Header Ads

Pertanian Organik, "Jalan Ninja" Ketahanan Pangan yang Penuh Tantangan

 


Isu lingkungan seperti pemanasan global belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Syukurlah, semakin banyak pihak yang peduli dengan hal ini dan mengupayakan berbagai aksi mengurangi jejak karbon, seperti mengurangi sampah plasik, membatasi penggunaan kendaraan bermotor, beralih ke energi terbarukan dan lain-lain. Kita berharap dengan aksi ini, kecil atau besar, kita dapat berkontribusi lebih banyak kepada bumi kita.

Aksi lain yang juga mesti mendapat perhatian adalah pertanian yang lebih ramah lingkungan atau dikenal dengan pertanian organik. Dengan pertanian organik, petani membatasi penggunaan pestisida dan pupuk buatan pabrik sehingga mengurangi jejak karbon dari industrialisasi dan proses distribusi pupuk dan pestisida.

Potensi pengembangan pertanian organik di Indonesia sebenarnya masih terbuka lebar untuk terus ditingkatkan. Merujuk pada informasi dari Buku Statistik Pertanian Organik Indonesia yang diterbitkan oleh Universitas Bakries Press akhir tahun lalu, terlihat selama tiga tahun (2019-2022) terjadi peningkatan jumlah petani organik dan produksi di seluruh Indonesia. Untuk komoditi beras organik, misalnya, jumlah petani yang terlibat dalam proses budidaya beras organik pada tahun 2019 sebanyak 7.398 orang, sedangkan pada tahun 2022 meningkat menjadi 12.752 orang. Jumlah produksi beras organik pada tahun 2019 yang berjumlah 32.550 ton meningkat  menjadi 40.376 ton pada tahun 2022.

Walau terlihat ada peningkatan, angka-angkanya masih relatif kecil untuk negara sebesar Indonesia. Memang, dalam implementasinya di lapangan, penerapan pertanian organik ini menghadapi banyak tantangan. Inilah yang membuat pertanian organik tidak serta merta jadi gerakan yang dilakukan secara masif walaupun gaungnya sudah cukup lama terdengar. Tantangan dalam implementasi pertanian organik bisa dikategorikan pada beberapa poin berikut:

Waktu Konversi yang Lama

Jika tanah pertanian sudah terbiasa dengan pupuk kimia, maka butuh waktu lama bagi tanah untuk kembali terbiasa dengan asupan pupuk organik. Penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang membuat tekstur tanah menjadi lebih keras dan dapat membunuh mikroorganisme yang berperan menjaga kondisi alami tanah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisi alamiah tanah dengan penggunaan pupuk organik.

Dengan demikian para petani tidak bisa mendapatkan hasil segera saat melakukan konversi sistem pertanian dari konvensional ke organik. Pada tahap awal konversi sistem pertanian, produktivitas lahan rendah, maka pendapatan petani juga akan berkurang drastis. Ini yang membuat banyak petani tidak siap secara mental dan juga finansial mengadopsi pertanian organik.

Butuh Pengetahuan dan Keterampilan Baru

Adopsi sistem baru membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru pula. Ini jadi salah satu tantangan konversi ke pertanian organik. Untuk pengendalian hama, misalnya. Petani yang sudah terbiasa dengan pestisida kimia mesti belajar kembali mengenai pestisida organik dan hal-hal lain seperti rotasi tanaman, predator alami hama, pertanian terpadu dan seterusnya.

Belum lagi berbicara isu lainnya seperti efek pestisida organik yang kadang tidak sekuat pestisida kimia untuk mengusir hama, masa simpan pestisida organik yang jauh lebih singkat dibanding pestisida kimia dan seterusnya. Penerapan keterampilan dan pengetahuan baru ini tidak selalu berjalan mulus, sehingga ikut menghambat penerapan pertanian organik di lapangan.

Biaya Lebih Besar

Dari segi biaya, pertanian organik bisa menghabiskan cost yang lebih besar, khususnya terkait biaya tenaga kerja dalam perawatan tanaman pangan, serta pengadaan pupuk dan pestisida jika sumber bahan bakunya terbatas. Membuat sendiri bisa jadi alternatif, tapi tetap membutuhkan effort dan sumber daya lebih jika luas lahan pertaniannya cukup besar. Ini yang membuat harga produk pertanian organik biasa lebih tinggi dibanding produk pertanian konvensional.

Belum lagi bicara pasar (pembeli) pertanian organik yang belum seluas pasar pertanian konvensional. Jadi harga lebih mahal tapi pembelinya lebih sedikit. Bandingkan dengan pertanian konvensional yang lebih praktis, lebih murah dengan segmen pasar yang lebih luas.

Tantangan-tantangan inilah yang membuat penerapan pertanian organik tidak selalu berjalan sesuai harapan. Walaupun demikian, pertanian organik tetap harus menjadi perhatian dan mendapat dukungan kita bersama demi ketahanan pangan yang berpihak pada kelestarian lingkungan.

Pertanian organik membawa manfaat dan kebaikan untuk tanah dalam jangka panjang. Seperti sudah dipaparkan di atas, proses konversi ke pertanian organik tidak serta merta membuahkan hasil. Butuh waktu bertahun-tahun bagi tanah yang sudah mengandung banyak residu pupuk kimia untuk kembali pulih. Tapi seiring penggunaan pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang, mikroorganisme yang berperan dalam menjaga kesuburan tanah juga kembali hidup dan bertumbuh. Dengan demikian tanah kembali produktif dan siap menopang pertumbuhan tanaman pangan dalam jangka panjang. Berbeda dengan tanah yang terus-menerus diberi pupuk kimia. Semakin lama tanah akan semakin jenuh sehingga butuh pemupukan yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan ketergantungan petani pada pupuk kimia dan juga memperburuk kondisi tanah.

Masalah lain adalah kecenderungan resistensi hama terhadap pestisida kimia. Contohnya peningkatan resistensi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens) terhadap insektisida yang dilaporkan terjadi di banyak lahan pertanian di pulau Jawa.  

Kekebalan hama ini disebabkan penggunaan pestisida yang berlebihan dan penggunaan pestisida jenis tertentu dalam waktu lama, sehingga hama belajar lebih kebal dengan menyesuaikan metabolisme tubuhnya untuk mendegradasi racun tersebut. Dampaknya akan berbeda jika menggunakan cara alami untuk mengusir hama, misalnya dengan pestisida organik atau predator alami hama.

Masalah berikut adalah efeknya untuk kesehatan kita. Bagaimanapun juga, penggunaan pestisida kimia akan meninggalkan residu pada tanaman. Sehingga dengan konsumsi dalam waktu lama, residu bahan-bahan kimia ini akan ikut terakumulasi di dalam tubuh kita.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Tidak mudah memang memasyarakatkan pertanian organik. Tapi untuk ketahanan pangan dalam jangka panjang dan kelestarian lingkungan serta bumi kita, kita bersama harus menempuh “jalan ninja” ini.

Kiat utama yang harus dilakukan adalah edukasi terus menerus kepada para pemangku kepentingan, terutama para petani dan tokoh-tokoh penggerak masyarakat. Agar lebih “mendarat”, edukasi harus dimulai dengan penyadaran tentang kerangka berpikir besar yang membingkai pertanian organik ini. Isu tentang lingkungan, keutuhan ciptaan Tuhan, kondisi bumi yang sedang tidak baik-baik saja yang akan kita wariskan ke anak cucu kita, bisa jadi topik penyadaran ini.

Penting untuk membuat penyadaran terlebih dahulu, agar pertanian organik tidak hanya dilihat secara jangka pendek dengan untung rugi saja. Kalau hanya bicara cuan semata, pertanian organik tidak akan menjadi topik yang menarik. Perpektifnya akan berbeda jika pertanian organik dilakukan sebagai bagian dari aksi jangka panjang untuk memulihkan bumi kita.

Setelah kerangka berpikir besarnya dipahami dengan baik baru masuk ke hal-hal yang sifatnya teknis, seperti bagaimana pertanian organik diimplementasikan, bagaimana pembuatan pupuk atau pestisida alami, bagaimana mengolah pertanian terpadu dan keterampilan atau pengetahuan teknis lainnya untuk mendukung pertanian organik.

Kiat berikut adalah mempertemukan para petani organik dengan pasarnya. Walaupun belum besar, pasar pertanian organik juga sebenarnya mengalami pertumbuhan. Masih dari Statistik Pertanian Organik Indonesia, dilaporkan operator pasar organik meningkat dari 8 operator pada tahun 2019 menjadi 48 operator pada tahun 2022. Jumlah perdagangan di pasar organik juga meningkat dari 491,4 ton pada tahun 2019 menjadi 7.795,9 ton pada tahun 2022. Produk organik yang paling sering dicari pembeli adalah sayuran, buah dan beras organik.

Dari hasil survei terhadap sejumlah responden (untuk tujuan pembuatan buku SPOI) ditemukan alasan utama responden mengkonsumsi produk pertanian organik adalah karena alasan kesehatan dan lingkungan. Sedangkan alasan utama responden tidak mengkonsumsi produk pertanian organik adalah harga yang mahal dan akses terhadap produk yang terbatas. Jadi sekalipun harga produk pertanian organik lebih mahal dibanding produk pertanian konvensional, pasarnya tetap bertumbuh. Tapi akses dan jejaring pemasaran produknya harus terus ditingkatkan untuk menjangkau lebih banyak orang. Nah, menciptakan jejaring ini memerlukan dukungan banyak pihak, termasuk pemerintah sebagai regulator.

Berikut, mengingat konversi ke pertanian organik membutuhkan waktu panjang sampai produksi benar-benar optimal, petani harus dilatih menabung untuk membangun Dana Darurat yang berguna pada saat-saat produktivitas berkurang. Petani juga dapat diberikan pelatihan-pelatihan keterampilan lain yang bisa memberikan pendapatan tambahan. Untuk pendampingan ini dibutuhkan peran lembaga mitra seperti NGO, perbankan atau koperasi.

Kiat lain yang bisa ditempuh adalah konversi lahan ke pertanian organik secara bertahap agar masih ada lahan yang dikelola dengan pertanian konvensional untuk menopang ekonomi petani. Tapi kiat ini mengasumsikan petani memiliki beberapa lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan.

Wasana kata

Banyak tantangan dalam mewujudkan pertanian organik di tengah masyarakat kita. Tantangan utama adalah sudut pandang untung rugi, atau pikiran jangka pendek terhadap tawaran pertanian organik. Tapi bila berpikir jangka panjang ketahanan pangan juga untuk masa depan bumi, pertanian organik adalah “jalan ninja” yang harus didukung dan dilewati bersama. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi dengan banyak pihak, sehingga pertanian organik lebih masif dilakukan dan konsumsi produk organik semakin menjadi gaya hidup masyarakat. Dengan demikian pertanian organik semakin menjadi gerakan yang memberi kontribusi bagi peradaban kita, demi bumi yang lebih baik. (PG) 



Ilustrasi gambar dari www.freepik.com/free-photo/woman-holding-basket-full-vegetables-close-up_8797878.htm 

Pertama kali tayang di Kompasiana  

No comments

Powered by Blogger.