Header Ads

5 Cara Menghindari Godaan Utang

 


Saat ini semakin mudah menemukan penyedia jasa utang di sekitar kita. Jika dulu untuk berutang kita mesti bertandang ke bank atau koperasi, saat ini semakin banyak pilihan di depan mata: lembaga pembiayaan, pinjaman P2P, kartu kredit belum termasuk fitur-fitur dari fintech sejenis paylater dan lain-lain.

Fenomena ini membuat godaan berutang terus muncul pada setiap kesempatan. Barangnya dimiliki duluan bayarnya bisa diangsur belakangan.

Terus, ada yang salah? Tidak juga. Karena utang merupakan bagian dari manajemen keuangan pribadi/keluarga. Ada sejumlah kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara tunai karena harganya cukup tinggi seperti properti atau kendaraan. Jadi utang atau kredit menjadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan tersebut.

Tapi sama dengan komponen manajemen keuangan yang lain, tanpa perencanaan yang baik utang bisa berbalik membuat kita ditimpa kesulitan. Apalagi jika berutang dilakukan secara serampangan.

Oleh karena itu harus bijak menyikapi kesempatan berutang yang hadir di depan mata. Berikut 5 Cara yang bisa kita lakukan untuk menghindari godaan utang khususnya pada hal-hal yang sebenarnya tidak kita perlukan atau bisa diantisipasi sebelumnya.

 

Kenali Need dan Want

Bedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Ini adalah nasihat keuangan yang klasik tapi masih tetap aktual sampai hari ini. Kebutuhan adalah hal-hal yang bersifat esensial untuk menunjang kehidupan kita, sedangkan keinginan adalah hal-hal tambahan yang jika diabaikan sekalipun hidup kita masih bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Contoh kecil, untuk menunjang kelancaran pekerjaan, handphone yang dibanderol dengan harga 2 jutaan sudah memadai untuk kita. Tapi karena terpengaruh iklan, kita akhirnya membeli handphone seharga 5 jutaan. Nah, handphone seharga 2 jutaan adalah kebutuhan (need), tapi handphone harga 5 jutaan adalah keinginan (want).

Kita mesti memberi prioritas pada pemenuhan kebutuhan dibanding keinginan saat berbelanja, termasuk saat ingin menambah atau membuat pinjaman baru. Kalau pun harus berutang untuk memenuhi keinginan paling tidak kita sudah mempertimbangkannya dengan baik, termasuk telah menghitung posisi rasio utang kita.

Menghitung Rasio Utang

Kiat lain yang dapat dilakukan sebelum memutuskan menambah utang baru adalah menghitung rasio utang saat ini. Rasio utang atau debt ratio adalah perbandingan antara alokasi pengeluaran bulanan untuk membayar utang (pokok plus bunga) dengan jumlah penghasilan bulanan.

Jadi jika penghasilan kita sebulan misalnya Rp5.000.000, lalu setiap bulan kita harus membayar angsuran motor Rp700.000 dan tagihan kartu kredit Rp300.000 maka rasio utang kita adalah (Rp700.000 + Rp300.000) dibagi dengan Rp5.000.000 dikali 100% atau sama dengan 20%.

Rasio utang idealnya maksimal 40% dari penghasilan, karena kita harus tetap mengalokasikan penghasilan untuk biaya hidup lainnya. Jika rasio utang sudah berada di atas 40% dikhawatirkan kita akan mengalami kesulitan mengatur arus kas setiap bulan, apalagi jika tiba-tiba ada kebutuhan mendadak yang berbiaya besar.

Dengan mengetahui rasio utang ini, kita dapat menghitung kemampuan bayar jika harus menambah utang atau membuat utang baru. Jangan sampai karena tidak terukur atau terencana dengan baik, utang malah menambah kesulitan keuangan di masa yang akan datang.

Hindari menambah utang baru jika rasio utang kita sudah tinggi. Jika menggunakan kartu kredit, jangan tergoda untuk menambah atau menaikkan limit kartu kredit jika tidak dibutuhkan.

Jangan Lapar Mata

Entah darimana istilah “lapar mata” ini bermula. Lapar mata bisa didefinisikan sebagai kebiasaan membeli barang-barang hanya karena menarik dilihat tapi belum tentu dibutuhkan. Kalau cinta sudah jelas, datangnya dari mata lalu turun ke hati. Tapi kalau lapar mata datangnya dari mata, turunnya ke dompet.

Salah satu kiat mengantisipasi lapar mata adalah konsisten dengan want vs need seperti penjelasan cara paling pertama di atas.

Kiat lainnya adalah membuat perencanaan arus kas bulanan. Rencanakan dengan teliti apa saja pengeluaran yang akan terjadi, termasuk barang-barang apa saja yang akan dibeli pada bulan berjalan. Perencanaan ini kita breakdown lebih detil lagi sebelum masuk ke toko atau tempat belanja dan konsisten dengan daftar rencana belanja tersebut. Jadi saat masuk ke tempat perbelanjaan, kita bisa terhindar dari godaan berbelanja secara impulsif yang ujung-ujungnya bisa menambah saldo kredit kita.

Konsultasi Sebelum Berutang

Kiat ini penting dilakukan, terutama jika kita akan mengambil pinjaman dengan nominal yang cukup besar. Pastikan kita telah mempertimbangkan dengan baik karakteristik pinjaman tersebut seperti jangka waktu, suku bunga, cara pembayaran, bahkan sudah harus dipikirkan plan B jika suatu saat terjadi kondisi yang mengganggu keberlanjutan pendapatan kita.

Lakukanlah diskusi dengan istri/suami atau bisa juga dengan orang-orang yang dianggap bijak dalam pengelolaan keuangan. Dengan cara ini kita memiliki perencanaan yang lebih komprehensif sebelum benar-benar memutuskan untuk berutang.

Persiapkan Dana Darurat

Kadang terjadi ada kebutuhan mendadak yang bersifat mendesak atau harus segera dipenuhi. Sedangkan saat itu kita tidak memiliki sumber dana yang memadai. Jadi kita terpaksa menjadikan utang sebagai alternatif untuk memecahkan masalah.

Dengan mempersiapkan dana darurat (emergency fund) sejak awal, kita bisa meminimalkan masalah berutang karena kepepet seperti ini. Dana darurat adalah salah satu jenis tabungan yang dipersiapkan untuk kondisi-kondisi darurat yang dapat membawa pengaruh pada kestabilan arus kas kita, seperti misalnya kedukaan, tertimpa musibah, kena PHK, usaha terganggu atau kebutuhan mendadak lainnya.

Kesimpulannya, utang adalah salah satu kiat untuk mengatasi masalah likuiditas saat ini. Tapi utang memiliki konsekuensi menggerus pendapatan kita. Dengan berutang berarti kita telah mengambil pendapatan dari masa depan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan hari ini. Jadi mesti hati-hati sebelum mengambil keputusan berutang. Jangan sampai karena tidak dilandasi perencanaan yang baik, utang menjadi tak terkendali yang kemudian menyusahkan pengelolaan keuangan kita di masa yang akan datang. (PG)

Ilustrasi gambar dari pixabay.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana   

2 comments:

Powered by Blogger.