Header Ads

Dunia Generasi Z yang Penuh Distraksi

 


Generasi Z adalah mereka yang lahir di antara tahun 1997 sampai tahun 2012 (kompas.com). Jadi saat ini rentang usia mereka adalah 11 sampai 26 tahun. Dengan rentang usia tersebut sebagian dari mereka sudah berada pada usia kerja, entah memilih berwirausaha, bekerja secara mandiri atau menjadi pekerja. Kali ini kita fokus pada mereka yang menjadi pekerja.

Ada semacam stereotype dari generasi yang lebih senior terhadap generasi Z ini. Menurut para senior generasi Z cenderung seenaknya dalam bekerja, susah fokus, manja, kurang disiplin dan susah diajak berdedikasi lebih dibanding jobdes terhadap perusahaan.

Benarkah demikian?

Sesungguhnya dalam hal bekerja, setiap generasi punya karakteristiknya masing-masing. Generasi Baby Boomer (1946-1964) adalah generasi yang loyal tapi cenderung konservatif. Generasi X (1965-1980) adalah generasi yang lebih logis, mengutamakan work-life balance tapi juga skeptis dan cenderung menghindari risiko. Generasi Y atau millenial (1980-1996) adalah generasi yang sudah mengecap digitalisasi sehingga jadi lebih mandiri dan independen dalam bekerja. Mereka jauh lebih moderat, open-minded, ambisius, tapi sering overthinking. Sedangkan generasi Z adalah generasi yang benar-benar lengket dengan teknologi dibanding generasi di atasnya. Tapi ini yang membuatnya jadi cenderung manja, kurang inisiatif dan secara mental lebih rentan dibanding generasi-generasi di atasnya.

Digital-native, mungkin ini ungkapan yang tepat untuk para generasi Z. Dari sinilah kita akan mulai menganalisis masalah-masalah yang kerap dikeluhkan para senior mereka.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kebiasaan para digital-native ini. Mereka lahir dan dibesarkan di lingkungan yang semakin terdigitalisasi. Tidak heran, internet dan lompatan-lompatan teknologi informasi adalah teman tumbuh kembang mereka. Tapi di sisi lain, selain menjadi teman, teknologi informasi ini juga tantangan untuk mereka termasuk untuk kita yang semakin akrab dengan teknologi.

Distraksi yang Menghambat Kinerja

Dalam buku Productivity Hack (Metagraf, 2018) Darmawan Aji mengutip penelitian yang dilakukan oleh Nottingham Trent University yang menyebutkan rata-rata pengguna handphone mengecek handphone (untuk membuka chat, membuka notifikasi medsos dan lainnya) sebanyak 85 kali sehari.

Jika kita membagi 24 jam dengan 85 kali, berarti kita mengecek handphone sekali setiap 16,9 menit. Ini dengan asumsi kita stand by 24 jam sehari. Jika dikurangi waktu tidur (katakanlah 8 jam) terlebih dahulu, maka diperoleh rentang waktu yang lebih sempit lagi, hanya sekali setiap 11,29 menit.

Ini angka rata-rata ya. Jadi rentang waktu aktualnya bisa lebih panjang atau lebih sempit dari itu. Kita bisa membuat asumsi generasi Z yang lebih dekat dengan teknologi akan lebih sering mengecek handphone-nya.

Tahukah kita apa dampak negatif dari sering-sering mengecek handphone ini? Ya, benar, akibatnya adalah kita akan mudah terdistraksi. Distraksi atau gangguan walaupun terlihat sepele sebenarnya bisa membawa dampak yang besar, apalagi di dunia kerja.

Bekerja dengan fokus dan bekerja dengan sejumlah distraksi jelas akan membawa hasil yang berbeda. Distraksi akan mengalihkan fokus sejenak. Sayangnya, waktu yang dibutuhkan untuk kembali fokus 100% pada pekerjaan jauh lebih panjang dibanding waktu kita untuk berpaling ke distraksi tadi. Bayangkan jika saat bekerja dalam kurun waktu tertentu, setengah jam misalnya, kita harus terdistraksi berkali-kali.

Saya sendiri sudah punya banyak pengalaman terkait hal ini. Bekerja dengan banyak distraksi terasa lebih panjang dan kurang maksimal hasilnya dibanding bekerja dengan fokus karena semua notifikasi sudah disenyapkan. Masalahnya, saat bekerja saya tetap harus terhubung dengan teman kerja yang lain terkait kebutuhan data, pelaporan dan lain-lain jadi tetap harus mengalokasikan waktu untuk melihat notifikasi.

Jalan tengah yang saya lakukan adalah jika harus bekerja dengan fokus, misalnya membuat modul atau harus mengelola data, saya biasa menggunakan teknik pomodoro: 25 menit bekerja tanpa distraksi, lalu 5 menit mengecek notifikasi atau membalas pesan. Cara lain yang saya gunakan adalah pada saat jam kantor, saya juga menyambungkan aplikasi perpesanan mobile dengan aplikasi versi desktop, agar jika ada pesan masuk saya bisa langsung melihatnya di monitor sembari bekerja. Dengan demikian bisa melihat pesan yang masuk tanpa harus membuka handphone terlebih dahulu. Pesan-pesan yang penting bisa dibalas segera (langsung dari laptop) sedangkan yang kurang penting bisa dibaca atau dibalas belakangan.

Nah, distraksi ini adalah salah satu isu yang terjadi pada generasi Z dalam dunia kerja. Selain sangat akrab dengan teknologi, mereka juga sangat terhubung secara digital dengan teman-teman media sosialnya. Saya amati teman-teman kerja di generasi Z ini punya banyak akun media sosial. Jadi tidak usah heran kalau notifikasi media sosial bisa mengganggu mereka sepanjang waktu.

Dalam buku Productivity Hack (yang sudah saya sebutkan di atas) dituliskan sering-sering terdistraksi bisa menyebabkan 3 hal yaitu: (1) menurunnya rentang perhatian (2) menurunnya produktifitas dan (3) menurunnya kreatifitas. Bisa jadi distraksi ini-lah akar masalah keluhan-keluhan dari para senior seperti sudah dituliskan di atas.

Rentang perhatian adalah kemampuan kita untuk tetap fokus pada satu pekerjaan. Distraksi demi distraksi memang membuat kita sering kehilangan fokus. Akibatnya kita akan kesulitan mempertahankan rentang perhatian tersebut. Bagaimana mau fokus kalau di kepala kita masih terbayang-bayang konten yang barusan dilihat, pesan yang barusan dibalas atau status terbaru teman yang menarik perhatian?

Akibat langsung dari susah fokus adalah produktivitas kerja yang menurun. Produktivitas ini terkait dengan mutu dan volume hasil pekerjaan serta kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pekerjaan. Contohnya sudah saya ungkapkan dari pengalaman pribadi di atas.

Distraksi yang berasal dari banjir informasi dan konten juga membawa dampak negatif lainnya terhadap kinerja kemampuan berpikir kita. Kapasitas dan kemampuan otak kita yang terbatas untuk menyimpan serta mengelola informasi semakin dipasung lagi dengan konten-konten yang membanjiri kita dari dunia maya. Banjir informasi serta segala sesuatu yang nampaknya tersaji dengan mudah di dunia maya, membuat kemampuan kita untuk berkreasi pun menurun. Kita perlahan-lahan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif jika ada kendala-kendala yang dihadapi dalam bekerja.

Kiat Meminimalkan Distraksi

Sebenarnya manajemen organisasi atau perusahaan bisa menempuh sejumlah strategi untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya distraksi-distraksi seperti ini. Seperti yang dilakukan di kantor kami, misalnya. Karyawan-karyawan khususnya yang bertugas di frontliner diwajibkan untuk menyimpan handphone masing-masing selama jam kerja. Handphone baru bisa dibuka pada saat jam istirahat atau setelah jam kerja berakhir.

Untuk kebutuhan komunikasi terkait pekerjaan, baik antar divisi maupun antar kantor cabang (termasuk jika ada telepon yang sifatnya darurat dari keluarga atau teman), kantor sudah menyiapkan handphone khusus dengan penanggungjawab masing-masing.

Karyawan-karyawan di back office memang tidak diwajibkan untuk menyimpan handphone karena biasanya secara rutin berhubungan dengan pihak luar dan komunikasi secara personal antar manajemen struktural. Tapi mereka tetap diharapkan secara mandiri mencari kiat-kiat untuk menghasilkan kinerja yang baik termasuk meminimalkan distraksi-distraksi yang muncul. Peraturan seperti tidak membuka media sosial pribadi selama jam kerja juga sudah dibuat untuk mendukung hal tersebut.

Jadi, sebenarnya masalah generasi Z terkait banyaknya distraksi juga bisa menimpa siapa saja yang kerap terhubung dengan internet dan media sosial. Tapi karena generasi mereka adalah generasi yang paling digital-native dibanding generasi-generasi sebelumnya, mereka-lah yang paling rentan terhadap masalah yang satu ini. Dibutuhkan kejelian dari manajemen senior untuk mengelola dan mengantisipasi permasalahan tersebut dengan bijak sesuai mekanisme dan budaya organisasi. (PG)


Ilustrasi gambar dari pixabay.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana  


No comments

Powered by Blogger.