Aksi Untuk Net-Zero Emissions Dimulai dari Diri Sendiri
Kesadaran mengenai dampak perubahan iklim (climate change) kian menjadi perhatian masyarakat global. Isu-isu lingkungan seperti efek rumah kaca, pengurangan jejak karbon (carbon footprint), energi bersih dan sebagainya semakin sering jadi bahan pembicaraan.
Dahulu ada anggapan kalau pengurangan
emisi karbon yang memicu pemanasan global adalah tanggung jawab negara-negara
industri semata. Kini anggapan tersebut telah berubah. Tidak bisa dipungkiri, kita
yang hidup di atas bumi ini adalah sebuah ekosistem besar yang terhubung satu
sama lain. Dampak lingkungan di suatu negara cepat atau lambat akan sampai ke
negara lainnya. Jadi, mau tidak mau, pengurangan emisi telah menjadi tanggung
jawab bersama.
Oleh karena itu, Net-Zero
Emissions menjadi isu penting yang dibahas saat pertemuan internasional tentang
perubahan iklim di Paris, Perancis pada Desember 2015. Pertemuan ini juga
dikenal dengan nama COP 21. Negara-negara yang hadir saat itu menyepakati
perjanjian yang disebut Perjanjian Paris (Paris Agreement) berisi
kewajiban negara peserta mengumumkan target penurunan emisinya.
Target Net-Zero
Emissions
Indonesia sebagai salah satu negara
yang ikut meratifikasi Paris Agreement tidak terkecuali. Menindaklanjuti hasil COP 21 ini, pemerintah
telah menyusun rencana penurunan emisi melalui sinergi beberapa
kementerian dan diharapkan target ini bisa dicapai antara tahun 2045-2060.
Sebagai pengambil kebijakan
strategis, pemerintah memang memiliki peran yang penting untuk mewujudkan target
besar tersebut. Dimulai dari membuat regulasi-regulasi penunjang sampai kepada
pendanaan riset dan alih teknologi yang biasanya membutuhkan biaya besar sehingga
sulit dilirik private sector.
Karena (sekali lagi) kita adalah penghuni
sebuah ekosistem besar, penurunan emisi ini pun menjadi target bersama, bukan target
pemerintah saja. Oleh karena itu aksi mengurangi jejak karbon untuk mendukung
program Net-Zero-Emissions harus menjadi kesadaran bersama. Setiap
individu bisa mengambil peran sesuai kapasitas masing-masing di dalam aksi untuk
lingkungan ini.
Memang sulit untuk tidak
meninggalkan jejak karbon sama sekali karena jejak karbon adalah konsekuensi
dari kemajuan peradaban. Perlu diketahui, jejak karbon tidak sesederhana gas
buangan yang keluar dari knalpot kendaraan kita.
Emisi karbon dihasilkan dari nyaris
seluruh sektor produksi di sekitar kita: pengolahan barang mentah menjadi
barang setengah jadi dan barang jadi, termasuk proses distribusinya. Akibatnya,
baju yang kita kenakan, lauk pauk yang kita konsumsi sehari-hari bahkan pasta
gigi yang kita pakai semuanya meninggalkan jejak karbon ke atmosfer. Jadi untuk
benar-benar bisa menghilangkan jejak karbon, kita mungkin harus kembali
menjalani hidup sebagai manusia prasejarah, tinggal di dalam gua dan hidup berburu
untuk makan sehari-hari. Mustahil, bukan?
Net-Zero Emissions atau emisi nol-bersih sendiri tidak berarti kita
berhenti menghasilkan emisi sama sekali. Tanpa melakukan apa-apa sekalipun, kita
tetap saja menghasilkan karbon dioksida ke udara dari pernapasan kita. Yang
dimaksud dengan Net-Zero Emissions adalah kita bisa menekan emisi pada
tingkat paling rendah agar bisa diserap sepenuhnya oleh lingkungan. Dengan
demikian tidak ada ekses emisi karbon yang mengendap di atmosfer.
Tapi karena sulit bukan berarti
kita tidak bisa berkontribusi sama sekali. Segala aksi kita, sekecil apapun, selalu
bisa memberi manfaat bagi kelestarian lingkungan. Mari melihat apa yang bisa
kita lakukan, dimulai dari diri sendiri, lalu di komunitas terdekat.
Aksi Pribadi
Berikut beberapa kebiasaan yang
sudah saya lakukan selama ini untuk mengurangi jejak karbon pribadi:
Mengurangi penggunaan
kendaraan untuk perjalanan jarak dekat. Untuk
tujuan yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 10 menit berjalan kaki, misalnya
ke warung, apotek atau minimarket terdekat, saya akan lebih memilih berjalan
kaki dibanding mengendarai motor.
Begitu juga pada saat ada keperluan
berbelanja di lebih dari satu toko yang berdekatan, saya memarkir motor di satu
tempat saja, setelah itu berjalan kaki ke toko-toko lainnya. Selain untuk
mengurangi emisi dari kendaraan bermotor, lebih sering berjalan kaki juga
membuat badan lebih sehat.
Budaya Cashless. Membiasakan diri dengan transaksi keuangan cashless
juga bisa menjadi aksi untuk mengurangi emisi. Selain lebih praktis dan lebih
aman, budaya cashless juga mengurangi jejak karbon dari proses
pengelolaan uang tunai mulai dari pencetakan, distribusi sampai pengumpulan
kembali.
Pemanfaatan sampah plastik
untuk Urban Farming. Beberapa bulan
lalu saya memanfaatkan kembali sampah plastik botol air mineral (ukuran 1.500
ml) sebagai wadah bertanam sayur selada. Sampai dua kali panen saat itu. Tidak
banyak jumlahnya, tapi seru juga dilakoni untuk kegiatan mengisi waktu luang.
Memanfaatkan sampah plastik untuk bercocok tanam, terutama untuk rumah dengan
pekarangan sempit sebenarnya membawa manfaat ganda. Yang pertama, pemanfaatan kembali
sampah plastik, yang kedua, membantu ketahanan pangan keluarga.
Jika dilakukan secara simultan, gerakan
urban farming juga bisa memangkas emisi yang terjadi dari proses
distribusi bahan pangan dari daerah rural ke perkotaan.
Membawa Botol Air
Sendiri. Kebiasaan lain yang sudah saya
lakukan kurang lebih dua tahunan ini adalah membawa minuman sendiri, terutama
jika ada tugas ke lapangan. Dengan demikian tidak perlu membeli air mineral kemasan
lagi di luar. Manfaat dari kebiasaan ini selain untuk penghematan, membawa
botol air sendiri juga bisa mengurangi produksi sampah plastik kita.
Aksi Lewat Tulisan. Sebagai blogger saya juga merasa harus ikut
memberikan penyadaran kepada para pembaca. Berbagi lewat tulisan memang bukan
aksi secara langsung, tapi memberi insight dan penyadaran juga adalah aksi
yang tidak kalah pentingnya untuk mengubah pola pikir pembaca. Dengan insight
yang benar, masyarakat akan menjadikan opsi peduli lingkungan sebagai hal
yang harus dipertimbangkan pada setiap pengambilan keputusan.
Lingkungan kerja
Setelah memulai dari diri sendiri,
aksi untuk Net-Zero Emmisions bisa ditularkan ke lingkungan terdekat,
syukur-syukur bisa menjadi aksi bersama.
Di lingkungan kerja, misalnya. Saat
ini untuk acara internal kantor kami seperti rapat-rapat atau pelatihan, kami
tidak membeli air kemasan lagi. Peserta diminta membawa botol air sendiri dan
kantor tinggal menyiapkan air galon untuk isi ulang. Bukan pelit, aksi ini
dilandasi kesadaran bersama untuk mengurangi sampah plastik dari botol-botol
air kemasan sekali pakai.
Butuh waktu memang untuk
“membumikan” kebiasaan baru ini. Tapi jika dilakukan secara konsisten, lama
kelamaan semua orang akan terbiasa. Malah kebiasaan membawa botol air minum
sendiri telah jadi gaya hidup sebagian besar teman-teman kantor.
Kebiasaan lain di lingkungan kerja
yang juga terbentuk karena kesadaran lingkungan misalnya menggunakan kertas
bekas (yang halaman belakangnya masih kosong) untuk mencetak draft
dokumen, meminimalkan penggunaan kertas saat rapat atau pertemuan dengan membagikan
dokumen digital pada peserta dan sebagainya.
Kesimpulan
Pemerintah memang memiliki peran
strategis untuk mencapai Net-Zero Emissions selambat-lambatnya tahun
2060 mendatang. Rencana besar seperti pengembangan energi baru dan terbarukan
sampai menyiapkan peraturan perundang-undangan pendukung harus terus
dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Tapi sebagai pribadi maupun sebagai
komunitas kita memiliki peran yang tidak kalah pentingnya untuk menyukseskan
target besar tersebut, sekecil apapun aksi yang kita lakukan.
Dengan kesadaran bersama, target
penurunan emisi tersebut pasti bisa kita wujudkan dengan baik. Bumi pun menjadi
rumah bersama yang lebih sejuk dan lestari untuk anak cucu kita kelak. (PG)
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment