Bila Piutang Berubah dari Aset Menjadi Biaya
Urusan tagih menagih utang memiliki tantangannya sendiri. Kadang mudah saja dilakukan, tapi tidak jarang juga butuh upaya atau strategi yang jitu. Makanya sering kali kita mendengar ungkapan lebih galak orang yang diutangin dibanding orang yang punya uang, saat penagihan berlangsung.
Jangankan utang piutang antar teman
yang terjadi hanya karena modal percaya saja, utang piutang di lembaga pemberi
pinjaman seperti perbankan, koperasi, lembaga pembiayaan dan seterusnya pun
tidak selalu berjalan mulus, padahal dokumen-dokumen hukum yang disiapkan sudah
lebih lengkap.
Memang tidak semua orang menunggak
membayar pinjaman karena punya itikad kurang baik. Ada juga yang memang terjadi
karena kondisi dan situasi. Misalnya jadi korban restrukturisasi karyawan di
perusahaan atau bisnisnya sedang down karena pandemi dan seterusnya. Tapi
dari pengalaman selama ini, jenis orang yang kedua ini jauh lebih bisa diajak
bekerja sama dan berunding mencari solusi masalah utang piutangnya dibanding
yang pertama.
Oke, mari kita bahas masalah utang
piutang gagal ini lebih jauh, khususnya utang piutang yang sifatnya personal.
Memberi pinjaman pada keluarga,
teman, kerabat atau kenalan biasanya diawali dengan niat tulus untuk membantu
mereka mengatasi masalahnya. Dari niat yang tulus ini diharapkan teman atau
kerabat yang jadi debitur terbantu mengatasi masalahnya dan pada akhirnya bisa
mengembalikan pinjaman tersebut sesuai kesepakatan dengan baik.
Sayangnya, kelemahan dari utang
piutang antar teman ini adalah sering kali hanya disepakati secara lisan saja
tanpa dilengkapi dengan dengan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Jadi
saat teman terlambat membayar, kita menagihnya pun pakai cara komunikasi
seperti biasa. Mengirim pesan, telepon, atau paling jauh bertemu/berkunjung ke
teman kita. Tidak jarang berakhir zonk alias pinjaman tidak dibayar sama
sekali. Ujung-ujungnya si pemberi pinjaman menelan kekecewaan, pasrah saja dan
merelakan uang pinjaman tersebut.
Berbeda dengan utang piutang pada
lembaga pemberi pinjaman yang dokumen-dokumen hukumnya sudah lebih lengkap.
Sehingga jika pihak debitur melalaikan perjanjian kredit tersebut, kreditur
bisa menempuh langkah-langkah yang sudah memiliki dasar hukum yang kuat, seperti
penarikan barang jaminan bahkan sampai ke penyelesaian sengketa di pengadilan.
Jadi bagaimana sebaiknya
sikap kita pada teman yang ingin meminjam uang?
Bukan berarti tidak boleh sama
sekali meminjamkan uang pada teman ya. Selagi kita memang memiliki likuiditas
yang memadai untuk memberi pinjaman dan bersedia membantu teman kita, ya
silakan saja. Hanya jangan lupa uang yang dipinjamkan pada teman kita itu
adalah hasil kerja keras dan keringat kita. Jadi itu adalah harta kita juga,
hanya posisinya masih ada di luar sana. Kalau kita membuat neraca keuangan
pribadi, posisinya ada di kolom aset pada akun piutang.
Biasanya saat sesi menghitung nilai
kekayaan keluarga pada pelatihan Cakap Keuangan untuk anggota koperasi, saya
meminta peserta mengisi kolom aset pada akun piutang ini dengan
mengingat-ingat uang mereka yang dipinjam oleh kawan, keluarga atau kerabatnya.
Tapi bagian piutang ini dikasih embel-embel “masih bisa ditagih” artinya uang
mereka tersebut masih memiliki kemungkinan untuk kembali.
Kalau sudah tidak bisa kembali,
entah karena orang yang meminjam tidak ketahuan di mana rimbanya, memang tidak
bisa mengembalikan sama sekali atau mereka merelakan uang tersebut pergi alias
RIP (Relakan Ia Pergi), ya tidak perlu dihitung sebagai piutang lagi, percuma.
Biasa di bagian inilah curhat pengalaman
dari peserta pelatihan bermunculan. Cukup banyak kisah pinjam meminjam uang
antar teman yang bisa dijadikan pembelajaran bersama. Ada yang berjalan mulus
dan ada juga yang berakhir RIP.
Singkat kata, sebenarnya ada
beberapa kiat yang bisa dilakukan saat teman meminta bantuan untuk meminjam
sejumlah uang dari kita. Kiat-kiat ini bisa kita jadikan acuan sehingga
kalaupun kita bersedia memberi pinjaman dan pinjaman tersebut tidak
dikembalikan sebagaimana mestinya, kita sudah siap atau sudah
mengantisipasinya. Kondisi ini dalam bahasa yang lebih teknis berarti piutang
yang mestinya berada pada posisi aset atau kekayaan, sudah berubah menjadi
biaya dalam arti kerugian (lost). Saya biasa menghibur, jangan disebut
rugi-lah, sebut saja donasi yang penting kita sudah benar-benar tulus merelakan
uang pinjaman tersebut.
Berikut kiat-kiat yang bisa
dilakukan jika ada teman yang ingin meminjam uang.
Tentukan Limit Kerugian
yang Paling Bisa Kita Terima
Ya, tentukan pada nominal pinjaman
berapa, kita paling siap secara mental maupun ekonomi jika uang pinjaman
tersebut ternyata tidak bisa dikembalikan. Nominalnya tentu akan bervariasi
sesuai dengan kemampuan dan kondisi keuangan masing-masing. Saat teman meminta
pinjaman tentu kita akan bertanya “Butuhnya berapa”. Begitu teman menyebut
nominal yang angkanya masih berada di bawah limit tersebut, berarti masih aman.
Tapi jika jumlahnya sudah di atas limit katakan saja “Saya adanya segini, Bro.
Kalau lebih dari itu tidak bisa.” Hanya ada hal yang perlu diingat. Kalau teman
kita tetap meminta bantuan pinjaman tersebut, padahal jumlahnya lebih sedikit
dari kebutuhannya, kemungkinan besar dia akan mencari pinjaman dari sumber
lain. Jadi dia pasti akan berbagi fokus mengembalikan pinjamannya pada dua atau
lebih sumber pinjaman.
Sumber Dana Bukan dari Pos
untuk Tabungan atau Pembayaran Lain.
Sebaiknya tidak meminjamkan uang
dari pos pendapatan untuk tabungan, pos untuk angsuran pinjaman kita sendiri,
dan pos untuk pembayaran tagihan-tagihan (listrik, PDAM, dll). Walaupun teman
berjanji akan mengembalikan pinjamannya dalam beberapa hari, seminggu atau dua
minggu, jangan pernah menggunakan uang dari pos-pos tersebut untuk mengantisipasi
kemungkinan teman terlambat melakukan pembayaran pinjaman. Kalau sampai
terlambat, kita juga yang akan kerepotan. Saya sudah pernah ada pengalaman
seperti itu soalnya. Karena teman terlambat mengembalikan, harus kelimpungan
mencari sumber dana talangan dulu sambil menunggu uang dari teman ada. Jadi
untuk pinjaman memang sebaiknya sumber dananya dari dana taktis, dana yang idle
(kalau ada) atau memang kita lagi ada kelebihan likuiditas.
Ditagih sampai Menyerah
Satu lagi. Ini case khusus,
kalau teman yang meminjam uang tersebut ternyata tukang ngemplang dan
kita terlambat mengetahuinya. Kalau pembayaran pinjaman dari teman sudah
meleset dari tanggal yang dijanjikan, tagih kembali dikembalikan tanggal berapa
jadinya. Kalau waktunya belum disampaikan jelas, misalnya teman menyebut bulan
depan, dua minggu depan dan seterusnya, minta ditetapkan tanggal yang pasti,
agar pada tanggal tersebut kita bisa membuat reminder dan mengingatkan
lagi teman kita mengenai janjinya. Sebelumnya sampaikan baik-baik kalau kita akan
mencatat tanggal agar jika sampai tanggal tersebut tiba belum ada kabar, akan
diingatkan lagi.
Kalau teman ternyata molor lagi,
kejar kembali jadinya di tanggal berapa lagi perjanjian barunya. Demikian
seterusnya. Jangan memberi kesan kalau kita menyerah dan akan merelakan uang
tersebut. (walaupun mungkin pada akhirnya demikian yang terjadi). Ingat kembali,
selagi piutang belum berubah menjadi biaya, itu masih bagian dari harta kita,
jadi penagihan harus tetap berjalan sampai nanti teman sendiri yang mulai
menyerah dikejar-kejar. Kalau sudah menyerah seperti ini biasa pilihannya
tinggal dua: bayar atau menghilang. Jika sampai pada tahap ini, selanjutnya
terserah kita. Dia menghilang pun kita sudah siap mental menghadapinya.
Kita yang memberi utang tapi kesannya
kita sendiri yang repot, memang sudah seperti itu tantangan dalam urusan utang
piutang ini.
Jadi sebaiknya kita berpikir
panjang terlebih dahulu, atau jangan memberi pinjaman sama sekali ke orang lain
kalau kita itu typical orang yang menghindari konfrontasi dengan orang
lain. Begitu pula kalau kita merasa kurang sreg dan hati kecil bilang
“tidak”, mungkin karena insting sudah berbicara atau karena teman kita ini
punya riwayat kurang baik untuk urusan uang.
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment