Header Ads

Sudah Siapkah Kita Menghadapi Pajak Karbon?

 


Pajak karbon (carbon tax) adalah salah satu intervensi dari pemerintah suatu negara selaku regulator untuk membatasi emisi gas karbon sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi di negara tersebut. Kita ketahui bersama, gas karbon yang dilepaskan berlebihan ke atmosfir menjadi penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim dan fenomena ekologi lainnya yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungan.

Negara-negara yang sudah menerapkan pajak karbon antara lain Finlandia (negara yang pertama menerapkan pajak karbon), Jepang, Argentina, Singapura, Chili, Kanada dan sejumlah negara Uni-Eropa. Hal ini memperlihatkan kepedulian terhadap lingkungan telah menjadi kepedulian global. Upaya-upaya untuk terus menekan emisi karbon memang semakin intensif dilakukan, terutama setelah pertemuan internasional tentang iklim di Perancis (COP21) yang menghasilkan Paris Agreement pada tahun 2015 lalu.

Beberapa negara malah menerapkan tarif pajak karbon yang cukup tinggi seperti misalnya Swedia dengan tarif US$137,24 per tCO2e dan Swiss dengan tarif US$101,47 per tCO2e. Pajak karbon dikenakan pada setiap pemakaian bahan bakar yang dapat menghasilkan emisi gas karbon dan dihitung dengan satuan ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e)

Bagaimana dengan Indonesia?

Untuk membatasi emisi karbon, termasuk dengan pemberlakuan pajak karbon, pemerintah kita juga tidak tinggal diam. Upaya-upaya untuk merealisasikan pajak karbon sudah dimulai sejak tahun 2021 dengan pembuatan peraturan pendukung yang tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Merujuk portal klikpajak.id, peta jalan penerapan pajak karbon tanah air dimulai pada tahun 2021 lalu berupa pembahasan dan penetapan RUU HPP dengan salah satu klausul mengenai pajak karbon, finalisasi Perpres Nilai Ekonomi Karbon, pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon serta piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik oleh kementerian ESDM dengan harga paling rendah Rp30.000 per tCO2e.

Lalu yang dilakukan pada tahun 2022 adalah penetapan cap (batas atas emisi) untuk sektor pembangkit listrik batu bara oleh kementerian ESDM. Per 1 April 2022 penerapan pajak karbon sudah dilakukan tapi secara terbatas untuk PLTU batu bara dengan tarif Rp30.000 per tCO2e.

Nah, menurut peta jalan tersebut pada tahun 2025 penetapan aturan pelaksanaan pajak karbon sudah dilakukan juga pada sektor lainnya. Perluasan sektor pajak karbon ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan sektor yang dimaksud. Ini berarti tahun depan kita sudah akan mengimplementasikan pajak karbon secara penuh.

Untuk mengurangi emisi karbon, pajak karbon adalah terobosan yang baik dan sudah terbukti efektif di beberapa negara yang sudah lebih dulu mengimplementasikannya. Tapi dari perspektif ekonomi, terobosan ini memiliki konsekuensi sekaligus tantangan yang harus diantisipasi oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan agar implementasinya berjalan mulus dan membuahkan hasil yang diharapkan.

Efek Berganda (Multiplier Effect)

Objek pajak karbon adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi. Dengan membayar pajak karbon, industri yang terlibat di dalam produksi, distribusi dan konsumsi bahan bakar fosil harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Konsekuensinya adalah menaikkan harga yang efeknya akan sampai ke masyarakat sebagai konsumen akhir. Inilah efek berganda yang akan terjadi dengan penerapan pajak karbon tersebut. Efek berganda ini harus diperhitungkan dengan baik karena kita ketahui bersama sebagian besar aktivitas ekonomi kita masih ditunjang oleh energi fosil.

Potensi Inflasi

Dengan demikian, inflasi merupakan konsekuensi logis pemberlakuan pajak karbon yang harus dikelola dengan baik. Tarif pajak karbon harus dikaji dengan teliti agar ekses inflasi bisa dikendalikan. Salah satu kelemahan skema pajak karbon adalah implementasinya tidak secara langsung membatasi emisi yang dihasilkan perusahaan dan pelaku ekonomi lainnya. Tarif pajak yang terlalu tinggi bisa memicu inflasi dan kelesuan ekonomi, sedangkan tarif yang terlalu rendah bisa menyebabkan perusahaan cenderung mengabaikan pengurangan emisinya.

Ada skema lain yang bisa menutupi kekurangan dari pajak karbon ini, yaitu perdagangan karbon atau carbon trade. Perdagangan karbon didasarkan pada cap (batas atas emisi) yang sudah ditetapkan pemerintah. Perusahan yang emisinya melebihi cap ini harus membeli izin emisi dari perusahaan yang bisa menekan emisi di bawah cap yang ditetapkan atau membeli Sertifikat Penuruan Emisi (SPE). Skema lain adalah menerapkan carbon tax dan carbon trade secara simultan. Jadi perusahaan yang tidak bisa membeli izin emisi atau SPE di atas cap seluruhnya, akan dikenakan pajak karbon atas sisa emisi yang dihasilkannya. Sepertinya skema ini cukup ideal digunakan, terutama karena negara kita berada pada masa transisi implementasi pajak karbon.

Tantangan lain yang muncul adalah edukasi atau pemberian pemahaman kepada masyarakat selaku konsumen akhir juga subjek pajak. Begitu pula dengan kesiapan infrastruktur penunjang termasuk mengkaji faktor-faktor emisi yang akan menjadi indikator menghitung keluaran emisi dari individu dan entitas pelaku ekonomi. Semua ini harus dikelola dengan baik dan komprehensif oleh pemerintah. Pemerintah juga harus melengkapi instrumen pajak karbon dengan regulasi yang lebih lengkap.

Untuk membantu pengurangan emisi karbon, pendapatan negara dari pajak karbon dapat digunakan oleh pemerintah untuk percepatan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Juga bisa dialokasikan sebagai “bantalan” ekonomi kepada masyarakat yang terdampak, saat implementasi pajak karbon benar-benar menurunkan daya beli masyarakat.

Kita siap atau tidak, era pajak karbon sudah di depan mata. Pemerintah selaku regulator harus sedapat mungkin menyiapkan skema perpajakan yang paling sesuai dengan kondisi perekonomian dan masyarakat, sekaligus menyiapkan rancangan untuk antisipasi efek ganda dari penerapan pajak karbon ini. Sedangkan kita sebagai masyarakat perlu memberi dukungan dengan memahami rancangan besar di balik pemberlakuan pajak karbon dan mengurangi jejak karbon semaksimal mungkin sesuai kondisi masing-masing.

Wasana kata, mari memanjatkan asa agar proses implementasi pajak karbon di tanah air sebagai bagian dari strategi mencapai net zero emission berjalan baik sesuai harapan, demi masa depan bumi, rumah kita bersama.


---



Ilustrasi gambar dari pixabay.com

Pertama kali tayang di Kompasiana  

No comments

Powered by Blogger.