Memikat Pembaca Fiksi Bertipe Visual dan Auditory
Salah satu tantangan dari penulis (khususnya bergenre fiksi) adalah menghadirkan situasi yang diharapkan di dalam ruang imajinasi para pembacanya. Ini bukan tugas yang mudah karena setiap orang memiliki peta pikiran dan pengalaman yang berbeda-beda yang kemudian membentuk cara berpikir yang berbeda-beda pula .
Cara untuk meminimalkan mispersepsi
dari pembaca adalah merangkai kata-kata yang presisi, mudah dipahami dan tentu
saja menarik.
Sebelum melanjutkan pembahasan
lebih jauh, silakan menyimak dua paragraf ilustrasi di bawah ini.
1
Siang itu, lampu
lalu lintas di perempatan jalan Seruni dan
Pierre Tendean tiba-tiba tidak berfungsi. Di sudut-sudut perempatan lampu hijau,
merah dan kuning yang mestinya menyala
bergantian mengatur hilir mudik pengendara, saat
ini hitam pucat.
Akibatnya bisa dibayangkan, arus lalu
lintas yang semula beraturan mulai jadi
kacau balau. Sejumlah pemotor dari arah utara menerobos
iring-iringan kendaraan. Mobil pick up berwarna putih dalam
iring-iringan terpaksa mengerem mendadak. Beberapa mobil di belakangnya juga ikut mengerem. Dari arah berlawanan mobil dan motor pun memaksa ke
depan, tidak peduli di tengah perempatan kendaraan sudah bertumpuk. Sejumlah
kendaraan yang tadinya mengikuti jejak pemotor juga terjebak di tengah. Suara
klakson mulai terdengar bersahut-sahutan. Kini perempatan jadi stuck,
tidak ada yang bisa maju atau mundur. Semua kendaraan
terjebak
kemacetan.
2
Siang itu, lampu
lalu lintas di perempatan jalan Seruni dan
Pierre Tendean tiba-tiba tidak berfungsi. Arus kendaraan di perempatan yang semula lancar menjadi mulai tidak terkendali.
Sejumlah motor dari arah utara menerobos iring-iringan kendaraan di
depannya menggemakan deru mesin yang ditimpali suara klakson bertubi-tubi. Ban mobil pick up berwarna putih yang beradu dengan
aspal jalanan karena direm mendadak pun
meninggalkan suara berdecit-decit tajam. Suara
klakson
kendaraan lain di belakang mobil pick up putih
ikut berbunyi nyaring. Dari
arah berlawanan mobil dan motor pun memaksa maju ke depan, tidak peduli di
tengah perempatan kendaraan sudah bertumpuk. Perempatan
itu kini benar-benar stuck.
Semua orang berlomba membunyikan klakson. Umpatan dan gerutuan para pengendara memenuhi
udara.
Tipe
Audiens
Dalam public speaking, seorang presenter harus
mengenali tipe-tipe audiens sebelum menyusun materinya. Audiens yang bertipe visual, lebih mudah memahami
materi lewat media presentasi yang kaya unsur visual seperti chart, gambar, simbol, permainan warna
dan sebagainya.
Audiens yang bertipe
auditory, lebih mudah memahami materi
jika disajikan dengan dominasi unsur
audio seperti musik, audio learning,
ceramah dan sebagainya. Ada satu tipe audiens
lagi, yaitu kinesketik.
Audiens dengan tipe ini lebih mudah memahami materi lewat metode yang banyak melibatkan
aktivitas fisik
seperti role play, simulasi dan
sebagainya. Tapi kita tidak akan banyak
membahas yang terakhir ini, karena kurang relevan dengan topik kita.
Presenter
yang baik harus piawai mengemas materi untuk ketiga tipe
audiens ini. Oleh karena itu media presentasi harus
variatif, tidak boleh monoton untuk satu tipe audiens saja. Ada unsur visual, audio dan diselingi dengan
pembelajaran dengan aktivitas fisik. Dengan demikian, semua tipe audiens dapat tertarik dengan materi yang disajikan.
Pembaca
Bertipe Visual dan Auditory
Nah, kita akan membawa
pembelajaran dalam public
speaking di atas untuk membantu
kita mengemas tulisan yang
tepat untuk para pembaca.
Lihat kembali dua dua
paragraf ilustrasi di atas. Dengan kejadian
yang sama, namun cara menyajikan yang berbeda, mana paragraf yang lebih mudah
menarik perhatian anda, 1 atau 2? Apa yang dapat anda simpulkan?
Benar, paragraf 1 menyajikan cerita dengan unsur visual
yang lebih mendominasi: lampu
lalu lintas, mobilitas pengendara dan
sebagainya. Sedangkan pada paragraf
2, unsur suara (audio) lebih mendominasi cerita.
Suara klakson, decit ban yang direm mendadak, suara umpatan dan sebagainya.
Jika pembaca cenderung bertipe
visual, maka pembaca akan lebih mudah tertarik dengan paragraf 1. Pembaca
bertipe visual lebih mudah menyerap
konten yang disajikan dengan stimulus pada indra penglihatannya. Sedangkan jika
pembaca cenderung bertipe auditory, maka pembaca akan lebih mudah tertarik
dengan paragraf 2. Pembaca dengan tipe auditory ini lebih mudah distimulus
indra pendengarannya, sehingga cenderung lebih mudah menyerap konten yang kaya
dengan sensasi suara/audio.
Pembaca bertipe visual akan
tertarik pada deskripsi tentang komposisi warna, keadaan pencahayaan, ekspresi
tokoh, karakter objek yang mudah diukur dengan pandangan seperti besar/kecil,
jauh/dekat, tinggi/rendah dan sebagainya. Gunakan unsur-unsur seperti itu untuk
membuat tulisan yang memikat pembaca bertipe visual.
Sedangkan pembaca bertipe auditory
akan tertarik pada sensasi suara, seperti intonasi tokoh saat percakapan, efek
suara yang terjadi pada cerita, karakter objek yang ditangkap indra pendengaran
seperti keras, lirih, menggema, sayup-sayup dan sebagainya. Unsur-unsur seperti
ini dapat dimaksimalkan untuk membuat tulisan yang memikat pembaca bertipe
auditory.
Tapi seperti pembelajaran pada public speaking, penulis pasti membuat karya untuk dinikmati semua tipe pembaca,
baik visual maupun auditory.
Jadi saat mengemas tulisannya, penulis harus memperkaya deskripsi yang mampu memikat
pembaca visual maupun auditory. Sensasi visual maupun audio
harus sama proporsional dan presisinya. Dengan demikian, semua tipe pembaca
semakin mudah menyelami isi tulisan dan menangkap pesan yang ingin disampaikan penulis.
(PG)
Ilustrasi gambar oleh Martine dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana


Post a Comment