Gaji dulu Baru Kontribusi, atau Sebaliknya?
Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan kerja sama dalam tim, mampu bekerja di bawah tekanan, mampu bernegosiasi dan sederet interpersonal skill lainnya sangat dibutuhkan dalam perusahaan.
Sebenarnya perusahaan juga memberi perhatian kepada
almamater si pencari kerja dalam aplikasi lamaran yang dimasukkannya. Tentu ada
penilaian awal yang berbeda antara pencari kerja fresh graduate A dan B, jika A berasal dari universitas yang tidak
diunggulkan dan minim prestasi, sedangkan B berasal dari universitas unggulan
yang sangat terkenal karena punya sederet prestasi.
Perusahaan memiliki asumsi budaya atau etos kerja yang akan
dilakoni di perusahan mulai terbentuk pada lingkungan akademisnya. Etos belajar
yang kompetitif dan kondusif pada akademi atau universitas unggulan akan
membantu pencari kerja membangun etos dalam lingkungan kerja yang sebenarnya
dalam perusahaan. Tapi ini hanya salah satu variabel saja dari penilaian-penilaian
lainnya.
Sebelum si pencari kerja diterima, masih ada wawancara yang
biasa menjadi tempat negosiasi salary
atau gaji antara calon karyawan dan perusahaan yang biasa diwakili oleh HRD
atau manajemen terkait. Di sini bagian yang cukup krusial. Pencari kerja mesti hati-hati
bernegosiasi, terutama bagi fresh
graduate yang masih minim pengalaman dengan dinamika dunia kerja.
Manusia cenderung memikirkan haknya terlebih dahulu
dibanding kewajibannya. Akibatnya pada bagian ini, calon karyawan biasanya menginginkan
perusahaan memberi gaji yang setinggi-tingginya. Padahal dari sisi perusahaan, gaji
adalah imbas hasil dari kontribusi karyawan yang diberikan kepada
perusahaan. Semakin besar dan strategis
kontribusi karyawan, tentu semakin besar pula kompensasi yang diberikan
perusahaan kepadanya.
Beberapa waktu lalu dunia maya heboh akibat unggahan status salah seorang warganet yang “merecehkan” gaji 8 juta karena menganggap dirinya yang merupakan lulusan salah satu universitas besar patut mendapatkan lebih.
Pernyataan ini bisa bernilai benar atau salah tergantung sudut pandang mana yang akan digunakan untuk menilainya. Jadi kita tidak akan mengurai pernyataannya melainkan melihat dari sudut pandang yang lain mengenai bagaimana sebenarnya perusahaan menilai sumber daya manusia yang dimilikinya.
Selain latar belakang pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan pribadi karyawan, ada beberapa hal lain yang biasa menjadi fokus
perusahaan saat merekrut dan menilai karyawan tersebut.
Interpersonal
Skill
Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan kerja
sama dalam tim, mampu bekerja di bawah tekanan, mampu bernegosiasi dan sederet interpersonal skill lainnya sangat
dibutuhkan dalam perusahaan. Terutama divisi lini depan perusahaan yang
bergerak dalam consumer goods,
penjualan, jasa keuangan dan sejenisnya.
Keterampilan pribadi tanpa diimbangi dengan kemampuan untuk
membangun relasi dengan orang lain dalam tim maupun dengan pelanggan/customer akan membawa dampak negatif dalam
kinerja perusahan dan bisa berimbas lebih luas. Oleh karena itu perusahaan
lebih senang pada orang yang pengetahuannya pas-pasan tetapi luwes, supel dan
berjiwa sosial tinggi dibanding yang memiliki IQ tinggi tetapi apatis, cuek dan
cenderung egois.
Bersedia
Berkorban
Pada keadaan tertentu karyawan/pekerja dituntut untuk
memberi lebih daripada hal-hal yang ada dalam perjanjian kerja. Misalnya mesti
bekerja lembur jika ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan, membantu tim
sales melakukan penjualan pada saat
hari libur/raya, membantu pekerjaan teman sedivisi, rangkap jabatan selama
beberapa waktu dan hal-hal lainnya.
Memang biasa ada kompensasi yang diberikan untuk overtime atau beban kerja lebih seperti
ini, tetapi tetap saja membutuhkan kerelaan mengorbankan waktu dan hal lainnya
dari karyawan yang bersangkutan. Sudah pasti ada perbedaan nilai antara
karyawan yang ogah diminta bekerja lebih dan suka hitung-hitungan dengan
karyawan yang bersedia bekerja lebih banyak/lebih lama. Prinsip karyawan yang
bersedia berkorban ini adalah keberlanjutan perusahaan juga berarti kelanjutan
hidup mereka.
Loyalitas
Pada era disruptif, sifat yang satu ini sudah sangat
relatif nilainya. Perusahan-perusahaan berlomba merekrut SDM terbaik di tengah
kompetisi yang semakin ketat. Jadi jika harus memilih antara kompetensi dan
loyalitas, lebih baik memilih kompetensi. Konsekuensinya perusahaan akan mencari
banyak strategi dan cara untuk meningkatkan loyalitas karyawannya.
Kalau toh pada akhirnya karyawan dibajak perusahaan yang
lain, kesalahan tidak sepenuhnya berada pada karyawan. Perusahaan pun harus
introspeksi diri dan memperbaiki sistem rekrutmen atau sistem insentif dalam
perusahaanya. Tapi bagaimanapun juga
loyalitas karyawan tentu memiliki nilai tersendiri.
Karyawan yang sudah mengabdi lebih lama, biasa akan lebih
diprioritaskan pada saat ada pemberian insentif atau pada keadaan tertentu dimana
perusahaan harus merampingkan organisasinya.
Demikian beberapa contoh penilaian yang diberikan
perusahaan untuk karyawannya. Pengetahuan dan keterampilan pribadi bukan
sesuatu yang utama karena perusahaan selain mengelola aset berupa benda mati
juga mengelola karyawan yang berbeda-beda pikiran dan karakternya.
Salary atau gaji
pun menjadi relatif karena sangat tergantung dengan volume usaha, keadaan
keuangan perusahaan dan yang terpenting adalah bagaimana kontribusi karyawan untuk
memajukan perusahaan tempatnya berkarya.
Lagipula penghargaan dari perusahaan kepada karyawannya
bukan hanya sebatas gaji saja. Ada sejumlah hal lain yang biasa luput dari
perhitungan karyawan, seperti suasana kerja yang kondusif, perlindungan kerja,
fasilitas yang diberikan untuk menunjang pekerjaan, kesempatan mengikuti training untuk meningkatkan kompetensi
dan insentif lainnya.
Bahkan di lingkungan kerja kami, kalau teman kena marah pimpinan,
kami biasa bergurau “Sudah terima saja, kan kena marah bos juga masuk komponen
gaji, Bro!”
Sekian.
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment