Header Ads

Kiat Menghadapi Orang-orang Menyebalkan di Medsos Ala Filosofi Stoa


 

Hakikat manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu sejak dahulu manusia selalu hidup dalam komunitas. Dengan bersinergi di dalam komunitas, manusia dapat berkolaborasi untuk mengembangkan kehidupan dan membangun peradaban. Sejarah telah mencatat peradaban-peradaban ternama dunia lahir dan tumbuh dari komunitas-komunitas besar yang dikembangkan dengan baik.

Seiring perkembangan waktu dan teknologi, komunitas bukan saja berada di dunia nyata seperti yang kita kenal selama ini. Komunitas ikut hadir di dunia maya dengan platform yang kita kenal dengan nama media sosial.

Tentu ada perbedaan-perbedaan mendasar antara komunitas di dunia nyata dan di media sosial. Tapi dalam beberapa hal, keduanya tetap memiliki persamaan. Misalnya: ada komunikasi antara orang yang satu dan yang lain. Ada relasi yang bisa dibuat intens, seintens pertemanan di dunia nyata. Kita juga bisa mencari kawan dengan preferensi tertentu, misalnya: teman sekampung, teman sehobi dan seterusnya. Lalu ada berbagai macam karakter orang di sana, ada yang ramah, pintar, judes, julid, murah hati, egois, kocak dan banyak lagi.

Seperti karakter manusia di dunia nyata, kita pun bisa bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan di dunia maya: orang-orang yang suka pasang status toxic, yang suka merendahkan orang lain, yang punya sifat kepo level dewa atau mereka yang kerap memberi komentar tidak etis pada konten-konten kita.

Saat kita mengunggah foto liburan, misalnya, ada yang memberi komentar “Ini fotonya asli atau fake ya?” Saat mengunggah foto di acara nikahan teman mereka berkomentar “Itu bajunya paling pinjem punya orang.” Atau saat kita mengunggah hasil refleksi diri setelah membaca buku motivasi, ada yang berkomentar ketus “Ah, sok bijak lu!” dan seterusnya.

Mungkin kita tidak pernah berharap orang-orang seperti ini eksis. Tapi, ya, itulah realitanya. Mereka eksis dan malah mungkin berada satu circle pertemanan dengan kita.

Lalu apa yang harus dilakukan menghadapi orang-orang seperti ini?

Kita bisa marah, geram, membalas dengan komentar pedas, perang di lini masa atau block dan unfollow, itu hak kita. Tapi sebelum terlanjur terseret dalam emosi-emosi negatif yang malah bisa semakin jauh melukai kita, ada baiknya kita simak kiat-kiat ala filosofi Stoa untuk menghadapi orang-orang seperti ini.

Bagi pembaca yang baru mendengarnya, filosofi Stoa (atau Stoic) adalah sebuah aliran filsafat yang berawal dari Yunani kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Filosofi Stoa ditemukan pertama kali oleh Zeno, seorang pedagang yang kemudian lebih banyak mempelajari kesejatian hidup bersama filsuf-filsuf ternama di Athena. Setelah kematian Zeno, Stoa terus dikembangkan oleh para filsuf yang mendalaminya. Banyak yang kemudian menyebutnya sebagai filosofi pasrah. Tapi pasrah di sini dalam arti yang positif ya, lebih condong ke tawakal, dibanding pasrah yang berarti pasif, tidak melakukan apa-apa.

Referensi saya adalah buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Mari kita simak satu per satu.

Prinsip Dikotomi Kendali

Ini prinsip utama yang harus kita dalami. Dalam dikotomi kendali kita harus memilah hal-hal dalam hidup kita menjadi hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan .

Nah, dalam media sosial, hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah persepsi, emosi dan jempol kita sendiri. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah persepsi, emosi dan jempol orang lain. Saat menghadapi orang-orang menyebalkan yang mungkin memberi komentar jelek di beranda sosial kita, sadarlah, kita tidak bisa mengendalikan apa yang ada di pikirannya dan kata-kata yang sudah ditulisnya. Hal tersebut telah menjadi sebuah fakta. Jadi lebih baik kita memikirkan cara kita memberi respons.

Misalnya pada komentar “Ini fotonya asli atau fake, ya?” seperti yang sudah dituliskan di atas. Jika hanya fokus pada komentar tersebut, kita mungkin akan langsung berpikir demikian, “Sialan! Dia pikir saya tidak punya duit buat liburan?” yang bisa merembet pada pikiran “mentang-mentang kantornya lebih besar dan posisinya lebih bagus, hmm, itu pun belum tentu dia promosi karena kinerja, ya. Bisa saja karena penjilat atau malah karena ada main sama bos.” Akhirnya kita memutuskan untuk “tunggu saja, saya stalking media sosialnya. Pasti ketemu jejak digital yang bisa membuka kebobrokannya.”

See, bisa jadi sepanjang itu. Padahal faktanya hanyalah komentar berupa pertanyaan fotonya asli atau palsu. Selebihnya adalah persepsi kita terhadap komentar tersebut. Jadi alih-alih berprasangka terhadap pemilik komentar yang malah membuat kita jadi berpikiran negatif berkepanjangan, kita bisa menjawab komentar tersebut dengan “Fotonya asli kok, Kakak.”

Kalau si pemberi komentar masih tidak percaya, ya, berarti masalahnya ada pada dia. Sekali lagi, kita tidak bisa mengendalikan persepsi dan pikirannya. 

It Takes Two to Tango

Sering kali ada komentar sesama warganet yang bersifat menghina atau merendahkan kita. Menurut filosofi Stoa, penghinaan baru bisa terjadi jika salah satu pihak melontarkan kata-kata berisi hinaan dan pihak yang satu memang merasa terhina dengan kata-kata tersebut. Ini maksud dari It takes two to tango.

Sebaliknya, jika pihak yang satu anteng saja menanggapinya dan tidak terpengaruh dengan hinaan tersebut, maka tidak ada yang akan terhina. Sama seperti seorang pengunjung galeri menghina dan mengata-ngatai lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh sebagai lukisan yang jelek dan murahan. Apa dengan hinaan tersebut lukisannya jadi benar-benar jelek dan murahan? Sama sekali tidak, bukan?

Jadi jika ada yang mengomentari kita dengan ketus “Ah, sok bijak lu,” atau “Kamu jelek,” santai saja. Kualitas kita tidak akan berkurang hanya dengan komentar seperti itu. Cukup reply dengan emoticon senyum. Atau kita bisa juga mengingatkan kawan kita ini bahwa kata-katanya kurang etis. Kalau dia tetap membalas dengan kasar, ingat lagi prinsip dikotomi kendali di atas. Pikiran dan jempolnya bukan di bawah kendali kita. Tidak usah ambil pusing, tinggalkan saja percakapan tersebut. Toh kalau ada orang lain yang membaca beranda, mereka bisa menilai siapa yang positif dan siapa yang negatif.

Dengan demikian, kita sudah berusaha membuat suasana tetap kondusif. Bayangkan kalau kita juga membalas dengan hinaan, wah, bisa tambah panas jadinya. Dengan balasan yang adem, syukur-syukur dia bisa sadar diri dan lain kali bisa lebih bijak memilih kata-kata saat bermedia sosial.

Manfaatkan Fitur-fitur Media Sosial

Kiat terakhir ini lebih berguna untuk membersihkan beranda kita dari peluang kehadiran orang-orang yang kita anggap menyebalkan. Misalnya mereka yang flexing-nya berlebihan, mereka yang suka mengeluarkan kata-kata toxic, yang suka menampilkan konten kekerasan, pornografi dan lain-lain.

Gunakan fitur-fitur untuk membuat unggahan orang-orang ini tidak muncul lagi di beranda kita. Setiap aplikasi medsos punya fitur khusus dengan tujuan seperti ini. Misalnya ada fitur mute di Twitter, di Instagram ada fitur hide dan di Facebook ada fitur snooze post. Menghindari orang-orang seperti ini juga termasuk dalam anjuran para filsuf Stoa. Kita bisa memilih menghindar dari pertemanan dengan orang-orang yang bisa membawa pengaruh negatif pada diri kita. Memang ada prinsip dikotomi kendali. Tapi jauh lebih baik jika kita bisa menghindarinya dari awal.

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi yang juga penganut Stoa menganalogikan orang-orang seperti ini dengan ketimun pahit. Marcus mengatakan, kalau mendapat ketimun pahit, ya dibuang saja, tidak usah dimakan lalu ngomel-ngomel sendiri.

Demikian beberapa aplikasi sederhana filosofi Stoa untuk menghadapi orang-orang menyebalkan di media sosial kita.

Sebenarnya prinsip-prinsip ini bisa diterapkan lebih luas dalam penggunaan media sosial kita. Bayangkan apa yang terjadi jika banyak warganet berinteraksi dengan adem dan kondusif? Tidak perlu ada permusuhan dan gontok-gontokan di media sosial kita.

Saya jadi teringat pada dinamika di lini masa media sosial setiap kali perhelatan pilpres digelar. Masyarakat dan warganet terpolarisasi sedemikian rupa. Suasana panas karena kubu-kubu warganet yang berseberangan saling serang dengan kampanye hitam dan hoax. Perseteruan ini biasanya diawali dari akun-akun tertentu yang memang gemar menebar provokasi.

Jika banyak warganet yang sudah bermedia sosial menggunakan filosofi Stoa, akun-akun provokator pasti tidak bisa berbuat banyak. Perbedaan pendapat dan pilihan politik akan disikapi dengan bijak karena itulah konsekuensi dari sebuah kontes politik. Tapi hal ini tidak lalu berujung pada permusuhan dan caci maki di lini masa. Konten-konten yang bersifat kebencian itu bisa diibaratkan seperti api yang siap membakar, sedangkan Stoa bisa diibaratkan seperti air yang akan memadamkan api tersebut.

Kembali ke topik kita. Orang-orang menyebalkan akan selalu ada baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Ini adalah konsekuensi logis dari hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Dengan menerapkan filosofi Stoa saat berinteraksi dengan mereka, kita dapat menempatkan diri lebih baik dan tidak perlu tenggelam dalam emosi-emosi negatif yang justru dapat berakibat kurang baik bagi diri kita sendiri. (PG)


Ilustrasi gambar oleh Becomepopular dari pixabay.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana   

No comments

Powered by Blogger.