Header Ads

Mengapa Masih Banyak Orang Kena "Jebakan Batman" Pinjol

 


Tidak bisa dipungkiri, kredit adalah salah satu solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan likuiditas. Lewat kredit kita dapat memenuhi kebutuhan kita untuk membeli barang atau jasa sekalipun tidak memiliki uang tunai yang cukup. Yang penting ada pihak penyedia kredit yang memberi bantuan dana di depan dan sebagai kompensasinya, kita harus mengangsur secara periodik pada lembaga pihak penyedia kredit tersebut.

Dengan demikian, kredit bisa menjadi seperti belati bermata dua. Di satu sisi, dapat membantu orang yang membutuhkan mengatasi persoalan keuangannya, tapi di sisi lain, tanpa pengetahuan pengelolaan keuangan yang memadai, kredit bisa berbalik menjadi petaka.

Sudah sering kita dengar orang-orang mengalami masalah karena utang. Mulai dari pertengkaran rumah tangga, kehilangan aset karena penyitaan sampai dikejar-kejar oleh debt collector.

Saat ini seiring perkembangan teknologi informasi, lembaga penyedia kredit pun hadir dalam platform dunia maya. Era tukang kredit door to door dan dara manis penjaja kartu kredit yang nongkrong di pusat perbelanjaan mulai digeser oleh iklan dan apps yang menawarkan peluang-peluang kredit langsung dari gawai kita. Perkembangan teknologi memang menjadikan semuanya serba instan.

Cukup dengan kuota internet yang memadai, kartu pengenal dan beberapa langkah praktis, pinjaman dapat langsung dicairkan ke rekening debitur. Tidak ribet dan butuh waktu seperti proses perkreditan konvensional yang sudah lebih dulu dikenal.

Apa memang sesederhana itu? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Ada orang yang memang terbantu. Tapi ada juga yang malah seperti masuk dalam “jebakan betmen”.

Belakangan ini kita mendengar cukup banyak kisah pilu di tengah-tengah masyarakat yang berawal dari pinjaman online (pinjol). Banyak debitur yang dirugikan secara materil maupun moril karenanya. Kerugian materil karena pinjol menarik biaya-biaya kredit seperti provisi, bunga atau denda yang cukup tinggi dan ini tidak dijelaskan secara rinci kepada debitur.

Sedangkan kerugian moril terjadi jika persoalan kredit ini mempertaruhkan nama baik karena melibatkan orang-orang terdekat dengan debitur, terutama jika telah terjadi wanprestasi. Ada yang bahkan sampai bunuh diri karena terlilit utang dan terus menerus “diteror” oleh penagih pinjaman, seperti terjadi di Padang tahun lalu.

Pertanyaan besarnya adalah, mengapa masih ada saja orang yang terjerat dengan pinjaman online yang ujung-ujungnya membawa petaka?

Ini dia beberapa alasannya:

Lebih Praktis

Ini menjadi alasan yang utama karena dengan hanya berbekal gawai dan kartu pengenal, kita sudah bisa mengajukan pinjaman secara online. Berbeda dengan pinjaman offline yang membutuhkan waktu dan  dokumen-dokumen kredit yang kadang tidak mudah dipenuhi.

Apalagi jika berada pada posisi kepepet atau sedang benar-benar butuh dana. Pinjol yang sangat praktis prosesnya bisa menjadi solusi yang pertama terpikirkan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 Kurang Paham

Sayangnya, tidak semua hal yang praktis itu sesederhana kelihatannya. Ada yang terlihat praktis, karena menyembunyikan beberapa hal. Apalagi jika kita berbicara kredit yang sebenarnya cukup rumit. Debitur harus memahami bagaimana karakter kredit yang diajukannya: berapa plafonnya, tenor pinjamannya berapa lama, bagaimana perhitungan bunga pinjamannya (efektif, flat atau anuitas) bagaimana sistem pinalti kredit dan seterusnya.

Pada pengajuan pinjaman konvensional seperti di perbankan atau koperasi, hal-hal ini dijelaskan terlebih dahulu oleh petugas dan tertuang dalam dokumen akad kredit sehingga lebih mudah dicermati.

Jika kurang paham hal-hal seperti ini, bisa-bisa calon debitur jadi mangsa empuk pinjol. Mulai dari bunga pinjaman yang tinggi atau biaya provisi yang gila-gilaan, seperti contoh seorang penjual bubur di Makassar yang mengambil kredit di pinjol. Pinjaman yang tertera sebesar Rp700.000 padahal hanya menerima uang Rp448.000 saat pencairan pinjaman ke rekening.

Dari beberapa kasus, juga terlihat belum semua calon debitur memahami bahwa penyedia pinjol tidak semua legal (terdaftar di OJK). Masalah-masalah biasa terjadi pada penyedia pinjol yang ilegal.

Kebutuhan versus Keinginan

Debitur harus paham benar pada konsekuensi dari pinjaman yang diajukannya. Pada dasarnya pinjaman (pada platform pinjaman apapun) mengurangi daya beli kita di masa yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan kita hari ini. Jadi memang sedapat mungkin, kredit digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan, bukan keinginan.

Sayangnya masih ada debitur yang mengambil kredit untuk memenuhi keinginan, atau hal-hal yang sebenarnya tidak urgent sifatnya. Ditambah lagi dengan sifat pinjol yang praktis, klop sudah. Akibatnya kredit ini bukannya membantu, malah menjadi beban di kemudian hari.

Jadi apa pinjol itu buruk dan merugikan? Sekali lagi, jawabannya bisa iya, bisa tidak.

Sangat tergantung dari bagaimana pinjol (atau pinjaman pada platform apapun) digunakan oleh sang debitur. Untuk pinjol sendiri sebaiknya kita meminimalkan risiko terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dengan lebih cermat di awal prosesnya. Paling tidak kita harus memastikan penyedia pinjol tersebut terdaftar di OJK. Karena jika terjadi masalah yang berpotensi merugikan debitur, OJK dapat membantu memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya, kita harus memahami benar-benar bagaimana karakteristik dari pinjaman tersebut dan membandingkannya dengan kondisi keuangan kita, seperti kemampuan bayar (capacity to pay), rasio utang dan lain-lain.

Jika harus menyelesaikan masalah keuangan kita dengan cara kredit, jangan lupa, kredit itu seperti belati bermata dua. Harus dimanfaatkan dengan bijaksana dan penuh perhitungan. (PG)


Ilustrasi gambar dari: money.kompas.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana  

No comments

Powered by Blogger.