Header Ads

Catatan Tentang Beras Plastik


Suatu hari saya menjadi penjaga pasien, seorang  kerabat yang terkena DBD. Di sela-sela waktu jaga, saya pergi ke minimarket dekat rumah sakit untuk membeli beberapa minuman buah botolan. Karena buru-buru, belanjaan demi belanjaan langsung saya comot saja dari rak-rak minimarket untuk dibawa dan ditransaksikan di kasir.

Setibanya kembali di kamar perawatan rumah sakit, kawan saya melihat segel plastik yang biasa melingkar di bawah tutup botol salah satu minuman telah terbuka sehingga berpikir saya telah membuka minuman tersebut sebelumnya. Saya pun mengernyitkan kening. Saya tidak membuka satu tutup botol pun setelah meninggalkan kasir minimarket. Berarti peristiwanya terjadi sebelum transaksi, alias sudah terbuka pada saat saya mencomotnya dari rak penjualan. Untuk lebih memastikan, tutup botol minuman pun dibuka dan ternyata memang benar, minuman dalam botol telah berkurang ketinggiannya dibanding botol-botol minuman serupa.

Saya pun kembali ke minimarket dengan dua tujuan. Pertama, untuk komplain kepada karyawannya mengenai kecolongan tersebut. Syukur-syukur kalau mereka mau mengganti minumannya, walaupun saya yakin punya kans kecil untuk didengarkan. Kedua menyampaikan keluhan dan mengingatkan mereka untuk berhati-hati dengan pengunjung yang iseng menganggap botol di rak penjualan sebagai tester, dan jika suka malah membawa botol yang masih utuh.

Hasilnya sesuai prediksi, kasir dan petugas minimarket tidak bisa berbuat banyak untuk membantu saya. Jadi saya harus puas hanya dengan menyampaikan tujuan yang kedua.
Seringkali kita memang dihadapkan pada pengalaman serupa. Membeli sesuatu namun setelah digunakan kita malah tidak puas. Karena ternyata barang yang kita beli tidak sesuai dengan keinginan, tertipu oleh iklan, atau malah telah rusak seperti yang saya alami. Tidak apa kalau ketidaknyamanan tersebut tidak membahayakan kita. Bagaimana kalau sebaliknya?

Beberapa hari ini perhatian kita terusik oleh isu beredarnya beras sintetis berbahan plastik di Bekasi dan (mungkin) sudah ada di daerah lain hanya belum terdeteksi. Saat pertama kali membaca beritanya saya jadi merinding sendiri membayangkannya. Kalau seperti pengalaman di atas, segel minuman botol yang rusak bisa langsung jadi bukti untuk komplain kepada penjual. Nah, kalau beras sintesis yang kelihatan sama dengan yang asli bagaimana caranya komplain? Kan baru ketahuan setelah berasnya diolah dan dikonsumsi. Itu pun komplainnya belum jelas mau dialamatkan kemana karena pedagang beras di sekitar kita itu sudah menjadi tangan ketiga, keempat bahkan lebih dari jaringan pedagang beras yang lebih besar.

Saya baca pemberitaan, sepertinya pemerintah masih hati-hati mengeluarkanstatement terkait beras plastik ini. Kita juga masih menunggu rilis berita dari BPOM yang tengah menguji beras-beras yang diduga merupakan beras sintesis.
Tetapi jika nantinya memang benar terbukti ada beras yang dioplos dengan beras plastik, pemerintah mesti bertindak tegas dengan mengusut tuntas dan menyeret semua orang-orang yang terlibat ke ranah hukum. Masalah oplos mengoplos beras ini bukan masalah penipuan biasa. Beras adalah makanan pokok sebagian besar masyarakat bangsa ini. Sehingga siapapun pelaku yang “bermain-main” dengan produksi dan peredaran beras sintesis sama saja “bermain-main” dengan harkat hidup masyarakat Indonesia.

Pelaku-pelakunya juga sudah pasti bukan jaringan kelas teri belaka. Rasanya aneh, kalau teknologi untuk membuat beras imitasi yang membuatnya susah dibedakan dengan beras asli dimiliki oleh orang per orang atau kelompok kecil saja. Buat apa? Untuk wirausaha biasa tidak mungkin. Sudah investasinya  mahal, resikonya besar pula. Hanya mafia saja yang suka menjalankan usaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli dampaknya pada kenyamanan bahkan keselamatan orang lain.

Lebih miris lagi jika rumor yang diberitakan Straits Times benar adanya. Beras plastik ini diperdagangkan antar negara dari negara yang satu ke negara lain sampai ke dapur kita di Indonesia. Kedaulatan pangan kita yang sudah jatuh karena mengimpor pangan dari negara lain, jadi tambah jatuh lagi karena yang diimpor ternyata pangan jadi-jadian.

Ya sudahlah, nanti kalau artikelnya ditambah lagi, bisa-bisa sebentar kita jadi parno melihat beras di rumah. Padahal mungkin saja berasnya hasil panen di sawah sendiri. Jadi, kita tunggu saja perkembangan beritanya. (PG)

__________________

Pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 
ilustrasi gambar dari www.straitstimes.com

2 comments:

  1. sangat memprihatinkan..
    http://obatacemaxsid.com/obat-herbal-kanker-ovarium

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trims sudah mampir mbak Irma. Sipp, segera mampir ke TKP

      Delete

Powered by Blogger.