Header Ads

Mau Korupsi? Ingat Keluarga



Akal budi adalah berkat dari Tuhan yang membedakan manusia dari ciptaan yang lain. Akal budi inilah yang kemudian mengangkat derajat manusia, tapi jika tidak digunakan dengan bijak, akal budi juga yang kemudian bisa menjeremuskannya ke dalam jerat dosa.

Penipuan, pencurian, korupsi dan sejumlah kejahatan lain adalah contoh perbuatan-perbuatan tidak jujur yang berpangkal pada bagaimana manusia menggunakan pikirannya dengan cara yang salah. Kejahatan seperti ini adalah perbuatan yang membuat orang lain kehilangan hak-haknya sehingga semua norma yang berlaku dalam masyarakat kita tidak membenarkan perbuatan tersebut. Norma agama, hukum, budaya dan sosial masing-masing memiliki cara untuk menolak praktek-praktek perbuatan tidak jujur itu dalam masyarakat.  


Namun untuk menangkal kejahatan terselubung seperti korupsi, sepertinya negara ini masih butuh banyak pencerahan dan penguatan. Makanya Jokowi melahirkan pemikiran “revolusi mental” untuk menata kembali mental birokrasi dan seluruh sendi-sendi masyarakat negeri ini.  


Mungkin saat ini kita juga sedang tergoda untuk mengambil resiko untuk melakukan korupsi atau perbuatan-perbuatan tidak jujur lainnya. Jika demikian adanya, sebaiknya kita berpikir jernih kembali. Jika norma-norma tidak juga membuat kita takut, masih ada satu cara untuk menyadarkan kita. Ingatlah keluarga.

Jika dilaknat agama kita masih bisa ngeles dengan mengatakan “Itu urusan saya sama Tuhan.” Jika tertangkap tangan hukum dan terkena sanksi sosial, kita bisa saja pasang muka tembok dan tidak peduli terhadap cibiran orang-orang di sekitar kita. Tapi jangan lupa, keluarga yang kita tinggalkan di belakang itu yang akan menerima imbasnya. Mereka akan dikucilkan oleh lingkungannya. Jika anak-anak masih berada dalam lingkungan pendidikan, mereka akan diledek habis-habisan oleh kawan-kawannya. Untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, goncangan sosial seperti ini pasti akan membawa pengaruh negatif terhadap kejiwaannya.

Kita mungkin bisa tidak peduli terhadap hukuman yang menimpa kita, wong di penjara sana kita bertemu dengan orang-orang sejenis. Tapi bisa dipastikan keluarga kita punya batas kesabaran menghadapi label negatif yang diberikan lingkungannya.

Contoh kasus sudah banyak. Contoh kasus yang bisa kita lihat dari pemberitaan okenews.com hari ini mengenai anak bungsu Atut Chosiyah, Ananda Triana Salichan yang terpaksa berhenti sekolah karena malu dan tidak tahan lagi diledek kawan-kawannya. Yang tersangkut kasus suap sengketa Pilkada Lebak, Banten itu ibunya tapi anaknya terpaksa ikutan jadi korban sangsi sosial dari lingkungannya. Bagaimana nanti nasib pendidikannya? Bagaimana membenahi keadaaan psikologisnya? Bagaimana pula masa depannya?

Berkaca dari peristiwa ini, mungkin sudah saatnya kita memberi nasihat bagi anak atau adik kita agar tidak begitu saja menghakimi kawan-kawannya karena ulah orang tuanya. Mereka harus diberi pelajaran bahwa sekalipun anak dengan orang tua itu sangat erat hubungannya, anak tidak bisa serta merta menerima label jelek  akibat dosa yang dilakukan orang tuanya. Setiap orang dewasa diberi kebebasan untuk mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkan konsekuensi keputusan itu.

Sekali lagi, sebelum memutuskan untuk mengambil pilihan yang beresiko entah baik atau buruk, ingatlah keluarga yang kita sayangi. Kehidupan kadang menjadi begitu kejam bahkan bagi orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. (PG)

______________________________________

Ilustrasi gambar dari: shariaunveiled.wordpress.com

No comments

Powered by Blogger.