Yuk, Kenalan dengan Makroprudensial dan Perannya Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Paska krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, Basel Comittee on Banking Supervision (BCBS) mengeluarkan sejumlah rekomendasi penting yang dikenal dengan aturan Basel III untuk menata kembali rasio modal perbankan dalam rangka stabilitas sistem keuangan global. Organisasi yang terdiri dari ekonom bank sentral negara-negara maju tersebut memetik pelajaran dari krisis keuangan yang sempat meluluhlantakkan perekonomian dunia.
Krisis global ini dipicu oleh subprime mortgage atau kredit macet pada sektor perumahan di
Amerika Serikat. Saat itu sektor properti negeri Paman Sam sedang booming karena masyarakat masih
menikmati imbas suku bunga rendah yang diberlakukan The Fed (Bank Sentral AS) sejak
tahun 2001. Bergairahnya pasar kredit sektor properti diikuti oleh lonjakan permintaan
sampai berada di atas supply sehingga
harga properti mengalami penggelembungan harga (bubble). Akibatnya, nilai pinjaman properti berada jauh di atas
nilai agunannya sendiri.
Seiring inflasi, The Fed perlahan-lahan menaikkan suku
bunga acuan. Dengan demikian, biaya pengembalian kredit pun meningkat. Keadaan
mulai berbalik. Masyarakat unbankable
yang semula ikut menikmati murahnya kredit perumahan menjadi segmen yang
pertama kali mengalami gagal bayar. Keadaan ini diikuti oleh sektor ekonomi
lainnya karena banyak produk perbankan yang tertaut dengan sektor properti,
termasuk obligasi CDO (Collateralized
Debt Obligation) yang dikeluarkan perbankan untuk meraup permodalan guna
menopang booming kredit sektor
properti. Fenomena inilah yang disebut dengan gelembung pecah (bubble burst).
Sektor properti terpuruk. Konsentrasi kredit yang terpusat
pada sektor properti memperburuk keadaan. Bank-bank mengalami kesulitan
likuiditas. Salah satu bank investasi besar di Amerika Serikat, Lehman Brother Inc
sampai harus mengumumkan kepailitan pada bulan September 2018. Terjadilah
instabilitas keuangan yang menjalar ke seluruh dunia.
Dari sini para pakar ekonomi melihat kebijakan
mikroprudensial yang mengatur kesehatan individu lembaga keuangan tidak cukup
menyelesaikan masalah. Kiat-kiat menjaga stabilitas sistem keuangan melalui Kebijakan Makroprudensial menjadi begitu
penting untuk diterapkan. Berkaca pada pengalaman krisis global, di mana risiko
sistemik bisa ditularkan ke seluruh dunia hanya karena kegagalan satu sektor
keuangan domestik saja, kebijakan-kebijakan mengenai stabilitas sistem keuangan
secara komprehensif pun mulai dilembagakan oleh masing-masing negara.
Definisi
Makroprudensial
Definisi makroprudensial sendiri lebih mudah dipahami jika
kita merujuk pada latar belakang mengapa kebijakan makroprudensial diperlukan.
Upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak cukup
jika hanya difokuskan pada kinerja individu bank atau lembaga keuangan lainnya.
Kegagalan salah satu bank dapat merembet pada bank lainnya karena adanya PUAB
(Pasar Uang Antar Bank) dan jejaring bank memiliki sifat interconnectedness. Potensi penyebaran risiko akan semakin besar
jika bank yang bermasalah adalah bank
besar atau dominan.
Pada situasi seperti ini, biasa ada gap kebijakan
(mikroprudensial, moneter maupun fiskal) yang membuat risiko sistemik bisa jadi
semakin aktual, seperti contoh krisis yang dipicu subprime-mortgage di atas. Untuk menutup gap inilah kebijakan
makroprudensial diperlukan.
Jadi secara singkat makroprundensial bisa diartikan sebagai
kiat-kiat yang digunakan oleh penyelenggara negara (dalam hal ini otoritas
ekonomi) untuk memastikan perekonomian secara makro berjalan dengan baik dengan
membatasi risiko yang sistemik. Oleh karena itu makroprudensial mencakup:
stabilitas sistem keuangan, bersifat menyeluruh dan membatasi risiko sistemik.
Karakteristik lain dari kebijakan makroprudensial ini adalah antar subjek (cross sector) dan bekerja pada dimensi dan runtun waktu (time series)
Untuk lebih memahami bagaimana kebijakan makroprudensial
bekerja dalam stabilitas sistem keuangan, mari kita melihat relasinya dengan
kebijakan ekonomi yang lain.
Kebijakan
Makroprudensial dan Moneter
Kebijakan moneter berfokus pada stabilitas harga, sedangkan
kebijakan makroprudensial berfokus pada stabilitas keuangan. Ada kalanya
kebijakan moneter tidak berjalan selaras dengan kebijakan keuangan. Fungsi
kebijakan makroprudensial adalah menutup gap di antara keduanya.
Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, kebijakan
makroprudensial bisa menguatkan kebijakan moneter atau sebaliknya, berlawanan
dengan kebijakan moneter. Sebagai contoh, kebijakan moneter untuk memicu
perekonomian adalah menurunkan suku bunga acuan. Dengan demikian diharapkan
sektor riil bergairah. Tapi keadaan ini juga bisa memicu terjadinya
penggelembungan harga (bubble) karena
demand yang lebih tinggi daripada supply. Kondisi ini dapat ditangani
dengan kebijakan makroprudensial yaitu kebijakan loan to value yang lebih ketat, misalnya dengan menaikkan down payment kredit.
Kebijakan yang saling menguatkan misalnya, saat ekonomi
sedang booming diperlukan kebijakan
untuk mengerem laju pertumbuhan kredit dan aksi spekulatif para pelaku ekonomi.
Kebijakan moneter bisa ditetapkan untuk menaikkan suku bunga acuan, sedangkan
kebijakan makroprudensial digunakan meningkatkan rasio permodalan bank. Dengan biaya
pengembalian pinjaman yang lebih tinggi, laju pertumbuhan kredit akan diredam
dan bank akan cenderung mengurangi alokasi dana perkreditan untuk meningkatkan
permodalannya.
Kebijakan
Makroprudensial dan Fiskal
Risiko sistemik dapat berasal dari defisit transaksi
berjalan (current account deficit)
yang disebabkan aksi ambil untung para pelaku ekonomi oleh meningkatnya
konsumsi masyarakat pada barang-barang impor.
Pada keadaan ini kebijakan makroprudensial tidak dapat
bekerja sendiri melainkan harus berinteraksi dengan kebijakan fiskal untuk
mencegah potensi shock makroekonomi
tersebut. Saat konsumsi rumah tangga sedang tinggi terutama pada barang-barang
impor, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk meningkatkan insentif pajak guna
mendorong produksi barang-barang yang memiliki nilai tambah (value added), sehingga produksi barang-barang
dalam negeri dapat mengurangi dominasi barang-barang impor. Di saat yang sama
kebijakan makroprudensial digunakan untuk menahan laju spekulatif para pelaku
ekonomi.
Kebijakan
Makroprudensial dan Mikroprudensial
Relasi antara kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial
lebih mudah diamati. Jika makroprudensial menyasar sistem keuangan secara
keseluruhan, mikroprudensial menyasar individu institusi keuangan. Kebijakan
makroprudensial bersifat top down
karena mengamati kondisi makroekonomi, sebaliknya kebijakan makroprudensial
bersifat bottom up. Oleh karena itu
seringkali kebijakan makroprudensial tidak sejalan dengan tujuan
mikroprudensial. Malah, untuk mengamankan stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan, kadang ada yang dikorbankan pada tingkat individu institusi
keuangan.
Sebagai contoh untuk mengamankan risiko sistemik akibat booming ekonomi, Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan untuk menaikkan permodalan bank. Secara makro langkah ini dapat
mengurangi risiko ekonomi, sementara jika melihat secara mikro di tingkat
pelaku ekonomi individual, beberapa bank bisa saja menghadapi kesulitan untuk
memenuhi kebijakan tersebut.
Otoritas
Makroprudensial
Setelah mengenal kebijakan makroprudensial di atas, mari
kita lihat otoritas yang mengeluarkan kebijakan tersebut.
Setiap negara memiliki kebijakan dalam menetapkan otoritas yang memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan makroprudensial. Bisa jadi diserahkan kepada otoritas tunggal, diserahkan kepada beberapa otoritas yang saling bersinergi atau diserahkan kepada komite khusus. Setelah mempelajari karakteristik sistem makroprudensial di berbagai negara, sistem yang sesuai digunakan di Indonesia adalah menggunakan otoritas tunggal yaitu Bank Indonesia
Beberapa karakteristik Bank Indonesia yang membuatnya menjadi otoritas tunggal antara lain:
- Bank
Sentral sebagai Lender of the Last Resort.
Tugas otoritas makroprudnesial mendeteksi dan mencegah terjadinya risiko
sistemik dalam rangka stabilitas sistem keuangan harus didukung dengan
kemampuan menyediakan likuiditas dalam rangka menghindari terjadinya risiko
sistemik.
- Bank
Sentral sebagai otoritas sistem pembayaran. Tugas bank sentral untuk memastikan
tersedianya sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar dan andal selaras
dengan tugas otoritas makroprudensial, karena terganggunya infrastruktur
pembayaran juga dapat berpotensi menimbulkan kegagalan sistemik.
- Bank Sentral
memiliki kapasitas merumuskan bauran kebijakan secara komprehensif. Dalam
menghadapi masalah multidimensi, dibutuhkan kebijakan yang multidimensi pula
(kombinasi antara kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran)
agar penanganan masalah lebih efektif. Membuat bauran kebijakan yang efektif
sulit dilakukan jika kewenangan makroprudensial tidak dimiliki oleh bank
sentral.
- Bank Sentral
memiliki jejaring dengan Bank Sentral lain. Jika otoritas makroprudensial
dimiliki oleh bank sentral, bank sentral lebih memiliki kewenangan untuk
melakukan kerja sama keuangan dengan bank sentral/lembaga keuangan
internasional lainnya guna memitigasi dan mencegah potensi risiko sistemik di
sistem keuangan domestik, regional maupun internasional.
Sinergi antar otoritas lembaga ekonomi negara ini
diperlukan bukan saja untuk pencegahan dan penanganan krisis tetapi juga
diharapkan mampu menjamin stabilitas sistem keuangan dari waktu ke waktu. (PG)
Ilustrasi gambar oleh steve buissinne dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment