Header Ads

Agar Paylater Tidak Jadi "Disaster"

 


Perkembangan teknologi informasi khususnya di sektor keuangan ikut memberi pengaruh pada gaya hidup masyarakat. Salah satu layanan transaksi keuangan yang akhir-akhir ini cukup diminati pengguna adalah layanan Paylater (beli sekarang, bayar nanti)

Paylater menawarkan kemudahan bagi penggunanya, terutama bagi pembeli yang tidak memiliki cukup dana untuk membayar secara tunai, sehingga bisa menunda pembayarannya beberapa waktu kemudian. Ya, mirip-mirip pembelian secara kredit. Hanya saja paylater menawarkan kemudahan kepada penggunanya, apalagi saat ini fitur paylater mudah ditemukan saat checkout pembelian produk lewat platform toko-toko digital. Berbeda dengan layanan pinjaman atau kredit konvensional yang membutuhkan verifikasi calon debitur lebih ketat.

Ini yang membuat paylater semakin diminati. Berdasarkan data dari goodstat.id terjadi peningkatan kontrak pembiayaan paylater dalam rentang waktu 2019 sampai 2023. Pada tahun 2019 hanya terdapat 4,63 juta kontrak. Kemudian pada tahun 2020 sebanyak 10,94 juta kontrak, tahun 2021 sebanyak 55,4 juta kontrak, tahun 2022 sebanyak 67,41 juta kontrak dan tahun 2023 sebanyak 79,92 juta kontrak.

Kabar terbaru dari OJK menyatakan outstanding paylater per Maret 2025 mencapai Rp22,7 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 32,18% secara year on year. Angka-angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring minat masyarakat terhadap layanan paylater.

Tapi secanggih apapun sistem pembayaran yang ditawarkan, tingkat keberhasilannya membantu pengguna tetap kembali ke si penggunanya sendiri. Seperti pembayaran berbasis kredit lainnya, paylater pun bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi dapat membantu, tapi jika tidak disikapi dengan arif bisa berbalik mencelakai penggunanya.

Bisa jadi karena pengguna asyik melakoni paylater demi paylater, lama-lama tagihan mulai bertumpuk sehingga dari sinilah awal masalah muncul. Bukan saja masalah saat penagihan oleh penyedia layanan (baik melalui mekanisme internal maupun melibatkan pihak ketiga, seperti debt collector) tapi juga saat nama pengguna sampai dilaporkan ke SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) OJK. Wah, skor kredit pengguna bisa jeblok sehingga pengajuan kredit di masa-masa yang akan datang bisa terancam tidak dipenuhi oleh para kreditur.

Apalagi saat ini pengguna Paylater didominasi oleh orang muda (generasi milenial sebesar 48,27 persen, generasi Z sebesar 39,94 persen, dan generasi X sebesar 11,35 persen). Artinya para pengguna paylater masih sangat berpotensi melakukan pinjaman-pinjaman lain di masa yang akan datang, seperti misalnya pinjaman kendaraan atau KPR. Pinjaman ini sangat dibutuhkan, sehingga sangat disayangkan jika terjadi penolakan oleh kreditur karena riwayat pembayaran paylater yang kurang baik.

Demikian hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada pengguna yang kurang bijaksana. Jadi apa yang harus dilakukan?

Menjaga Rasio Utang

Kiat pertama adalah menjaga kondisi arus kas agar tidak terganggu oleh pembayaran paylater. Seperti halnya pembayaran kredit lainnya, diupayakan agar pembayaran paylater (baik dibayar sekaligus maupun dicicil beberapa kali) masih berada pada tingkat aman untuk pendapatan kita. Ada istilah rasio utang atau debt ratio yang mengukur jumlah pengeluaran untuk membayar angsuran pinjaman dibandingkan dengan jumlah seluruh pendapatan. Angkanya berbeda-beda pada beberapa referensi, tapi idealnya rasio utang ini berada pada kisaran 30%-40% dari pendapatan. Rasio 40% biasanya diterapkan jika kita memiliki angsuran KPR. Semakin kecil rasio utang semakin baik untuk penggunanya.

Jadi misalnya total pendapatan sebesar Rp5.000.000,- per bulannya, maka idealnya pendapatan yang dialokasikan untuk membayar pinjaman maksimal sebesar Rp1.500.000 sampai Rp2.000.000 per bulan. Jika pembayaran pinjaman sudah di atas rentangan tersebut, dikhawatirkan debitur akan kesulitan mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan hidup lainnya. Apalagi jika ada pengeluaran mendadak dalam jumlah besar. Dalam kondisi demikian, sering terjadi pembayaran pinjaman akan diabaikan. Ini akan menambah masalah untuk si debitur.

Jadi sebelum memutuskan berbelanja dengan layanan paylater, sebaiknya menghitung dengan teliti terlebih dahulu rasio utang kita sebelum dan sesudah menggunakan paylater.

Kebutuhan versus Keinginan

Mengutamakan kebutuhan dibanding keingingan. Ini memang nasihat keuangan klasik, tapi masih selalu aktual untuk dipraktikkan dalam pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga. Sebelum memutuskan membeli sesuatu, identifikasi dulu apakah yang akan kita beli itu termasuk kebutuhan atau keinginan. Sedapat mungkin, item kebutuhan-lah yang menjadi prioritas pembelian kita. Kebutuhan-kebutuhan harus berada pada bagian teratas dari daftar belanja, sebelum memenuhi keinginan-keinginan.

Prinsip ini semakin penting diterapkan untuk produk yang akan kita beli dengan cara kredit. Hindari sedapat mungkin menggunakan layanan paylater untuk pembelian barang-barang konsumtif atau barang yang sifatnya keinginan. Kecuali terjadi keadaan khusus  atau barang yang mau dibeli memang adalah kebutuhan. Misalnya, HP yang membantu kita bekerja tiba-tiba rusak atau hilang dan kita tidak punya cukup dana atau tabungan untuk membeli secara tunai. Untuk kondisi ini, paylater bisa menjadi solusi yang sesuai.

Di luar kondisi tersebut, barang-barang yang sifatnya keinginan sebaiknya dipenuhi lewat tabungan. Jadi kita membalik proses paylater: buy now pay later menjadi save now, buy later. Kita menunda memenuhi keinginan dengan mengalokasikan pendapatan secara rutin sebelum digunakan berbelanja. Memang butuh kesabaran, tapi dengan demikian kita bebas dari kewajiban mesti membayar angsuran dan bunga pinjaman.

Disiplin Mengelola Keuangan

Nah, setelah menghitung-hitung rasio utang dengan baik, melakukan screening kebutuhan versus keinginan dan pada akhirnya kita memutuskan melakukan transaksi dengan cara paylater, kiat berikut adalah memastikan pembayarannya tidak terabaikan. Disiplin mengelola keuangan adalah kuncinya. Disiplin mengelola keuangan sama manfaatnya untuk kehidupan kita, seperti halnya disiplin bangun pagi, disiplin olahraga dan sebagainya.

Buat anggaran pendapatan dan belanja untuk memastikan pembayaran paylater terpenuhi dan sisanya untuk kebutuhan hidup yang lain. Bila perlu lakukan penghematan pada beberapa item belanja yang lain untuk mengamankan alokasi pembayaran paylater.

Setelah memperoleh pendapatan, segera alokasikan untuk pembayaran paylater pada kesempatan pertama. Jangan ditunda atau tergoda untuk berbelanja hal lain terlebih dahulu. Di sinilah disiplin  pengelolaan keuangan berperan. Jadi kita mengalokasikan pendapatan, bukan lagi karena masalah suka tidak suka, atau niat tidak niat, tapi melainkan karena benar-benar kewajiban yang harus dilakukan.

Wasana kata, layanan paylater memang dapat menjadi instrumen keuangan yang dapat membantu kita memenuhi tujuan-tujuan keuangan saat likuiditas kita terbatas. Tapi semua layanan keuangan yang bersifat “bayar kemudian” harus disikapi dengan baik: mengukur kemampuan bayar, lebih arif dalam mengambil keputusan-keputusan keuangan dan tidak lupa disiplin dalam mengeloal keuangan. Dengan demikian layanan paylater tidak menjadi pisau bermata dua yang kemudian mendatangkan “disaster” atau bencana untuk penggunanya. Semoga bermanfaat (PG)


---- 



Ilustrasi gambar dari pixabay.com

Pertama kali tayang di kompasiana.com  


No comments

Powered by Blogger.