Mengenal Prinsip 25-50-25 dalam Memimpin Perubahan
Perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam gerak dan langkah sebuah organisasi. Organisasi yang tidak siap menghadapi perubahan akan cenderung stagnan bahkan mati. Innovate or Die, demikian kutipan terkenal dari Peter Drucker, seorang pakar manajemen bisnis. Perusahaan atau organisasi tidak boleh berhenti berinovasi karena peradaban dan masyarakat terus berubah.
Era disrupsi membuat perubahan
tersebut melaju secara eksponensial, bukan lagi linear. Tidak ada lagi posisi
nyaman dalam dunia usaha, bahkan untuk raksasa-raksasa bisnis yang telah
bertahun-tahun menguasai pasar. Perusahaan-perusahaan rintisan siap menyalip kapan
saja jika ada celah dan kesempatan.
Nah, berbicara tentang kondisi ekonomi,
saat ini ancaman resesi global sudah nampak di depan mata. Situasi sulit tersebut
akan memaksa setiap organisasi untuk menyesuaikan diri. Sekali lagi, siap
menghadapi perubahan adalah kata kunci bagi entitas usaha yang ingin bertahan
dan terus bergerak maju.
Pertanyaan besarnya adalah: seberapa
siap pemimpin-pemimpin organisasi menghadapi dan mengelola perubahan?
Challenging People
Dalam buku Leadershift, John
C. Maxwell menegaskan pemimpin harus mampu menantang setiap orang dalam
organisasi untuk menjiwai perubahan yang diperlukan organisasi agar terus
bertumbuh, bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun. Perubahan ini menyangkut
cara pikir, perilaku sampai cara berkomunikasi satu sama lain.
Mereka yang memimpin perubahan
harus berani menggeser paradigma kepemimpinan dari menyenangkan orang (pleasing
people) menjadi menantang orang (challenging people). Ini bukan
tugas yang mudah. Bahkan Maxwell sendiri pada salah satu blog pernah menulis
pergeseran kepemimpinan ini (from pleasing people to challenging people)
merupakan salah satu pelajaran kepemimpinan yang paling penting dan paling
sulit diterapkan.
Banyak pemimpin yang keliru
menafsirkan ide bahwa pemimpin itu harus menyenangkan. Jika seseorang senang
dengan pemimpinnya, dia pasti akan mengikuti pemimpin tersebut. Nyatanya, seorang
pemimpin tidak akan pernah bisa membuat semua orang senang dengan
keputusan-keputusannya. Di tengah perubahan dunia dan situasi yang kurang menguntungkan,
semua orang bahkan dituntut untuk “berkeringat” lebih banyak dan mengupayakan
yang terbaik untuk keberlanjutan organisasi. Hal ini tidak selalu menyenangkan.
Saat berhadapan dengan resesi
global nanti, misalnya. Sektor-sektor usaha yang terimbas pasti akan melakukan
sejumlah strategi agar bisa bertahan. Memangkas biaya modal dan operasional,
restrukturisasi SDM, likuidasi aset dan strategi-strategi lain yang tidak mudah
untuk dijalankan. Pemimpin akan terlibat dalam banyak percakapan sulit dengan
tim kerjanya dan para pemangku kepentingan. Pemimpin harus mengambil
keputusan-keputusan yang strategis dan berat, apapun yang perlu untuk
menyelamatkan organisasi. Perubahan-perubahan ini membutuhkan pemimpin yang
mampu menantang orang-orang dalam organisasi alih-alih menyenangkan mereka.
Prinsip 25-50-25
Dalam buku Leadershift,
Maxwell juga mengemukakan salah satu prinsip yang bisa membantu para pemimpin
yang sedang bergelut dengan perubahan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip
25-50-25.
Prinsip 25-50-25 secara singkat
dapat dijelaskan sebagai berikut: setiap kali seorang pemimpin menyampaikan
visi dan menantang timnya untuk berubah, tim tersebut akan terbagi menjadi 3
kelompok besar. 25% dari mereka akan mendukung visi perubahan tersebut, 50%
akan berada dalam situasi bimbang atau tidak yakin, 25%-nya lagi akan bersikap
resisten.
Jadi misalnya jika ada 20 orang
dalam satu tim, maka 5 orang akan mendukung perubahan yang diusulkan sang
pemimpin, 10 orang belum bisa langsung menentukan sikap dan 5 orang lainnya
tidak setuju dengan rencana tersebut.
Bagaimana penerapan
dari prinsip 25-50-25 ini?
Sudah menjadi hal yang lumrah jika dalam
setiap perubahan pasti ada pihak yang mendukung dan menolak. Pemimpin harus
menerima fakta tersebut. Pemimpin tidak perlu menghabiskan energi untuk
mengubah isi kepala 25% orang yang resisten. Sebaik apapun strategi yang
dilontarkan, mereka akan selalu punya argumen untuk mematahkan strategi
tersebut. Memaksakan diri mengubah mereka bisa jadi membuang-buang waktu saja
bahkan bisa membuat pemimpin frustasi.
Sebaliknya, pemimpin harus
menghabiskan waktu dan sumber daya lebih banyak untuk brainstorming bersama
dengan 25% orang yang mendukung perubahan tersebut. Berilah mereka kesempatan
mengungkapkan pemikiran dan analisis yang berguna untuk organisasi dalam
melewati perubahan. Bila perlu mereka diberi andil yang lebih besar, misalnya
memimpin tim kecil atau merumuskan kebijakan dan langkah taktis yang bisa dijalankan
organisasi.
Pemimpin juga dapat menggunakan
mereka untuk bersama-sama memberi pengaruh pada 50% orang lain yang masih
ragu-ragu dengan perubahan tersebut. Pemimpin harus mengawal proses ini agar pengaruh
dari 25% orang yang mendukung rencana perubahan bisa mengubah pandangan 50%
orang lainnya. Jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya. Yang 50% cenderung
mendapat pengaruh negatif dari 25% orang yang resisten.
Nah, dengan mengenal dan memahami prinsip
ini, pemimpin dapat membuat strategi yang lebih baik saat merancang tim kerja
yang baru dan mengalokasikan sumber daya sebagai bagian dari peta jalan
organisasi dalam menghadapi perubahan. (PG)
Ilustrasi gambar oleh Mohamed Hassan dari pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment