Social Distancing, Waktu Emas Para Introvert
Covid-19 menjadi musibah
yang melanda seluruh dunia. Per 6 April 2020 secara global orang yang positif
mengidap Covid-19 berjumlah 1,27 juta orang, dengan jumlah kematian 69.309
orang dan sebanyak 259.810 orang dinyatakan sembuh (kompas.com).
Menyikapi pandemi ini
setiap negara memiliki kebijakan dan strategi masing-masing, tapi semua negara sepakat
menerapkan social distancing yaitu menjaga
jarak dari kerumunan/kumpulan orang untuk meminimalkan risiko penyebaran virus Corona.
Sejumlah aktivitas yang biasanya dilakukan secara kolektif seperti belajar,
bekerja bahkan beribadah pun dilakukan dari rumah masing-masing. Jadi sambil
melakukan karantina mandiri, sebagian orang masih bisa melanjutkan aktivitas
sebagaimana biasanya dengan bantuan perangkat telekomunikasi.
Masalahnya tidak semua
orang betah berlama-lama mengurung diri di rumah, apalagi mereka yang sudah
terbiasa berinteraksi dengan orang lain. Kalau sehari dua hari, mungkin masih
bisa dibuat betah. Tapi bagaimana kalau seminggu dua minggu, atau sebulan dua
bulan?
Sebagai makhluk
sosial, sudah merupakan panggilan jiwa kita untuk terhubung dengan orang lain. Kita
selalu saling membutuhkan satu sama lain. Gawai dan internet mungkin bisa
menolong untuk sementara waktu, tapi bagaimana pun juga segala kecanggihan
teknologi itu tidak bisa menggantikan “nilai” dari pertemuan secara langsung.
Apalagi dengan orang-orang yang selama ini cukup dekat dengan kita, rekan kerja,
teman sekomunitas, kerabat dan lain-lain.
Introvert dan Ekstrovert
Para ekstrovert paling
merasakan dampak dari social distancing
ini. Bagi mereka, dunia di luar sana adalah dunia sebenarnya. Kehidupan mereka
terpusat pada interaksi dengan orang lain. Bersosialisasi, mencari teman baru, chit chat tanpa henti dan segala euforia
di sekitar mereka.
Sebaliknya waktu social distancing ini adalah masa jaya
para introvert. Berbeda dengan ekstrovert, para introvert cenderung lebih
menutup diri. Pusat kehidupan mereka adalah dirinya sendiri dan segala sesuatu
yang mereka pikirkan. Mereka adalah makhluk yang “tidak nyaman” berada di tengah-tengah
keramaian dan segala keriuhannya.
Ini yang membuat banyak
yang salah kaprah, menganggap introvert adalah orang-orang yang apatis, anti-sosial
bahkan sombong, karena sulit connect
dengan orang yang baru dikenal.
Bukan seperti itu sebenarnya.
Orang-orang introvert pun tetap membutuhkan relasi dengan orang lain. Hanya
saja mereka lebih selektif dan mesti tune
in dulu sebelum berkawan baik dengan seseorang. Jadi berbeda dengan
ekstrovert yang mudah akrab dengan orang baru, introvert membutuhkan waktu
lebih lama membangun chemistry.
Para Introvert mengamati
dan menganalisis segala sesuatu, mengolah data dan persepsi mereka dalam
pikirannya sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Jadi tidak usah heran
jika berada di lingkungan baru, mereka
jadi lebih pendiam atau susah diajak basa-basi. Beda dengan ekstrovert yang justru
menganalisis dan memecahkan permasalahan dengan mendiskusikannya dengan orang
lain. Jika ada orang yang suka heboh atau ramai duluan saat masalah menghampiri,
hampir bisa dipastikan dia seorang ekstrovert.
Jika para ekstrovert
mengisi energinya dengan bertemu dan bersosialisasi dengan orang banyak, para
introvert sebaliknya. Mereka pun tetap bisa membawa diri di tengah orang banyak,
tapi saat itu level energinya terkuras habis. Setelah kembali ke rumah dan
menikmati kesendiriannya, barulah energinya terisi kembali.
Social Distancing, Waktu Emas Para Introvert
Jadi, bisa dipahami
kan mengapa para introvert justru bisa jadi begitu produktif saat mengasingkan
diri dari “dunia luar” sana dan diberi banyak waktu dengan “dunianya” sendiri. Masa-masa
social distancing ini menjadi waktu
emas bagi mereka. Diberi tugas work from
home pun mereka sangat siap, ada yang bahagia malah, karena untuk urusan pekerjaan,
para introvert cenderung lebih suka bekerja sendirian. Mereka sedapat mungkin
menghindari konfrontasi dengan orang lain.
Masa-masa social distancing juga memungkinkan
mereka kembali menekuni hobi atau aktivitas yang membuat batin mereka lebih
bahagia, yang selama ini mungkin jarang bisa dilakukan karena sibuk bekerja.
Misalnya membaca buku favorit, melukis, menulis artikel dan aktivitas khas
introvert lainnya.
Hal tersebut kontras dengan
para ekstrovert yang mati gaya saat harus menjalani karantina, karena sudah
kebutuhan mereka untuk terus terhubung dengan orang lain. Syukurlah saat ini teknologi
komunikasi sudah lebih membantu. Untuk mengatasi kerinduan berinteraksi dengan
orang lain sudah bisa dilakukan lewat video
call atau teleconference lewat perangkat komunikasi.
Nah, mungkin sebagian besar dari kita akan
bertanya-tanya dalam hati? Saya ini introvert atau ekstrovert ya?
gambar dari https://kompas.com
Mantap ulasannya (h)
ReplyDelete