Memaknai Merdeka di Usia ke-80
Ulang tahun proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia menginjak usia ke-80 pada tanggal 17 Agustus 2025. Sebagai sebuah bangsa, usia 80 tahun bukan usia yang belia lagi. Mulai dari tahun 1945 sampai hari ini tercatat kita sudah memiliki 8 orang Presiden, mulai dari Bapak Proklamator Ir. Soekarno sampai Prabowo Subianto. Sudah 8 dekade kita mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di berbagai sektor kehidupan.
Tapi sebagai sebuah bangsa yang besar, usia 80
juga bukan usia yang sepuh. Kita semua bercita-cita eksistensi negara kita,
Indonesia, masih akan terus terjaga sampai ratusan bahkan ribuan tahun ke
depan.
Pertanyaan yang selalu bisa menjadi bahan
refleksi setiap kali kita memperingati kemerdekaan bangsa adalah: apakah
kita sudah benar-benar merdeka?
Bahwa kita sudah merdeka dari penjajahan secara
fisik oleh bangsa-bangsa lain itu benar adanya. Sudah puluhan tahun bangsa kita
merdeka dari kolonialisme. Tapi di era post-modern ini, penjajah sudah
memiliki banyak wajah yang selalu siap “menerkam” jika kita sebagai bangsa
tidak mawas diri. Penjajahan bisa hadir dalam bentuk penjajahan ekonomi,
budaya, ideologi dan banyak wajah lainnya.
Bahkan, sumber “penjajahan” itu sendiri tidak
lagi harus selalu dari luar negara ke dalam negara secara langsung. Bisa saja
penjajah berkamuflase, menggunakan “orang dalam” sebagai kaki tangannya. Malah,
penjajah bisa saja berasal dari sesama warga negara. Hubungan penjajah dan
jajahan selalu bisa terjadi pada tingkat dan scope manapun. Penjajahan
bisa terjadi pada dalam keluarga, antara suami dan istri, dalam organisasi, antara
pemimpin dan bawahan, serta dalam kehidupan bernegara antar pejabat negara dan rakyat
jelata.
Dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang,
menjelang hari proklamasi, ada beberapa isu di tengah masyarakat yang menarik
untuk disimak dan direnungkan bersama, terkait dengan memaknai kemerdekaan
tersebut. Belum lama ini kita dihebohkan oleh polemik pengibaran bendera one
piece sebagai bentuk ekspresi masyarakat. Jika kita mengikuti pemberitaan
dan media sosial, terlihat reaksi para pejabat kita cenderung resisten dengan anggapan
pengibaran bendera tersebut bisa memecah belah persatuan bangsa.
Kemudian, belum lama ini ramai juga polemik
royalti musik yang diamanatkan pengumpulannya kepada LMKN (Lembaga Manajemen
Kolektif). Masyarakat dibuat terkejut karena belum benar-benar memahami
bagaimana sebenarnya kebijakan tentang pembayaran royalti ini. Kalau pemutaran
musik dilakukan di cafe atau restoran cukup bisa dipahami dasar
pembayaran royalti musiknya. Tapi belum lama ini ada berita kalau hotel juga
termasuk badan usaha yang harus membayar royalti musik, kendati tidak memutar
musik di lobi atau ruang publik lainnya. Penagihan royalti untuk hotel dihitung
berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki.
Hari-hari belakangan ini kita juga dikejutkan
dengan berita Pajak Bumi dan Bangunan yang naik berkali-kali lipat di sejumlah
daerah. Salah satu penyebabnya adalah pemotongan anggaran pusat ke daerah. Menaikan
pajak memang menjadi solusi yang paling praktis dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk menyikapi kebijakan ini. Tapi menaikan pajak tanpa diimbangi upaya
konkrit untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, apalagi tanpa komunikasi publik
yang baik, hanya akan memicu gelombang protes dari masyarakat. Peristiwa demo
warga terhadap bupati yang terjadi di Pati adalah salah satu contohnya.
Beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan beberapa
indikator yang sebenarnya cukup baik sebagai sebuah pencapaian. Misalnya:
pertumbuhan ekonomi pada akhir triwulan ke-dua Tahun Buku 2025 yang mencapai 5,12%
(YoY) dan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (per Februari 2025) sebesar 4,76% yang
merupakan angka pengangguran terendah sejak 1998. Ini menjadi seperti oasis di
tengah padang gurun, mengingat kinerja pemerintahan terus mendapat sorotan
akhir-akhir ini. Tapi tetap saja angka-angka ini tidak akan banyak berarti bagi
masyarakat yang de facto masih mengalami kesulitan ekonomi, atau mereka
yang masih sulit menemukan lapangan kerja. Malah kabar baik ini bisa membuat
mereka merasa “terjajah” oleh keadaan yang mereka alami.
Jadi benarlah kata presiden pertama kita.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian
lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”
Kita kembali lagi pada pertanyaan reflektif
sebelumnya. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Merdeka berekspresi,
merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kesenjangan ekonomi, merdeka dari pejabat
korup dan mementingkan diri atau kalangan sendiri, merdeka dari diskriminasi
SARA, merdeka mendapat informasi yang objektif dan transparan? ini adalah
wajah-wajah kemerdekaan yang kita butuhkan sekarang. Menghadirkan wajah-wajah
ini menjadi tantangan yang harus dijawab dengan baik oleh para pemimpin bangsa,
siapapun orangnya.
Bagaimanapun juga, kemerdekaan adalah rahmat
yang harus terus kita syukuri. Ada bangsa-bangsa lain yang masih berjuang untuk
menegaskan eksistensinya. Cara bersyukur kita sebagai warga negara adalah
mengisi kemerdekaan dengan memberikan kontribusi sesuai dengan peran dan
kapasitas masing-masing. Menjadi guru yang baik dan berdedikasi, menjadi
pengusaha yang jujur, menjadi petani yang ulet dan tekun, menjadi karyawan yang
disiplin dan beretos kerja baik, menjadi rakyat yang menunaikan kewajibannya
kepada negara sebagaimana mestinya, menjadi pejabat yang amanah dan
bertanggungjawab.
Dirgahayu Indonesiaku. Semoga semakin bersatu, berdaulat, sejahtera dan maju.
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di kompasiana.com
Post a Comment