Header Ads

Menjadi Fasilitator 3V

 


Dalam komunitas kami, orang-orang yang diberi delegasi untuk memberi pelatihan disebut fasilitator. Penamaan ini membuat siapa saja yang berdiri di depan kelas menyadari bahwa tugas mereka bukan semata menjadi mentor tapi juga menjembatani sebuah proses pembelajaran dua arah. Mereka harus mampu membuat setiap peserta menjadi objek sekaligus subjek pelatihan.

Fasilitator dituntut memainkan peran fasilitasi tersebut karena peserta pelatihan-pelatihan kami adalah orang dewasa. Sebagian besar materi-materi yang dibawakan juga adalah pengetahuan dan keterampilan mengelola kehidupan dari perspektif ekonomi, bukan lagi keilmuan berbau sains seperti yang diterima anak-anak sekolahan atau mahasiswa. Jadi pendekatan andragogi mutlak dilakukan. Susah-susah gampang melakukannya. Butuh strategi dan pendekatan khusus.

Walaupun dalam pembekalan para fasilitator ini, materi-materi mengenai teknik presentasi sudah sering diberikan, masih saja beberapa kesalahan praktis dari fasilitator yang sering ditemui di lapangan. Khususnya fasilitator pemula.

Salah satu kesalahan tersebut adalah tidak memaksimalkan bahasa tubuh saat membawakan materi di depan kelas. Beberapa fasilitator kami masih merasa pengetahuan dan wawasan yang tinggi adalah segala-galanya. Senjata pamungkas tersebut harus sejak awal disiapkan untuk mengantisipasi kalau-kalau ada peserta yang kritis dan bertanya macam-macam. Goal fasilitasi dipandang secara kaku. Semua keingintahuan peserta harus dipuaskan.

Tidak salah sebenarnya. Tapi jadinya fasilitator sering mengabaikan aspek-aspek lain yang lebih menentukan sukses tidaknya sebuah presentasi dibanding menyampaikan content presentasi belaka.

Seorang pakar bahasa tubuh asal Amerika, Albert Mehrabian mengemukakan hasil penelitiannya mengenai respon seseorang terhadap komunikasi yang dibangun oleh lawan bicaranya. Dalam konteks kita bisa disamakan dengan respon peserta atau audiens terhadap presentasi yang dibawakan oleh presentator. Teorinya dikenal dengan teori 3V (Verbal, Voice, Visual), sebuah paket lengkap yang harus dimiliki seseorang yang mempraktekkan public speaking.

Selama ini fasilitator pemula lebih menitikberatkan konsentrasinya pada kata-kata apa yang dia ucapkan, atau lebih dikenal dengan elemen verbal. Padahal dalam komunikasi, rata-rata lawan bicara atau audiens kita hanya memberi 7% dari perhatiannya kepada kata-kata kita. Selebihnya kepada aspek non verbal seperti intonasi suara (voice, sebesar 38%) dan bahasa tubuh atau ekspresi (visual, sebesar 55%).

Teori 3V ini sebenarnya banyak membantu jika digunakan dengan maksimal oleh fasilitator. Segala kompleksitas materi bisa dipelajari sendiri. Lalu materi tersebut diendapkan agar dapat dipahami dengan baik, sehingga pada saat menyampaikannya kepada peserta, fasilitator tidak hanya semata memberikan materi melainkan sampai pada tahap sharing kepada pesertanya. Dengan demikian  elemen-elemen non verbal akan semakin menguatkan elemen verbal, sehingga dihasilkan paket presentasi yang ciamik.

Bagaimanapun juga, audiens dapat menangkap isyarakat-isyarat non-verbal dari fasilitator di depan mereka. Jadi pada saat fasilitator membawakan materi yang nuansa motivasinya begitu kuat, akan jadi aneh kalau pesan non-verbal yang disampaikan fasilitator justru sebaliknya. Atau bisa jadi saat fasilitator mesti menurunkan dinamika suaranya, dan menunjukan wajah simpati pada saat membawakan materi mengenai sebuah keprihatinan, tapi malah fasilitator terlihat riang gembira. Bisa jadi audiens menganggap fasilitator itu tidak etis.

Bisa jadi juga saat fasilitator sedang membawakan materi dia lagi ditimpa masalah. Sedikit banyak ini akan mempengaruhi sinkronisasi elemen verbal dan non verbalnya. Oleh karena itu selain mampu menguasai materi, fasilitator juga harus mampu tampil prima dan menguasai diri di depan peserta. Dalam hal ini jam terbang juga cukup tinggi pengaruhnya. Untuk menggiring audiens mencapai tujuan presentasinya, tidak ada salahnya sedikit memanipulasi bahasa tubuh. Kita bisa belajar dari artis atau politisi mengenai ini, mereka ahlinya.

 Terbukti dari hasil evaluasi pelatihan kami. Sebagian besar peserta menyukai fasilitator yang lebih “alami” dalam menjelaskan materi. Fasilitator yang humoris, gemar berinteraksi dengan peserta dan fasiltator yang rendah hati. Peserta pelatihan memang tidak terlalu membutuhkan teori atau konsep setinggi langit. Mereka ingin informasi yang membumi dan dekat dengan keseharian mereka. Fasilitator yang baik mampu menghubungkan dua dunia tersebut dengan cara-cara yang bersahabat dengan pesertanya. (PG)


Ilustrasi gambar oleh GrumpyBeere dari pixabay.com 

Pertama kali tayang di Kompasiana     


No comments

Powered by Blogger.