Header Ads

Pelajaran Menulis Puisi yang Ditinggalkan Jokpin

 


Saya lupa kapan persisnya berkenalan dengan (puisi-puisi) mendiang Joko Pinurbo. Sajak-sajak yang dilahirkannya “berceceran” di dunia maya dan relatif mudah ditemukan, terutama untuk mereka yang mengakrabi ibadah puisi, meminjam istilah mendiang. Bahkan beberapa puisinya lebih dulu saya temukan penggalan sajaknya lalu nama penulisnya belakangan baru saya ketahui.

Puisi “Celana Ibu” contohnya. Pertama kali berkenalan dengan puisi tersebut, saya hanya menemukan potongan puisi berikut, kalau tidak salah.

“Paskah?” tanya Maria.

“Pas!” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,

Yesus naik ke surga.

 Beberapa waktu kemudian baru saya tahu kutipan puisi tersebut dari puisi berjudul Celana Ibu yang ditulis Jokpin pada tahun 2004.

Semakin mengenal karya-karyanya, semakin nampak puisi-puisi karya Jokpin memiliki semacam signature-nya sendiri. Sama seperti warna suara penyanyi favorit kita. Begitu mendengar suaranya menyanyikan lagu yang masih asing sekalipun, tanpa melihat sosoknya kita bisa langsung mengenali si penyanyi favorit kitalah yang sedang berdendang.

Pilihan kata Jokpin cenderung sederhana, lugas, tidak complicated, tapi setelah menjadi puisi yang utuh, puisi tersebut menjadi sebuah puisi yang holistik. Demikianlah karakteristik puisi-puisi Jokpin: kemewahan dalam kesederhanaan.

Pada akhirnya semua yang memiliki nyawa akan berpulang. Tapi kita semua tetap terkejut sejadi-jadinya dengan berita duka yang tiba kemarin (27/4). Jokpin telah berpulang. Kita kehilangan satu lagi penyair besar yang  sudah memberi warna pada dunia sastra Indonesia dengan kehadiran karya-karyanya. Jokpin bisa disebut sebagai penyair yang sangat produktif. Sepanjang hidupnya, Jokpin telah melahirkan puluhan buku puisi baik karyanya sendiri maupun berbentuk antologi dengan penyair lain.

Dari karya-karya tersebut-lah Jokpin memberi pelajaran bagi pembaca puisi-puisinya. Bahwa dalam kesederhanaan, kita bisa menemukan pelajaran hidup berharga yang selalu bisa menjadi permenungan bersama.

Bicara pelajaran berharga, saya beruntung pernah menjadi peserta salah satu webinar mengenai puisi yang menghadirkan mendiang Jokpin sebagai narasumbernya. Acara tersebut digelar oleh Komunitas penulis fiksi RTC (Rumpies the Club) Kompasiana pada tahun 2021 yang lalu.

Banyak insight baru yang diberikan kepada para peserta termasuk saya dalam webinar tersebut. Yang paling saya ingat adalah bagaimana menulis puisi dengan pendekatan induktif, alih-alih menulis puisi dengan pendekatan deduktif.

Mendiang Jokpin mengatakan metode deduktif (atau pendekatan dari hal-hal umum ke hal-hal khusus) lebih sesuai digunakan untuk membuat tulisan yang sifatnya ilmiah. Pendekatan ini kurang sesuai untuk menulis puisi, bahkan bisa membuat penulis jadi rentan terkena writer’s block alias buntu.

Saya seperti tertohok sekeras-kerasnya mendengar penjelasan tersebut. Penyebabnya, ya, karena saya salah satu pelaku menulis puisi dengan pendekatan deduktif. Sebelumnya jika menulis puisi saya selalu mulai dari tema besar dulu, “hari ini mau menulis puisi tentang politik,” atau “bikin puisi tentang lingkungan kayaknya bagus nih” dan seterusnya.

Jokpin pun mengarahkan menulis puisi dengan cara induktif atau dimulai dari hal-hal sederhana di sekitar kita. Setelah itu puisi dikembangkan sedemikian rupa hingga pembaca sampai pada nilai atau refleksi yang sifatnya lebih besar. Jokpin memberi contoh sederhana, sebuah kaleng Khong Guan, misalnya. Kaleng Khong Guan selalu menghiasai perayaan agama apa pun. Jadi dimulai dari kaleng Khong Guan kita mengembangkan puisi menjadi tema yang lebih luas seperti toleransi, silaturahmi dan seterusnya.

Setelah webinar, saya membalik pendekatan menulis puisi dari cara deduktif menjadi induktif sesuai arahan Jokpin. Hasilnya? Luar biasa! Membuat puisi ternyata sangat enteng, tidak serumit yang saya alami sebelumnya. Ide sesederhana apapun bisa langsung dieksekusi dan dikembangkan dengan baik.

Setelah itu saya pun semakin memahami kemewahan dalam kesederhanaan puisi ala Jokpin. Dan menurut saya mestinya puisi-puisi disajikan seperti itu di depan mata pembacanya. Pembaca tidak perlu mengernyitkan kening saat membaca bait demi bait puisi tapi tetap bisa menangkap nilai atau pesan-pesan kehidupan yang tersirat dalam puisi tersebut.

Akhirnya, selamat jalan pujangga besar Indonesia. Terima kasih sudah memberi warna dan pelajaran kepada kami semua lewat puisi-puisimu. 


--- 


Ilustrasi gambar dari kompas.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana    


No comments

Powered by Blogger.