Header Ads

Ilusi Dalam Ruang Rapat

 


Banyak waktu kerja para jajaran manajemen puncak dihabiskan dalam ruang rapat. Diskusi manajerial, monitoring dan evaluasi target perusahaan, analisis masalah serta produksi rekomendasi untuk perbaikan tata kelola perusahaan menjadi agenda-agenda utama rapat top manajemen perusahaan-perusahaan modern.

Oleh karena itu, walaupun seringkali membutuhkan anggaran besar, sesuai dengan skala perusahaan, rapat sangat dibutuhkan. Idealnya rapat yang dikelola dengan baik mampu mengasilkan rencana aksi yang segar untuk membereskan masalah-masalah yang terjadi dalam perusahaan. Keberhasilan eksekusi yang dilakukan orang-orang lapangan pun seringkali ditentukan oleh keberhasilan manajemen puncak yang berada di belakang meja rapat saat merumuskan strategi demi strategi untuk perusahaan.

Namun jika rapat tidak dikelola dengan baik, bisa jadi rapat memang hanya jadi “cost” tanpa imbas hasil yang sepadan untuk organisasi. Produksi dokumen-dokumen rapat tidak berjalan selaras dengan produktivitas organisasi. Data yang tidak lengkap dan analisis seadanya seringkali membuat rapat menjadi tidak efektif. Belum lagi bicara person yang dilibatkan dalam rapat. Acapkali rapat menjadi kontraproduktif karena peserta rapat tidak mampu memberikan kontribusi pemikiran yang maksimal. Bisa jadi karena lagi tidak fit, ada konflik kepentingan dalam organisasi atau orang yang dihadirkan tidak memahami masalah.

Akibatnya rapat terasa berjalan di tempat. Pembicaraan sudah begitu jauh, namun tidak banyak solusi atau inovasi “menggigit” yang dihasilkan. Akhirnya rapat menjadi semacam ilusi bagi pesertanya. Mereka merasa sudah menuju ke sebuah tujuan, namun sebenarnya mereka hanya berputar-putar di situ saja. Penyebab-penyebab ilusi tersebut antara lain:

Tidak Ada Detail

Pada perusahaan besar, seringkali terjadi jarak birokrasi yang jauh antara down dan top manajemen. Jika top manajemen tidak mampu menciptakan sistem pelaporan atau sistem pengendalian internal yang mampu mendeteksi permasalahan sampai ke tingkat paling bawah, maka pembicaraan dalam rapat dapat menjadi bias. Masalah di lapangan yang sebenarnya sangat kompleks bisa jadi terlihat sederhana. Atau sebaliknya, masalah yang mungkin sebenarnya sederhana jadi terlihat complicated. Pada sebuah perusahaan retail  nampak peningkatan jumlah toko rekanan setiap bulannya. Namun statistik tersebut tidak berjalan sinkron dengan peningkatan penjualan perusahaan. Karena tidak ada data lapangan yang komprehensif maka saat eksekutif puncak mengadakan pembahasan, strategi yang kemudian dirumuskan adalah inovasi produk dan menambah staf penjualan. Anehnya data penjualan tidak kunjung membaik. Ternyata setelah tim audit internal diturunkan, ketahuan masalah yang sebenarnya terjadi adalah banyak staf penjualan atau salesman yang membuat data fiktif hanya untuk memenuhi target. Nah, jika fakta-fakta seperti ini tidak ditemukan, maka perusahaan hanya akan memboroskan waktu dan sumber daya untuk menciptakan solusi yang akhirnya tidak efektif. Data yang komplit, detail dan valid sangat dibutuhkan untuk merumuskan strategi atau langkah-langkah taktis.

 Banyak Ahli Retorika

Akibat tidak ada data yang komprehensif, seringkali rapat hanya jadi ajang adu argumen atau adu asumsi belaka. Jika konstelasi pembicaraan rapat sudah sampai ke tahapan itu, maka orang-orang yang akan mendominasi pembicaraan adalah orang-orang yang punya keterampilan retorika yang paling baik. Mereka yang mempunyai keterampilan mengolah kata-kata-lah yang biasa menjadi pemenang dalam setiap adu argumen. Padahal rapat tanpa data lengkap sebenarnya tidak akan membawa banyak manfaat. Maka jika dibutuhkan, tidak ada salahnya menghadirkan beberapa manajemen di level menengah atau bawah yang menguasai hal teknis operasional masalah yang sedang dibicarakan. Paling tidak mereka mampu menjadi sumber konfirmasi atau dapat memberikan input yang dibutuhkan. Ini akan lebih bermanfaat dibanding menghadirkan ahli retorika yang tidak menguasai masalah.

Mesin Pencetak Dokumen Belaka

Rapat adalah cara kita mempertemukan pikiran-pikiran yang berbeda. Konon, pikiran kita punya frekuensi, dan dalam forum seperti rapat, lokakarya dan sejenisnya, frekuensi tersebut saling menala satu sama lain. Berdasarkan teori tersebut, pemimpin rapat yang yang sudah mahir dan berpengalaman biasa memiliki frekuensi pikiran yang stabil dan jernih sehingga mampu menetralisir frekuensi pikiran peserta rapat yang lain, sehingga tercapailah konsensus dalam rapat atau komitmen-komitmen yang diharapkan dikerjakan bersama-sama. Bahayanya, pemimpin rapat yang piawai memotivasi tanpa menguasai perihal teknis operasional dapat membuat peserta rapat berapi-api sehingga mengabaikan keterbatasan sumber daya mereka. Misalnya: rapat berjalan dinamis dan pemimpin rapat mampu mengobarkan semangat peserta rapat yang lain, sehingga disepakati target kerja yang fantastis atau kesepakatan melakukan inovasi-inovasi tertentu untuk memuluskan gol organisasi. Nah, jika peserta rapat terbawa pada arus pembicaraan tanpa mengetahui Strenght-Weakness divisi yang diwakilinya, maka akan muncul kesulitan pada saat implementasi yang lebih konkrit di lapangan. Bisa jadi sumber daya yang dimiliki sebenarnya belum mampu mengeksekusi keputusan rapat pada top manajemen. Jika terjadi demikian, rapat tidak lebih dari forum untuk menghasilkan dokumen-dokumen belaka tanpa banyak mempengaruhi jalannya organisasi.     

Jadi jika dianalisis lebih dalam, sebenarnya sebagian besar penyebab ketidakefektifan rapat adalah tidak tersedianya data yang komprehensif, detail dan mampu menjawab semua kebutuhan informasi yang digunakan untuk menyusun strategi dan langkah taktis. Analisis masalah tidak didukung oleh data konkrit sehingga diagnosa terhadap tata kelola organisasi bisa melenceng. Salah diagnosa, bisa jadi salah terapi pula. Kalau sudah salah terapi, bisa jadi masalah yang ada tidak kunjung diselesaikan, masalah yang baru malah muncul. (PG)



Ilustrasi gambar dari pixabay.comi 

Pertama kali tayang di Kompasiana  


No comments

Powered by Blogger.