Mampukah Pidato Jokowi Mengubah Dunia?
Suasana saat pembukaan KAA 22-23 April 2015. Gambar dari: kompas.com |
Keadaan sosial politik global sekitar era revolusi industri
berbeda jauh dengan zaman modern sekarang ini. Saat itu bangsa-bangsa masih dominan
menegaskan jati dirinya dengan kekuatan senjata-senjata dan ekspansi fisik.
Eksploitasi terhadap negara lain masih dilakukan dengan kasat mata, sarat
kekerasan dan kegaduhan.
Pada zaman modern ini, diplomasi menjadi senjata yang lebih dominan
untuk menekan atau mempengaruhi negara lain. Dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, sekat-sekat multidimensi yang membatasi bola bumi
semakin tipis. Racun yang ditebarkan lewat media massa jauh lebih “mematikan”
dan masif imbasnya dibanding senjata-senjata pemusnah massal. Penulis buku Megatrend sekaligus public speaker kenamaan dari Amerika Serikat, John Naisbitt, sejak
jauh-jauh hari melontarkan kalimat “siapa yang menguasai media akan menguasai
dunia.”
Oleh karena itu, kini retorika menjadi skill yang harus dimiliki oleh pemimpin suatu negara. Pidato atau speech telah menjadi senjata mutakhir
yang seringkali digunakan sebagai cara untuk unjuk gigi sekaligus mempengaruhi psikologis
lawan dan kawan yang mendengarnya.
Pidato-pidato
Bersejarah
Sejarah pun mencatat pidato-pidato inspiratif sejumlah tokoh
yang kemudian terbukti memberikan pengaruh bagi perkembangan peradaban manusia.
Misalnya pidato Martin Luther King, Jr bertajuk “I Have A Dream” yang disampaikannya sebagai wujud keprihatinan terhadap
perbudakan dan perlakuan rasis terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika.
Martin Luther berhasil membakar semangat saudara-saudaranya untuk memperjuangkan
kesetaraan dan persamaan hak sebagai sebagai bagian yang terpisahkan dari
perjalanan Amerika Serikat. Jika tidak ada pidato ini, mungkin saja Barrack
Obama tidak akan pernah menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam itu.
Jawaharlal Nehru, perdana menteri India paling pertama juga
pernah menyampaikan pidato yang menggugah semangat kebangsaan masyarakat India
pada tahun 1947. Dalam pidatonya, Nehru memberi definisi baru bagi kata
“kemerdekaan” yang selama ini dipahami masyarakat India di bawah bayang-bayang
Inggris.
Mungkin tidak banyak yang tahu, sebuah pidato bisa menjadi
cikal bakal peristiwa bersejarah seperti keruntuhan tembok Berlin tahun 1990
lalu. Tembok tersebut menjadi simbol perang dingin antara liberalis dan
komunis, Jerman Barat dan Timur. Pada tahun 1987 Ronald Reagan dalam pidatonya
mendesak Presiden Gorbachev, meruntuhkan tembok pembatas tersebut. Memang saat
itu Presiden Gorbachev tak bergeming, malah balik meledek Presiden Reagan.
Namun pidatonya berhasil mengangkat moral masyarakat Jerman. Tiga tahun
kemudian, tembok besar Berlin pun dirubuhkan.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang dikenal dunia lewat
pidato-pidatonya. Nelson Mandela dengan pandangan Aperheid-nya, Susan B. Anthony yang memperjuangkan hak memilih pada
perempuan, Abraham Lincoln yang banyak menghasilkan petuah-petuah berbau
nasionalis dan lain-lain.
Menilik ke dalam negeri, kita memiliki banyak ahli pidato. Ir.
Soekarno misalnya, setiap kali berdiri dan berkoar-koar di belakang microphone membuat ketar-ketir pihak
asing dan lawan-lawan politiknya. Kepiawaiannya ini sudah terkenal sampai ke
luar negara. Berbekal kemampuan diplomatiknya tersebut Ir. Soekarno menjadi
salah satu inisiator forum internasional Konferensi Asia Afrika (KAA).
Atau masih ingat dengan semboyan “Mereka atau mati” dan “Berjuang
sampai titik darah penghabisan”? Ya, semboyan itu identik dengan Bung Tomo dan
Jenderal Sudirman yang pandai membakar semangat para pejuang kemerdekaan dengan
pidato-pidato mereka.
Tidak hanya dalam hal politik dan ideologi. Speech para pembesar pun sering
mempengaruhi fluktuasi ekonomi global. Sampai hari ini, para trader masih sering menjadikan pidato
tokoh-tokoh dunia, seperti pejabat teras negara dan pejabat bank sentral
sebagai referensi untuk mengantisipasi sentimen pelaku pasar global.
Bagaimana dengan
Pidato Jokowi?
Dua hari ini, perhatian kita terpusat pada perhelatan akbar KAA
di Jakarta. Hadirnya petinggi-petinggi negara dari kedua benua membuktikan
betapa strategisnya dampak perhelatan ini. Kesempatan tersebut tidak
disia-siakan Jokowi dengan menyampaikan pidato pembukaan yang segar, bernas dan
bisa disebut berani. Riuh aplaus dari para delegasi KAA mudah-mudahan memang membuktikan
bahwa mereka seia sekata dengan isi pidato Jokowi tersebut.
Dalam pidatonya Jokowi mengkritik kesenjangan di antara
negara-negara kaya dan miskin, yang disimbolkan dengan negara belahan bumi utara
dan selatan. Kritik tajam pun dialamatkan kepada PBB yang dianggap tidak
berdaya dalam peranannya sebagai fasilitator untuk menjaga kestabilan global. Jokowi
mengangkat contoh kasus ISIS dan Palestina. Bahkan Jokowi secara vulgar juga
mereduksi peran beberapa lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia, IMF dan
ADB. Jokowi mengatakan pandangan bahwa ketiga lembaga tersebut adalah solusi
terhadap masalah ekonomi global sebagai pandangan yang sudah usang.
“Rasa” pidato Jokowi kali ini lain dari biasanya. Tidak
nampak Jokowi yang kalem dan cool
saat dibombardir dengan seabrek masalah. Kabarnya draft pidato pembukaan
tersebut disusun oleh tim khusus yang berisi kumpulan manusia-manusia intelek.
Kepakaran mereka berada pada komunikasi
politik dan isu-isu strategis global, sehingga pidato yang disampaikan Jokowi
menjadi begitu aktual dan berani.
Sempat terbersit pemikiran kalau sejumlah kritik terhadap
PBB dan lembaga dunia terkait, hanya
bagian dari show yang harus
dilakoki Jokowi. Bisa jadi juga kritik tersebut hanya respon emosional belaka
karena beberapa waktu lalu Ban Ki Moon, Sekjen PBB ikut intervensi terhadap
kebijakan eksekusi mati Bali Nine. Namun jika ditelisik lebih dalam, pidato
pembukaan tersebut memang bukan sekedar retorika seremonial belaka. Pidato
tersebut membawa sejumlah pesan politik dan ideogis bagi dunia, bukan saja bagi
peserta KAA.
Jokowi benar-benar menegaskan posisi dan cara pandang
Indonesia dalam menyikapi isu-isu global seperti kesenjangan ekonomi, hankam
dan masalah-masalah global lainnya. Dalam pidatonya Jokowi melakukan self-endorsement dengan menggarisbawahi kekuatan
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara dengan
penduduk muslim terbesar dunia yang siap berperan membangun kepemimpinan global
yang lebih adil dan bertanggungjawab.
Akhirnya, kita berharap strategi diplomasi yang dimunculkan
lewat pidato ini tepat sasaran. Memberi kritik itu ada seninya. Jika tidak
dilakukan dengan bijak maka kritik dapat menjadi bumerang yang berbalik membawa
masalah. Mengkritik orang per orang saja bisa mendatangkan masalah bagi si
pengkritik, kendati kritiknya bersifat membangun. Apalagi yang dikritik adalah
organisasi kelas dunia, yang dibekingi oleh sejumlah negara-negara adikuasa
paling berpengaruh di dunia. (PG)
Post a Comment