Header Ads

Menyelamatkan Rp40.000


Ada peraturan manajemen di kantor kami terkait keterlambatan. Jika frekuensi keterlambatan sudah sampai pada jumlah tertentu, maka punishment-nya gaji akan dipotong Rp40.000 setiap kali terlambat. Angkanya bisa naik lebih tinggi lagi jika frekuensi terlambatnya juga semakin parah.

Besar kecilnya nilai empat puluh ribu rupiah itu relatif. Tapi lumayanlah kalau dalam sebulan terjadi beberapa kali keterlambatan. Makanya teman-teman yang punishment-nya sudah sampai tahap pemotongan Rp40.000, akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan gajinya (baca: tidak terlambat lagi). Datang lebih awal tentu adalah kiat utama. Tapi ada saja halangan di rumah atau di jalan yang membuat tiba di kantor pada saat-saat injury time. Kalau sudah seperti itu, terjadilah adegan kejar-kejaran sampai di mesin fingerprint. Kadang terjadi keributan kecil di antrian, karena teman yang paling depan gagal check clock berkali-kali entah karena jarinya basah atau posisi nempel jarinya nya kurang pas.


Saya sendiri pernah bangun kesiangan, sampai terpaksa membawa seragam kerja dan perlengkapan mandi ke kantor untuk memindahkan jam mandi dari rumah ke kantor, demi menyelamatkan Rp40.000 itu.

Nah, sadar atau tidak, regulasi dan sanksi-nya telah membentuk mindset kita menjadi lebih berorientasi pada regulasi-sanksi dibanding “nilai” yang ingin dibangun dari regulasi tersebut. 

Mindset Reward and Punishment
Setiap kali top manajemen merumuskan peraturan-peraturan untuk memastikan karyawan lebih disiplin dan memiliki etos kerja yang lebih baik, masalah reward and punishment (terutama bagian punishment) ini selalu menyita durasi yang panjang.

Kutub pembicaraan biasa terbagi menjadi dua, antara mencari upaya untuk mengefektifkan peraturan dan meningkatkan etos kerja. Kelihatannya sama saja, tapi ternyata dua kutub pembicaraan ini dalam implementasi praktisnya bisa sangat berbeda. Jika mindset yang terbentuk adalah bagaimana mengefektifkan peraturan, ujung-ujungnya diskusi pasti akan berakhir pada reward and punishment.  Tapi jika bicara meningkatkan etos kerja, cakupan pembicaraannya bisa jadi jauh lebih luas. Bisa sampai ke masalah-masalah non teknis, seperti integritas, keteladanan top manajemen dan lain-lain.
Hanya memang pada akhirnya ending segala diskusi akan sampai ke reward and punishment juga. Sebenarnya ada banyak formulasi reward and punishment, tidak mesti selalu terkait dengan finansial seperti pemotongan gaji, denda dan lain-lain. Promosi atau penundaan promosi, ekstra job dan lain-lain juga bisa dilakukan. Ya, memang ujung-ujungnya juga akan bermuara pada insentif dan hal-hal berbau finansial lainnya. Tapi sekali lagi ini adalah masalah mindset.

Jika mindset-nya adalah reward and punishent, akibatnya apa? Orang-orang akan merasa bahwa kedisiplinan hanya diukur dari Rp40.000 dan deretan nominal lainnya. Akibatnya alih-alih termotivasi untuk lebih mendisiplinkan diri, kita lebih terpaku pada bagaimana cara menyelamatkan Rp40.000.

Padahal dibalik pemotongan gaji Rp40.000 sebenarnya ada penilaian disiplin yang merupakan bagian kecil dari rangkaian penilaian terhadap kualitas kinerja kita.

Refleksi

Mungkin inilah refleksi dari kehidupan di zaman serbat instant sekarang ini. Kita seringkali terjebak pada hal-hal yang kasat mata dan dangkal saja, tanpa mau susah-susah menemukan kedalaman nilai dari hal-hal di sekitar kita.

Orang menyerobot antrian tanpa malu-malu lagi, karena pemikiran yang dangkal: antrian hanya urut-urutan saja. Jadi tidak apa kalau ibu-ibu melabrak antrian, karena kalau kelamaan menunggu kasihan anak-anak, belum ada yang masak. Padahal lebih dari siapa cepat siapa dapat, antrian adalah bentuk penghargaan kita kepada waktu, salah satu sumber daya yang masih kita miliki. Orang yang paling banyak mengorbankan waktunya selayaknyalah diberi tempat paling depan di banding yang lain. Antrian adalah wujud toleransi. Karena untuk kesempatan yang sama ada orang yang yang memberikan pengorbanan lebih besar.

Itu baru hal yang terkait budaya dalam masyarakat. Kita belum bicara peraturan yang lebih mengikat yang memang “hadir” karena sesuatu yang penting.

Peraturan memakai helm saat berkendara motor sebenarnya untuk menjaga si pengendara sendiri. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, organ vitalnya (kepala) dapat dijaga dengan adanya helm. Tapi orang yang mindset-nya dangkal hanya berpikir pada sanksi-nya saja. Jadi, memakai helm pun hanya dilakoni kalau ada Polisi di jalan. Tidak ada Polisi, tidak usah pakai helm.

Jadi menyelamatkan Rp40.000 itu adalah mindset reward and punishment. Tidak salah, tapi akan lebih baik jika berpikir untuk meningkatkan kedisiplinan dan tidak terlambat lagi. Begitu juga dengan budaya antri atau peraturan-peraturan lain di sekitar kita. (PG)

---

pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari: lustrasi gambar : http://www.fingercheck.com

1 comment:

  1. setiap kantor punya kegilaan nya masing-masing ya!!


    Garansi harga termurah, uang kembali 2x lipat

    https://shopee.co.id/pc_event/?smtt=201.3305&url=https%3A%2F%2Fshopee.co.id%2Fevents3%2Fcode%2F1551701495%2F%3Fsmtt%3D201.3305

    ReplyDelete

Powered by Blogger.