Header Ads

Buang Sampah di Twitter, Pamer di Instagram

 


Pada suatu forum secara tidak sengaja saya mendengar percakapan dua orang peserta forum yang sepertinya sejak awal berbincang-bincang tentang media sosial. Kata-kata persisnya saya lupa-lupa ingat, tapi kurang lebih percakapannya seperti ini,

“Pak, apa koperasinya juga punya akun twitter?” tanya Bapak A.

“Twitter? Tidak. Twitter itu seperti tempat orang buang sampah, kan?” sahut Bapak B.

 Lanjutan percakapannya tidak bisa saya ikuti lagi, karena saya hanya kebetulan melintas di dekat mereka. Petikan percakapan tersebut masih jelas teringat walau sudah terjadi cukup lama.

Saat itu sebagian masyarakat kita memang sedang terpolarisasi parah menjelang pilpres 2019. Hawa panas polarisasi terasa sampai di lini masa media sosial, termasuk Twitter. Segala caci maki dan sumpah serapah gara-gara beda pilihan capres mudah ditemukan di sana.

Jadi kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Bapak B yang punya perspektif demikian. Mungkin Bapak B berada di tengah-tengah circle atau lingkungan pertemanan yang memang gemar nyampah di lini masa. Bapak B memiliki informasi yang kurang utuh mengenai karakteristik media sosial Twitter yang juga punya banyak manfaat jika digunakan dengan baik.

Perkenankan saya berbagi pengalaman bermedia sosial selama ini.

Saat ini saya lebih aktif di media sosial Twitter dan Instagram. Memang, dahulu kala facebook-lah media sosial yang paling sering ditongkrongi. Malah pernah saya menghubungkan facebook dengan BBM (aplikasi default perpesanan gawai Blackberry) dan Twitter, agar saat update status BBM atau Twitter, maka status Facebook pun akan ikut ter-update.

Kalau dipikir-pikir lagi, betapa lebay-nya saya saat itu. Hehe.

Saat ini keadaan berbalik. Facebook malah terkesan kurang terurus lagi. Update status syukur kalau ada seminggu sekali, itu pun lebih banyak status share tulisan dari blog.

Saya juga punya akun Youtube, hanya subscriber-nya bisa dihitung dengan jari kedua tangan. Youtube lebih banyak dipakai untuk nonton video-video dari channel orang lain. Jadi dalam ulasan selanjutnya, bisa kita abaikan saja kedua media sosial itu.

Mengapa Twitter dan Instagram?

Silakan lihat lagi judul tulisan ini. Tentu saja, “pamer” dan “buang sampah” yang dimaksud di sini jangan diterjemahkan secara harafiah. Di Twitter misalnya, walaupun memang sering jadi tempat mengungkapkan unek-unek dan kicauan-kicauan tidak jelas, tetap punya manfaat bagi saya.

Di Twitter saya merasa menemukan kebebasan bermedia sosial dengan topik apapun karena hadirnya berbagai circle yang terbentuk secara resmi maupun tidak resmi. Temanya pun macam-macam: politik, sosial, agama, budaya, lingkungan hidup, bahasa, komedi dan banyak lagi tema lainnya.

Fitur List yang ada di Twitter memudahkan kita mengelompokkan akun-akun yang punya keterkaitan kuat dengan tema tersebut. Bukan saja sekadar menjadi pembaca, tapi juga bisa nimbrung dalam percakapan di lini masa bersama penghuni Twitter lainnya.

Banyak keseruan di sana. Bisa saling melengkapi informasi, bisa lucu-lucuan juga bisa menumpahkan dan menanggapi unek-unek satu sama lain. Akhirnya hidup ini jadi kurang klop kalau dalam sehari tidak mengintip lini masa Twitter, paling tidak menjelang tidur malam.

Saat pikiran jenuh, berselancar di Twitter bisa jadi kiat tersendiri untuk refreshing.

Bagaimana dengan Instagram? Media sosial berbagi gambar dan video ini memiliki kemiripan karakter dengan Twitter dalam sistem pertemanannya. Agar unggahan akun tertentu bisa beredar di beranda, kita harus mengikuti atau follow akun tersebut.

Jadi kita pun bisa memilih gambar atau video terkait topik apa saja yang akan kita ikuti.

Nah, seringkali ada anggapan jika Instagram adalah medsos yang digunakan sebagai ajang pamer belaka. Kata “pamer di sini dalam konotasi yang negatif ya. Mirip-mirip dengan stereotip pada medsos Twitter yang sudah dibahas di atas.

Mereka beranggapan seperti itu bisa jadi karena akun-akun Instagram yang mereka ikuti memang  berbagi foto/video dengan tendensi pamer. Tapi pandangan seperti ini kurang tepat jika dijadikan penilaian untuk karakteristik Instagram secara keseluruhan.

Konsep awal Instagram sendiri adalah wadah saling berbagi foto dan video berbasis lokasi pengguna. Pengguna awal Instagram didominasi oleh para penggemar dunia fotografi, karena memiliki sejumlah fitur editing foto yang secara default tertanam dalam media sosialnya. Jadi disebut ajang pamer pun tidak salah, hanya dalam konotasi yang lebih positif.

Seiring semakin banyaknya pengguna Instagram, scope unggahan yang beredar di lini masa pun semakin luas. Bukan hanya tentang fotografi, tetapi juga merambah ke tema lainnya seperti seni, kuliner, lifestyle, bahasa, sampai sosbud dan politik pun bisa ditemukan di sana.

Saya sendiri menjadikan Instagram sebagai tempat berselancar untuk menyegarkan mata dan mengunggah foto-foto hasil jepretan  sendiri.

Setelah mengikuti salah satu webinar yang dihelat Kompasiana tentang Optimasi Instagram beberapa waktu lalu, saya pun jadi ngeh kalau Instagram bisa jadi sarana personal branding di dunia maya. Sejak itu saya mencoba lebih teratur dan disiplin dalam mengunggah konten. Jadi jika dahulu foto-foto dipindahkan dari gawai ke lini masa tanpa konsep, sekarang sudah lebih selektif.

Saat ini beranda Instagram saya didominasi foto-foto yang bertema landscape dan puisi gambar. Tentu tetap ada slot untuk unggahan foto terkait kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan

Media sosial dihuni oleh komunitas yang besar dan masing-masing media sosial punya karakteristik tersendiri. Karena berada di dunia maya, kita tidak bisa sepenuhnya memastikan akun-akun yang berteman dengan diri kita itu asli atau semu. Akun asli pun karakternya belum tentu sama antara yang kita temukan di media sosial dengan kehidupannya di dunia nyata.

Tapi jaringan pertemanan yang ikut membentuk karakteristik media sosial tersebut jika dimanfaatkan dengan baik dapat membawa benefit tersendiri bagi diri kita. Yang paling penting tetap sopan dan bijak dalam berinteraksi di lini masa.


Ilustrasi gambar oleh Becomepopular dari pixabay.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana   


No comments

Powered by Blogger.