidak lebih kecil dari biaya “kelakuan” setiap bulannya.
Sambil menyisihkan tabungan kesehatan kita juga
dapat melakukan strategi lain untuk menghemat biaya kesehatan jangka panjang
yaitu gaya hidup yang lebih sehat. Bisa dengan konsumsi makanan sehat,
mengurangi “biaya kelakuan” atau lebih
sering berolahraga. (PG)
_______________
Setuju, kita memang perlu memikirkan tabungan kesehatan. Yang sederhana dulu lah BPJS he he he
ReplyDeleteSipp. Udah daftar kan mbak Fabina?
ReplyDelete