Header Ads

KPK versus DPR: Apa Arti #OTTrecehan?



Sebelum membuat tulisan ini saya menyempatkan diri stalking di akun twitter @fahrihamzah, milik Wakil Ketua DPR RI, pak Fahri Hamzah. Soalnya saya teringat kicauannya beberapa hari lalu yang menyoroti OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. Pak Fahri Hamzah menyayangkan biaya operasional KPK yang terlalu besar, tidak sebanding dengan hasil OTT-nya. Selengkapnya kicauan tersebut saya kutip sebagai berikut:

Kejadian di bengkulu... 
Disadap di jakarta.. 
Tim dikirim belasan.. 

Ongkos ratusan juga... 
Hasil10 juta.. 
Negara tekor. 
(untuk validasi bisa langsung meluncur ke akun twitter milik @fahrihamzah)

Saat itu saya langsung menanggapi, berbahaya kalau KPK menggunakan prinsip dengan biaya sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya.  Soalnya itu prinsip entitas usaha/bisnis yang memang profit oriented. Sedangkan KPK adalah alat negara yang selain bertugas memberantas, juga mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Mengamati kicauan di timeline twitter pak Fahri, ternyata kicauan-kicauan yang lain juga bernada hampir sama, yaitu menuding KPK tidak bekerja dengan baik. Indikasinya banyak kasus-kasus yang tidak tersentuh, tebang pilih kasus, sampai muncul beberapa kicauan dengan tagar #OTTrecehan. Tudingan tersebut cukup sinkron dengan pendapat pihak-pihak yang pro DPR dalam kisruh KPK vs DPR selama ini.

Marilah melihat dari sudut pandang yang lain. #OTTrecehan memang dimaksudkan untuk menyindir kerja KPK, tapi pernahkan kita berpikir recehan yang dimaksud dalam tagar ini sangat relatif nilainya? Nilai uang sangat berbeda antara manusia yang satu dan manusia yang lain. Bagi sebagian orang, rupiah hasil tangkapan OTT mungkin bisa dikategorikan sebagai “uang receh”  tapi bagi yang lain bisa jadi cukup besar nilainya. Kalau para pelaku korupsi menganggap uang-uang tersebut hanya recehan, mungkin OTT tersebut tak akan pernah terjadi. Lagipula terlalu dini menjadikan tolak ukur kerja KPK dari besar kecilnya tangkapan pada satu waktu saja.

Kemudian kalau pun benar KPK hanya memfokuskan kinerjanya pada kasus-kasus korupsi skala kecil, bisa saja karena mereka mengalami kesulitan menyelidiki kasus-kasus lain yang melibatkan uang yang lebih besar. Mestinya justru KPK harus bersama-sama diperkuat. Para pejabat negara baik dari eksekutif, legislatif apalagi yudikatif mestinya bahu membahu mendukung KPK dengan memberikan akses dan informasi yang berguna untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang lebih besar.

Sayangnya alih-alih memberi dukungan, DPR memilih hak angket untuk menguliti institusi KPK. Penggunaan hak angket yang masih kontroversial itu diikuti pula oleh pembukaan posko pengaduan dari masyarakat kepada KPK. Terlihat sekali kalau DPR sedang mengibarkan panji-panji perang untuk mencari titik-titik lemah KPK. Sebenarnya tidak masalah kalau motivasi dibalik aksi-aksi DPR ini memang murni untuk memperbaiki institusi KPK. Tapi penglihatan di balik kacamata masyarakat awam seperti saya justru sebaliknya yang sedang terjadi.

Untunglah sebagian masyarakat yang lebih melek hukum sudah membuat aduan ke Mahkamah Konstitusi terkait penggunaan hak angket DPR ini. Memang harus ada deskripsi yang eksplisit tentang jangkauan hak angket DPR. Persepsi DPR dan amanat konstitusi tentang hak angket harus jelas. Tanpa kejelasan, ada ketakutan kalau DPR bisa melakukan intervensi hukum melampaui kewenangannya.

Mari sama-sama menyimak perkembangan perang dingin terpopuler tahun ini, KPK versus DPR.


--
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari http://banjarmasin.tribunnews.com

1 comment:

Powered by Blogger.