Header Ads

Menalar Ide Nonaktifkan Kapolri agar Penyelidikan Lebih Objektif

 


Ide menonaktifkan Kapolri Listyo Sigit ini muncul saat rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK, Senin (22/8). Ide ini muncul dari anggota DPR, Benny K Harman saat mencecar penjelasan Prof. Mahfud MD, Ketua Kompolnas sekaligus Menkopolhukam terkait kasus kematian Brigadir J.

“Kita dibohongin. Sebab kita ini hanya baca melalui medsos, Pak Mahfud, dan keterangan resmi dari Mabes. Kita tanggapi, ternyata salah. Jadi publik dibohongi oleh Polisi. Maka mestinya Kapolri diberhentikan, sementara diambil alih oleh Menko Polhukam, untuk menangani kasus ini supaya objektif dan transparan,” ucap Benny K Harman. Percakapan selengkapnya bisa dilihat pada rekaman jalannya rapat yang sudah beredar cukup luas di berbagai channel Youtube media tanah air.

Ide ini bisa jadi muncul secara spontan tanpa ada tendensi macam-macam. Polri menjadi institusi yang mendapat banyak sorotan masyarakat pasca kematian Brigadir J yang menyeret Kadiv Propram, seorang jenderal bintang dua menjadi tersangka. Publik tercengang dengan perkembangan kasus yang pada akhirnya menyeret banyak oknum polisi lainnya. Biasanya saat ada organisasi atau institusi yang tidak beres kinerjanya, ide spontan kita adalah mengganti pucuk pimpinannya. Mungkin ini juga yang muncul di benak Benny K Harman.

Di sisi lain bisa jadi ada tendensi politik di balik lontaran ide tersebut. Ini juga bisa masuk akal. Kita ketahui bersama DPR adalah lembaga yang erat hubungannya dengan konstelasi politik tanah air. Walaupun anggota DPR adalah representasi rakyat, orang-orang yang duduk di dalamnya juga adalah utusan dari partai politik.

Tapi yang manapun latar belakang ide tersebut, jika benar-benar dieksekusi akan membawa dampak yang sangat besar. Dampaknya bukan saja untuk institusi Polri sendiri, tapi juga untuk stabilitas politik tanah air.

Jika ditimbang-timbang kembali sebenarnya ada sejumlah alasan mengapa ide ini kurang tepat dijalankan saat ini. Alasan-alasan tersebut bisa dirangkum pada 3 hal berikut:

Jalannya Kasus Sudah On The Track

Walaupun tertatih-tatih, progress pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J ini sebenarnya berjalan baik. Tanpa kiat yang jitu, tidak mudah menyeret jenderal bintang dua seperti FS yang punya jabatan stategis sebagai tersangka. Selain punya jabatan dan sumber daya, dia juga punya banyak kaki tangan di dalam institusi. Lihat saja, gara-gara kasus ini puluhan polisi (dari berbagai kesatuan dan pangkat) mesti diciduk karena pelanggaran etik, beberapa pelanggaran malah sampai masuk ke ranah pidana. Strategi bedol desa yang ditempuh Kapolri Listyo Sigit kemudian terbukti berhasil mendorong proses pengungkapan kasus berjalan lebih mulus.

Selain itu, tetap ada sekat birokrasi jika mengamini ide Benny K Harman untuk menonaktifkan Kapolri dan menunjuk Mahfud MD mengambil alih penanganan kasus. Pak Mahfud tetap harus didampingi petinggi Polri yang akan mengawal kasus secara internal. Jika Kapolri dinonaktifkan, maka otomatis posisinya diganti Wakapolri. De facto, saat ini tim khusus yang menyelidiki kasus kematian Brigadir J memang ada di bawah komando Wakapolri, Bapak Gatot Eddy Pramono. Strategi ini sudah sesuai untuk menjaga objektifitas Kapolri dan membantu Kapolri bisa tetap menjaga fokus pada masalah-masalah yang lain. Jadi ide untuk menonaktifkan Kapolri sudah tidak relevan lagi.

Kasus Sudah Mulai Terang Benderang

Penetapan 5 tersangka utama yaitu FS, E, KM, RR dan Ibu PC pada akhirnya menjawab rasa penasaran masyarakat yang menggebu-gebu. Setelah drama yang panjang, proses pengungkapan kasus yang diakhiri dengan penetapan ibu PC sebagai tersangka bisa dianalogikan sebagai klimaks sebuah episode kisah misteri. Memang pengungkapan motif pembunuhannya masih simpang siur, bahkan cenderung ditutup-tutupi. Tapi tidak apa. Motif pembunuhan cepat atau lambat pasti akan terungkap dan biarlah itu menjadi bagian dari episode berikutnya yang akan mencapai klimaksnya lagi pada saat proses peradilan berlangsung.

Ini menurut saya sebuah prestasi. Jadi alih-alih diberhentikan atau dinonaktifkan, kita justru harus memberi support kepada Kapolri agar tetap kuat dan tegar mengawal kasus ini dan menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk bersih-bersih di institusi Polri.

Ide yang kurang Etis

Posisi Bapak Listyo Sigit bisa diibaratkan seperti telur di ujung tanduk saat ini. Dia mendapat sorotan dan tekanan dari berbagai arah. Bagaimana menyingkap kasus kematian Brigadir J, bagaimana membereskan mabes dalam mabes (meminjam istilah Prof. Mahfud MD), bagaimana bersikap terhadap stakeholder dan bagaimana memberi kepastian kepada rakyat yang sudah kadung gemes kepada institusi yang dipimpinnya. Salah mengambil langkah sedikit, posisinya langsung jatuh bebas.

Bayangkan, di tengah-tengah perjuangan tersebut dia harus diberhentikan atau dinonaktifkan. Bukankah semuanya akan jadi ambyar? Tidak heran ada warganet yang curiga, jangan-jangan ide tersebut justru muncul karena ada pihak-pihak yang tidak ingin kasus ini dituntaskan dengan baik.

Lain cerita jika kasus pembunuhan sudah melewati proses pengadilan dan sudah ada keputusan hukum final terhadap para tersangka. Saat kasusnya sudah tuntas benar, silakan saja mengevaluasi kinerja Kapolri. Pak Listyo Sigit pun saya rasa akan melepaskan jabatannya dengan ksatria jika memang itu keputusan yang terbaik.

Untungnya ide tersebut tidak dibahas perkepanjangan dalam rapat dengar pendapat kemarin. Anggota DPR yang lain tidak setuju dengan ide tersebut, termasuk Desmond Mahesa, Wakil Pimpinan Komisi III. Saya amati mayoritas komentar warganet juga tetap mendukung Kapolri Listyo Sigit melanjutkan perjuangannya menuntaskan kasus ini. Tidak akan mudah memang, tapi kita tetap berharap kasus ini berhasil ditutup dengan adil dan benar. Semoga institusi Polri pun bisa menjadi lebih baik lagi di masa-masa mendatang. (PG)


Ilustrasi gambar: kompas.com (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA) 

Pertama kali tayang di Kompasiana

No comments

Powered by Blogger.