Header Ads

Efektifkah Baliho Dongkrak "Brand Awareness" terhadap Politisi?

 


Pilpres 2024 masih jauh, tapi warna kontestasinya sudah mulai nampak saat ini. Lihat saja, baliho-baliho gede yang menampilkan wajah sejumlah politisi mulai menghias sudut-sudut kota. Ada wajah Puan Maharani dengan jargon “Kepak Sayak Kebhinnekaan”, ada wajah Airlangga Hartanto dengan jargon “Kerja Untuk Indonesia”, ada wajah Gus Muhaimin, wajah AHY dan seterusnya.

Maksud hati ingin meninggalkan kesan dan pesan positif kepada masyarakat sebagai konstituen, entah mengapa kesan yang terjadi adalah sebaliknya. Baliho-baliho ini malah sering jadi bahan bercandaan saja di dunia maya.

Upaya para politisi untuk meraih perhatian masyarakat ini bisa dikatakan mirip strategi Brand Awareness suatu produk. Brand awareness atau kesadaran merek merupakan bagian yang krusial dalam marcomm (marketing communication) sebuah produk.

Tapi apakah Brand Awareness dalam dunia bisnis bisa serta merta diterapkan ke dalam dunia politik? Ini hal yang menarik untuk dikulik.

Brand Awareness

Mari berkenalan dulu dengan si brand awareness ini. Brand awarenss adalah kemampuan konsumen untuk mengenali suatu brand hanya dengan melihat atau mendengar identitas brand tersebut, baik itu warna, logo, jingle dan identitas lainnya. Seringkali, brand awareness ini memiliki andil besar dalam memengaruhi perilaku konsumen.

Sebagai contoh, apa yang anda pikirkan saat melihat logo buah apel dengan gigitan kecil tertera pada casing sebuah handphone?

Kebanyakan dari kita akan mengingat satu merek gawai yang sudah sangat populer, tanpa perlu mengulik lebih jauh lagi handphone tersebut. Kita pun bisa dengan mudah membayangkan bagaimana spect handphone tersebut bahkan sampai pada kisaran harganya.

Seorang calon pembeli yang membutuhkan handphone berharga miring tidak akan berpikir meminta pramuniaga mengeluarkan handphone berlogo apel itu dari etalase toko, jika telah memiliki brand awareness terhadap produk tersebut sebelumnya. Sebaliknya, calon pembeli berkantong tebal penggemar produk mewah mungkin saja tertarik untuk membeli handphone tersebut.

Demikianlah contoh pengaruh brand awareness terhadap perilaku konsumen.

Setiap pemilik brand pasti ingin produknya dikenal masyarakat secara luas sehingga ada beberapa kiat yang biasa dilakukan untuk meningkatkan brand awareness ini. Misalnya membuat logo atau tagline produk yang menarik dan mudah diingat, aktif melakukan kampanye di media sosial, sampai merekrut para influencer untuk memperkenalkan brand pada masyarakat atau segmen pasar yang disasar.

Branding di Dunia Politik

Tentu saja konsep brand awareness ini tidak 100% kompatibel dengan persoalan branding di dunia politik. Apalagi jika berbicara konteks “pemilihan presiden” yang sangat kompleks cakupannya. Jika masyarakat yang menjadi konstituen dianalogikan dengan pasar, produk yang ditawarkan ini memiliki segmentasi pasar yang sangat luas; tersebar di berbagai wilayah, lintas status sosial ekonomi, lintas generasi, berlatar belakang pendidikan yang beraneka ragam dan aneka perbedaan lainnya. Semua segmen pasar ini harus mampu dijangkau dengan maksimal.

Jadi, apa dengan baliho saja sudah cukup?

Melihat tantangan di atas, tentu saja tidak. Baliho hanya salah satu kiat dari sekian banyak kiat branding lain yang harus dilakukan.

Apalagi kita sedang berada di era teknologi informasi. Masyarakat saat ini semakin dijejali informasi yang dengan mudah menguatkan atau mendistorsi informasi lainnya.

Pada era informasi ini, masyarakat juga semakin mudah menelusuri rekam jejak calon-calon pemimpinnya.

Tantangan lain yang harus dihadapi adalah pengaruh sentimen (agama, gender, budaya dan lain-lain) yang masih besar andilnya dalam pengambilan keputusan dari masyarakat. Jika sebuah merek, katakanlah restoran A dan B, sama-sama menjajakan seafood. Tapi jika dari review para pelanggan sebelumnya, terlihat restoran A memiliki rating 2.0 dan restoran B memiliki rating 4.8, calon pelanggan yang baru akan berkunjung tentu akan cenderung memilih restoran B.

Di dunia politik, ini tidak sepenuhnya berlaku, jika dihadapkan pada sentimen tadi. Bisa saja calon pemimpin yang berkinerja kurang baik lebih dipilih karena kesamaan agama, misalnya, dan sebaliknya.

Jadi menurut saya pendekatan yang paling mumpuni untuk membangun brand awareness di dunia politik adalah memiliki personal branding yang kuat. Dan tentu saja karena kita berbicara pilpres, maka siapa yang paling memiliki personal branding sebagai pemimpin rakyat, dia-lah yang memiliki kans terbesar memenangkan kompetisi.

Membangun Personal Branding

Presiden Jokowi adalah salah satu contoh yang tepat untuk menggambarkan bagaimana personal branding ini bekerja.

Jika kita mundur beberapa tahun ke pilpres 2014, terlihat paling tidak ada dua faktor kunci yang membuatnya berhasil merebut hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang pertama adalah konsistensi dalam membangun personal branding sebagai pemimpin masyarakat yang sederhana, merakyat, tidak neko-neko dan berusaha membenahi masalah dengan cara-cara yang humanis.

Ini konsisten dilakukan sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI dan berlaga pada pemilihan presiden. 

Yang kedua, sejalan dengan rekam jejaknya memimpin masyarakat, Jokowi juga berhasil membangun personal branding lewat gencarnya pemberitaan media tentang dirinya. Saat itu kita tahu Jokowi menjadi sosok favorit dalam pemberitaan. Nyaris tidak ada aktivitasnya yang tidak tersorot kamera awak media. Bahkan turun ke gorong-gorong pun bisa jadi percakapan se-Indonesia Raya. Jokowi sampai mendapat predikat “media darling” saking seringnya jadi bahan pemberitaan.

Konsistensi dalam bekerja dan akrab dengan media, dua hal ini saling terkait dalam membangun personal branding seorang Jokowi. Jika hanya salah satunya saja yang dominan, misalnya berkinerja baik tapi minim pemberitaan, atau selalu jadi pemberitaan tapi berkinerja jelek, saya rasa tidak akan berhasil membuat sosok Jokowi berada pada posisinya saat ini.

Nah, kita kembali ke para politisi yang akan bertarung pada pilpres 2024.

Selain lewat baliho yang mentereng, apa lagi kira-kira strategi mereka untuk menggaet simpati rakyat? Toh masih ada rentang waktu yang panjang sampai waktu puncak kompetisi tiba.

Sudah saatnya menempuh cara yang lebih signifikan untuk membangun personal branding sebagai pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Menggunakan baliho itu kiat yang sudah umum dilakukan, tapi memiliki jangkauan yang terbatas. Tanpa kiat-kiat lain yang lebih konkrit di tengah masyarakat, baliho hanya akan jadi media visual yang terengah-engah berjuang di antara derasnya arus informasi yang lain. Walaupun menambah pundi-pundi daerah, ya tetap sayang duitnya, kan? (PG)



Ilustrasi gambar: Baliho Puan Maharani. | Gambar dari Kompas.com/Putra Prima Nugraha

No comments

Powered by Blogger.