Konsekuensi Ekonomi Menunda Pernikahan
Beberapa orang memiilih menunda pernikahan karena secara
lahir dan batin belum siap, atau masih ingin mengejar hal-hal yang tidak bisa
sepenuhnya dilakukan jika sudah berumah tangga seperti karir dan lainnya. Lagipula
menikmati masa lajang adalah hak siapa saja. Pada saat belum terikat dengan
pernikahan, kita bisa menggunakan waktu dan penghasilan sepuasnya, melakoni
hobi atau kesenangan seperti travelling,
modifikasi kendaraan, memelihara hewan, dan lain-lain tanpa terganggu oleh
kepentingan bersama pasangan.
Namun jika memang memiliki perencanaan untuk berumah tangga
sebaiknya tidak menunda terlalu lama. Ada beberapa alasan, tapi saya mencoba
membahasnya dari perspektif ekonomi.
Memasuki rumah tangga baru adalah sebuah tahapan kehidupan
yang membutuhkan biaya. Besar atau kecilnya biaya itu relatif, tapi untuk
menghadapi tahapan tersebut dibutuhkan perencanaan keuangan yang baik untuk
mempersiapkan pernikahan maupun setelah
pernikahan. Ada konsekuensi ekonomi yang terjadi jika keputusan untuk menikah
lebih lambat datangnya.
Jika bekerja sebagai pegawai, pada umumnya usia kerja dibatasi
pada usia 55 tahun. Setelah itu, pendapatan akan berkurang drastis. Oleh karena
itu, usia pensiun ini dapat menjadi acuan hitung-hitungan pada usia berapa
sebaiknya pernikahan terjadi. Misalnya, jika menikah pada usia 35 tahun dan
segera dikarunia anak, maka anak pertama pada telah berusia 19 tahun pada saat
kita pensiun. Lazimnya saat itu dia sedang menjalani proses perkuliahan dan masih
membutuhkan dana cukup besar untuk mempersiapkan skripsi dan wisuda.
Pendidikan anak adalah salah satu komponen biaya terbesar
dalam pengeluaran rumah tangga. Biaya pendidikan juga termasuk pengeluaran
dengan inflasi yang tinggi. Inflasi dalam bidang pendidikan berkisar antara
10-20% per tahun bahkan bisa lebih. Jadi jika misalnya biaya untuk masuk
sekolah hari ini adalah Rp10.000.000,- maka 10 tahun mendatang paling tidak
biayanya sudah mencapai Rp20.000.000,-.
Oleh karena itu tabungan atau investasi untuk pendidikan ini
harus dipersiapkan sejak dini. Tapi pada umumnya kita baru akan memikirkannya
jika telah memasuki rumah tangga dan memiliki momongan. Produk-produk lembaga
keuangan pun menyesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Oleh karena itu semakin
lambat kita memutuskan untuk menikah, semakin singkat pula rentang waktu yang
dibutuhkan untuk membangun tabungannya sebelum pensiun.
Mari mengamati simulasi berikut untuk memudahkan kita
melihat proyeksi kebutuhan
keuangan di masa yang akan datang khususnya terkait pendidikan.
Katakanlah pasangan muda Marko
dan Siana menikah pada usia
masing-masing 28 tahun dan 25 tahun. Mereka merencanakan memiliki dua orang
anak dengan jarak usia empat tahun. Usia masuk TK 4 tahun, masuk SD 6 tahun,
masuk SMP 12 tahun, masuk SMA 15 tahun dan kuliah S1 18 tahun. Baik Marko maupun Siana memutuskan tetap bekerja setelah menikah.
Mari kita lihat keadaan yang lain, asumsikan pada saat
menikah usia Marko 35 tahun dan usia Siana 32 tahun. Asumsi-asumsi yang lain
tetap sama. Demikian ilustrasinya:
Pada saat Marko pensiun (usia 55 tahun) anak pertama baru
saja memasuki kuliah S1, dan anak kedua baru masuk SMA. Anak kedua baru masuk
kuliah pada saat istri telah pensiun.
Pada saat anak pertama menjalani kuliah dan anak kedua baru
memasuki SMA, saat itu biaya sedang tinggi-tingginya sedangkan pendapatan
keluarga seperti pada ilustrasi berkurang karena Marko telah pensiun. Tiga
tahun kemudian, biaya akan meningkat kembali karena anak kedua baru akan masuk
kuliah. Jika orang tua telah mempersiapkan tabungan pendidikan dengan baik, kebutuhan
pendidikan dapat ditanggulangi dari tabungan tersebut.
Ilustrasi tersebut di atas mengasumsikan orang tua adalah
pegawai. Tentu jika orang tua adalah wirausaha atau pekerja harian seperti
misalnya petani, wirausaha, buruh dan sejenisnya, keadaan bisa lain lagi. Kondisi
fisik kita harus mendapat perhatian lebih mulai pada kisaran usia 40-50
tahun. Pada saat ini tubuh tidak sebugar
pada saat muda lagi. Imbasnya, pendapatan pun bisa berkurang atau dibutuhkan
tambahan biaya-biaya untuk mendukung kesehatan. Begitu pula jika pendapatan
hanya dari suami atau istri.
Ilustrasi di atas baru membicarakan satu komponen biaya yaitu
pendidikan. Masih ada biaya-biaya lain yang harus ikut kita pikirkan, misalnya
kewajiban keagamaan seperti ibadah haji dan umroh, biaya-biaya terkait
kebutuhan adat, kepemilikan rumah atau kendaraan dan lain-lain.
Konsekuensi lain yang harus diperhitungkan adalah
biaya-biaya tambahan jika kita menjadi generasi
sandwich. Ini terkait dengan kewajiban kita merawat dan memenuhi kebutuhan
orang tua kita di usia senja mereka. Selengkapnya mengenai generasi sandwich bisa dibaca pada ulasan yang
lain di sini.
Jadi biaya sesungguhnya dari sebuah pernikahan bukan berada
pada awal, seperti tunangan dan pernikahan melainkan pada kehidupan selanjutnya
setelah pernikahan tersebut terjadi. Ini yang biasa
belum terpikirkan oleh
orang muda kita, terutama yang menunda pernikahan hanya karena memikirkan tahap
awal yang sesaat itu saja. (PG)
---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
ilustrasi gambar dari http://http://blog.ourweddingday.com
Post a Comment