Mencari Jalan Tengah dari Polemik Pakaian Bekas
Pada suatu sore sekitar dua tahun yang lalu, saya bercakap-cakap dengan seorang Ibu, anggota Credit Union kami. Dia seorang karyawan swasta tapi juga memiliki usaha laundry di rumah. Ibu ini membagikan kisah tentang dinamika usaha laundry rumahan yang dijalaninya selama ini. Salah satu pencetus dia berani memulai usaha tersebut adalah karena kebutuhan salah satu teman yang berprofesi sebagai pedagang pakaian thrifting alias pakaian bekas. Pada awal merintis usaha laundry dia juga sangat terbantu dengan orderan kawan pedagang thrifting tersebut. Saat mengorder, cucian dari teman ibu ini bisa sampai 2 karung besar pakaian bekas sekaligus. Orderannya datang sekali dalam seminggu, bahkan bisa lebih kalau dagangannya lagi ramai.
Tapi sejak ada larangan berdagang pakaian thrifting
(yang masuk melalui jalur impor), kawannya pun beralih usaha. Hal tersebut
sangat memengaruhi omset si ibu. Pesanan dari tetangga atau warga kompleks
tetap ada, tapi tidak sebanyak orderan teman pedagang pakaian thrifting tadi.
Kisah tersebut adalah salah satu contoh
bagaimana imbas larangan penjualan thrifting dalam perekonomian di
tingkat akar rumput.
De Jure dan De Facto
Sebenarnya larangan impor pakaian bekas, bukan
sesuatu yang benar-benar baru. Jika kita mencermati perkembangan isu ini,
larangan tersebut sudah ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi pada
tahun 2015 yang tertuang dalam Permendag Nomor 51 mengenai Larangan Impor
Pakaian Bekas, dan Permendag Nomor 40 tahun 2022 tentang Barang Dilarang
Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Menteri Keuangan, Purbaya, menegaskan
akan melanjutkan regulasi tersebut dengan pendekatan baru yang lebih tegas
karena menyertakan sanksi finansial kepada importir nakal yang melanggar aturan.
Alasan pemerintah cukup jelas. Kebijakan ini dikeluarkan
untuk melindungi keberlanjutan industri tekstil dalam negeri. Pakaian bekas
impor di pasaran dengan harga yang sangat miring tentu lebih menjadi pilihan
bagi masyarakat, khususnya yang memiliki daya beli terbatas. Apalagi jika pakaian
bekas tersebut masih layak pakai dan belum ketinggalan mode. Alasan berikut
adalah impor pakaian bekas terutama yang masuk secara ilegal membuat terjadinya
“kebocoran” pajak yang merugikan negara dengan potensi kerugian hingga miliaran
rupiah per bulannya. Faktor kebersihan juga menjadi alasan pelarangan pakaian
bekas impor. Pernah muncul di pemberitaan mengenai pakaian thrifting
yang menyebabkan penyakit kulit pada penggunanya.
Namun di sisi lain kita juga mesti melihat
beberapa hal positif dari kehadiran produk pakaian thrifting ini. Goodstats
pernah mengadakan survei pada tahun 2023 yang lalu. Hasilnya sebanyak 49,4%
dari responden menyatakan pernah membeli pakaian thrifting (sumber).
Jadi selain memberikan opsi bagi masyarakat yang memiliki daya beli terbatas, aktivitas
belanja thrifting juga telah menjadi semacam tren di masyarakat.
Kemudian sektor usaha thrifting dapat menggerakkan rantai nilai ekonomi
yang ikut menyerap tenaga kerja seperti penyortir, reseller, dan pedagang,
baik kecil maupun menengah. Usaha-usaha terkait, seperti misalnya laundry
(seperti pada contoh kasus di atas) juga memperoleh manfaat dari penjualan
pakaian thrifting ini.
Plus dan minus kehadiran pakaian thrifting
ini harus dicermati dan ditimang-timang dengan baik oleh pemerintah selaku
regulator. De jure, sudah satu dekade larangan pakaian bekas impor itu dikeluarkan
oleh pemerintah. Tapi de facto, pakaian thrifting masih menjadi
isu sampai saat ini, mengindikasikan banyak tarik-ulur kepentingan yang membuat
penerapan aturan tidak bisa berjalan mulus di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu tantangan penerapan peraturan di
lapangan adalah minimnya pemahaman para pelaku pasar (khususnya di tingkat akar
rumput) terhadap aturan. Kebanyakan para pedagang pakaian thrifting
adalah pelaku usaha mikro yang memiliki keterbatasan akses informasi terhadap
regulasi. Ditambah lagi ketergantungan pelaku usaha pada sektor usaha ini,
mengingat potensi pendapatannya cukup besar dengan segmen pasar yang luas.
Pilihan Jalan Tengah
Jika membaca arah kebijakan menteri keuangan,
memang penerapan aturan larangan impor secara tegas menyasar pemain-pemain
besar, seperti importir dan pedagang besar. Jika hulunya bisa ditangani,
diharapkan pakaian thrifting ilegal lama-kelamaan akan hilang dari
pasaran.
Tapi mengingat sektor usaha thrifting
ini melibatkan banyak pelaku usaha berskala kecil, perlu dipikirkan pula jalan
tengah yang dapat menjembatani harapan para pemangku kepentingan. Kepentingan
pemerintah selaku regulator adalah melindungi industri pakaian dalam negeri, kepentingan
pelaku usaha kecil adalah iklim usaha yang kondusif, dan kepentingan masyarakat
kecil adalah tersedianya pakaian dengan kualitas yang baik dan harga
terjangkau. Melihat fenomena tersebut, jalan tengah yang bisa ditempuh adalah: kehadiran
pakaian bekas dengan harga terjangkau, berkualitas baik, tetapi bukan barang
impor. Jika solusi ini bisa berjalan baik, maka industri tekstil dalam negeri
bisa tetap eksis, pelaku usaha thrifting tetap bisa berjualan, dan
masyarakat dengan daya beli terbatas tetap bisa berbelanja.
Kemudian agar proses di lapangan berjalan
mulus, pemerintah mesti memiliki peta jalan yang lebih terpadu. Bukan berhenti
pada langkah-langkah “penegakan hukum” saja, tapi juga mendukung kesinambungan bisnis
para pelaku usaha kecil dengan skema transisi yang sesuai. Misalnya melakukan
sosialisasi aturan sembari memberi arahan kepada para pedagang untuk beralih ke
produk lokal seperti produk-produk upcycling. Pemerintah juga dapat
memberi stimulus kepada UMKM atau toko pakaian thrifting (yang menjual
produk lokal) dengan pemberian keringanan pajak, misalnya, atau menggandeng
pihak ketiga untuk membantu pelaku usaha dari aspek promosi dan permodalan.
Jika melakukan googling untuk mencari
informasi, sebenarnya sudah ada sejumlah thrift shop yang selama ini
cukup sukses menjual produk-produk lokal. Jadi hanya perlu melakukan promosi
lebih intens agar jejaring penjualannya bisa lebih luas, untuk mengisi gap yang
muncul dari larangan impor pakaian bekas tadi. Dengan demikian pemerintah selaku
penyelenggara negara tidak hanya berperan memastikan hukum atau aturan
dijalankan dengan baik, tapi juga melakukan mitigasi untuk melindungi
kepentingan masyarakat kecil yang dilayani. (PG)
Ilustrasi gambar oleh wirestock dari freepik.com
Pertama kali tayang di Kompasiana


Post a Comment