The Power of "Bersyukur"
Bersyukur, mudah atau sulit dilakukan? Sepertinya mudah dilakukan. Lalu pertanyaan berikutnya sering atau jarang dilakukan? Jika bersyukur itu mudah, mestinya sering dilakukan, bukan?
Bukankah dalam hidup kita ada begitu banyak berkat serta
nikmat yang dikaruniakan Tuhan? Hidup itu sendiri adalah sebuah karunia akbar
bagi kita. Kemudian ada nikmat kesehatan, keberhasilan, cinta dari keluarga
maupun kawan-kawan, penghasilan, kepercayaan dan masih banyak lagi nikmat lain
yang dapat menjadi alasan kita untuk bersyukur.
Memang saat kita berada dalam keberhasilan, syukur relatif
lebih mudah dilakukan. Lalu bagaimana saat kita berada dalam situasi terpuruk?
Mengalami kegagalan, terdera penyakit, mengalami kerugian usaha dan sejumlah
situasi sulit lainnya. Bisa saja rasa syukur berubah seketika menjadi keluh kesah, kecaman atau malah sumpah
serapah.
Bersyukur
adalah Paradigma
Jalan hidup, keadaan kita saat ini, atau beberapa referensi
menyebutnya nasib, adalah akumulasi proses kasat mata dan tak kasat mata akibat
pilihan-pilihan yang kita ambil pada masa lalu. Nasib sangat ditentukan oleh
watak atau karakter kita. Karakter adalah bentukan dari sejumlah kebiasaan yang
kita ambil pada masa lalu. Kemudian kebiasaan adalah akumulasi dari perilaku
yang kita lakukan berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan perilaku
adalah implementasi dari cara berpikir atau paradigma kita.
Contoh kecil, cara seseorang berpikir mengenai waktu akan
menentukan bagaimana penghargaannya terhadap waktu. Implementasi perilaku yang
kemudian terlihat adalah apakah dia sosok yang on-time atau kerap terlambat. Jika perilaku terlambat telah menjadi
perilaku yang terpola dan berlangsung terus menerus, maka perilaku ini akan
membentuk karakter orang yang bersangkutan. Orang-orang di sekitarnya pun akan
memandangnya sebagai pribadi yang malas atau kurang disiplin. Ujung-ujungnya
karakter ini akan mempengaruhi jalan kehidupannya. Bisa jadi promosi karir
tidak kunjung datang, atau rekan bisnis mesti berpikir berkali-kali terlebih
dahulu sebelum deal dengan yang
bersangkutan, dan akibat-akibat lainnya.
Jadi jika orang tersebut ingin mengubah nasibnya, dia bukan
merubah karakternya pertama kali. Kita tidak boleh menyalahkan karakter,
karena karakter adalah bentukan dari
hal-hal lain dalam dirinya. Yang harus diubah pertama-tama adalah cara berpikir
atau paradigma mengenai waktu yang kemudian akan mengubah perilakunya,
kebiasaannya lalu karakternya.
Kembali kepada topik kita. Bersyukur.
Bersyukur adalah salah satu implementasi dari paradigma
yang positif. Jika kita mengalami situasi yang kurang baik, kita bisa memilih
paradigma. Mengutuk keadaan dan mencari
orang-orang atau hal-hal yang bisa disalahkan, atau kita bisa tetap bersyukur
dengan mencari sudut pandang positif dari situasi tersebut.
Misalnya penawaran bisnis kita ditolak oleh calon klien.
Kita bisa menanggapinya secara negatif dengan menyumpahi calon klien dan
menyalahkan staf atau bisa menanggapinya secara positif dengan memperbaiki cara
presentasi atau berinovasi terhadap produk-produk kita. Kita mesti bersyukur
karena lewat penolakan tersebut kita bisa melihat dan memperbaiki satu lagi
kekurangan dalan usaha kita.
Beberapat tahun lalu, anak saya yang berumur
lima bulan divonis dokter terkena DBD dan harus dirawat selama beberapa hari di
rumah sakit. Pada hari-hari pertama, saya dan istri kerap memandang anak kami
yang terbaring lemah di atas tempat tidur perawatan dengan pikiran yang
berkecamuk. Dua kali sehari, suster petugas lab harus mengambil sampel darah
anak saya. Untuk orang dewasa seperti kami saja, prosedur itu cukup membuat
tidak nyaman dan rasa sakit. Bagaimana dengan bocah lima bulan? Setiap kali pengambilan darah, anak kami
menangis histeris. Akhirnya saya perhatikan anak itu agak trauma melihat petugas
lab masuk ke kamar perawatan. Petugas baru muncul di ambang pintu dia langsung
menangis sejadi-jadinya.
Pikiran saya pun diisi file-file
negatif. Ada orang atau keadaan yang bisa disalahkan saat itu. Untunglah istri
saya kemudian berkata “Mungkin ini
teguran Tuhan karena selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan…”.
Saya pun terenyak. Lalu saya bisa mulai melihat “pemandangan” baru. Saat itu
saya mengambil cuti tiga hari, demikian pula istri saya. Saya baru menyadari,
kebersaman kami sebagai keluarga seperti itu memang sesuatu yang jarang
terjadi. Kami pun bersyukur dalam kesusahan itu ternyata masih ada nikmat lain
yang diberikan Tuhan. Musibah tersebut memberi saya satu insight baru mengenai makna kebersamaan dalam keluarga.
The
Power of “Bersyukur”
Contoh-contoh kecil di atas mengajarkan kita bahwa memiliki
cara pikir dan sikap “bersyukur” membawa banyak manfaat untuk diri kita. Tidak
perlu menunggu hal-hal besar terjadi dalam hidup kita untuk memanjatkan syukur.
Saat anda bisa membaca tulisan ini pun, sudah ada satu nikmat lagi yang bisa
kita jadikan alasan untuk bersyukur, nikmat atas indra penglihatan yang bisa
digunakan dengan baik.
Membiasakan diri bersyukur juga bisa membantu kita
menemukan perpektif baru saat masalah menimpa kita. Alternatif solusi pun bisa
ditemukan jika kita memiliki banyak perspektif dalam memandang sebuah masalah.
Selain itu kebiasaan bersyukur akan membentuk mental
berkelimpahan yang bisa menjauhkan kita dari pikiran dan tindakan buruk yang
kemudian merugikan diri sendiri atau orang-orang di sekitar kita.
Dalam bukunya Self
Driving, Rhenald Kasali pun mengungkapkan bahwa kita mesti melatih diri
untuk terus bersyukur untuk membentuk mental driver, mental pemenang, ketimbang
terus menerus komplain dan membebani pikiran dengan hal-hal negatif yang
membatasi potensi kita untuk terus maju.
Sudahkah anda bersyukur hari ini?
Ilustrasi gambar dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment