Membaca Nasib Anies Baswedan dari Isu Reshuffle Kabinet
Idealnya komposisi pembantu presiden setingkat menteri diisi oleh orang-orang profesional yang bukan berlatar belakang partai politik. Hanya saja karena jabatan menteri bukan saja jabatan manajerial, tapi juga jabatan politik, kita maklum jika ada orang-orang berlatar belakang parpol yang menduduki posisi tersebut.
Fakta bahwa lebih dari setengah
menteri-menteri di kabinet Presiden Jokowi saat ini berlatar belakang parpol
kian menegaskan hal tersebut. Jadi selain scoring kinerja profesional,
dinamika politik bisa saja menjadi pertimbangan Presiden dalam menentukan
komposisi kabinet.
Nah, belakangan ini isu reshuffle
kabinet kian santer terdengar, setelah reshuffle terakhir pada bulan
Juni yang lalu. Terkait isu tersebut, banyak sorotan mengarah ke menteri-menteri
dari partai Nasdem. Di kabinet ada nama Johny G Plate, Menkominfo, kemudian Siti
Nurbaya, Menteri LHK dan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian. Ketiganya
adalah kader partai Nasdem.
Di luar isu kinerja, kita pasti
sudah bisa menebak mengapa menteri-menteri dari Nasdem ini disebut-sebut berada
pada posisi “tidak aman”, meminjam istilah showbiz pencarian bakat di
TV-TV itu. Ya, pasca deklarasi Anies Baswedan sebagai capres oleh Surya Paloh,
Nasdem dianggap mulai berubah haluan dari gerbong koalisi pemerintahan Jokowi.
Kita ketahui bersama Anies Baswedan
selalu dianggap sebagai kontra Jokowi, mulai dari figur, branding
politik, sampai barisan pendukung kedua tokoh. Perbedaan kutub ini sudah
terjadi bahkan saat Anies Baswedan masih menjabat sebagai gubernur DKI yang
notabene merupakan sama-sama representasi pilar eksekutif negara.
Membaca Nasib Anies
Baswedan
Bisa dikatakan perjalanan suksesi
Anies Baswedan sebagai kandidat capres yang disodorkan Nasdem belum mengalami
banyak kemajuan. Selain safari politik ke mana-mana, koalisi parpol untuk
mencapai presidential treshold 20% belum kunjung terwujud. Safari bagus
untuk tetap memberi panggung pemberitaan bagi Anies Baswedan, tapi secara
fundamental, tanpa koalisi yang memadai Anies tidak bisa maju lebih jauh ke
kancah pilpres.
Branding politik cukup penting untuk membangun engagement
dengan masyarakat sebagai konstituen. Jadi kemungkinan besar yang dilakukan
Nasdem saat ini adalah melakukan upaya branding Anies Baswedan sambil terus
melakukan konsolidasi politik pada parpol-parpol lain.
Koalisi Nasdem bersama Demokrat dan
PKS sebenarnya sudah tepat. Jumlah suara pemilihan legislatif ketiga parpol
yang lalu jika diakumulasi mencapai 25,03%. Ini sudah cukup untuk mengajukan
capres-cawapres pada pilpres 2024 nanti.
Hanya saja deklarasi ketiga parpol
yang rencananya dilangsungkan pada awal November lalu batal. Saat ini kabarnya
mereka sedang menunggu saat yang tepat untuk kembali melakukan deklarasi. Jadi
walaupun nama Anies sudah digembar-gemborkan sebagai capres, secara de facto
maupun de jure saat ini kita belum punya satu pun calon presiden-wakil
presiden yang sah.
Lalu apa hubungannya
dengan judul tulisan ini?
Nah, ini bagian yang menarik.
Mungkin kita mulai dengan nasihat: jangan menyikapi politik dengan naif. Berkaca
dari dinamika politik tanah air selama ini, hal yang kita pandang sederhana bisa
saja sebenarnya sangat kompleks. Atau sebaliknya, hal yang kita pandang sangat
kompleks, ternyata sebenarnya sederhana saja.
Mendasarkan penalaran pada prinsip
tersebut membuat kita tidak “sekadar ikut arus” dalam mengamati fenomena
politik yang terjadi. Kita bisa tetap membuat analisis untuk mencermati adanya
kemungkinan skenario-skenario lain yang tidak nampak secara kasat mata di
permukaan.
Ketika dihadapkan pada pertanyaan
“Mengapa Anies Baswedan?” saat Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan secara
resmi 3 Oktober yang lalu, Surya Paloh dengan mantap menjawab “Why Not the
Best?”
Ini menjadi checkpoint yang
penting karena sebelumnya kita melihat beberapa kader Nasdem justru cukup getol
mengkritik kebijakan dan kinerja Anies Baswedan. Pada pilgub DKI tahun 2017
yang lalu, Nasdem juga berada di kubu Ahok. Apa yang membuat arah angin kini
berubah?
Ada beberapa alternatif
pemikiran yang muncul untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, Nasdem
mungkin saja ingin menjembatani polarisasi konstelasi politik yang terjadi
selama ini. Anies sebagai capres yang selama ini kontra Jokowi akan dipasangkan
dengan sosok dari kubu Jokowi. Dan ini tujuan yang mulia. Sayangnya kemungkinan
ini menjadi kecil, karena toh Nasdem membuka ruang bagi Anies untuk menentukan
cawapresnya sendiri, dengan catatan tetap dalam koordinasi dengan koalisi
parpol. Parpol-parpol koalisi tentu juga punya tawaran tersendiri untuk posisi
cawapres.
Pemikiran kedua, Nasdem memang saat
ini mulai berubah haluan dan ingin lebih mesra dengan koalisi oposisi
pemerintahan Jokowi. Ini tidak jadi masalah dalam politik. Kita tahu, tidak ada
kawan atau lawan yang abadi dalam dinamika politik. Tapi ini pun harus dibayar
mahal Nasdem dengan elektabilitas partai yang terus merosot. Tidak bisa
dipungkiri, banyak pemilih Nasdem yang selama ini adalah pendukung Jokowi.
Pemikiran ketiga, Nasdem sejak awal
sebenarnya tidak berubah haluan dari gerbong koalisi pemerintahan. Nasdem hanya
ingin mengunci posisi Anies Baswedan. Ini memang pemikiran yang nyeleneh.
Tapi bagaimana kalau sejak awal Nasdem tahu sebenarnya koalisi untuk
mencapreskan Anies Baswedan nyaris mustahil untuk terwujud? Mungkin karena biaya
politiknya yang terlalu mahal atau mungkin karena sudah ada contekan nama-nama
capres kompetitor lainnya di antara para elite parpol. Entahlah. Dan bisa saja
di saat-saat terakhir nanti, Nasdem meninggalkan Anies karena tidak ada deal
politik yang pasti di antara parpol koalisi.
Menanti Kabar Reshuffle
Mungkin saja ada skenario lain,
tapi secara garis besar tidak akan jauh dari 3 pemikiran di atas. Yang jelas, apapun
skenario yang dilakoni Nasdem, parpol harus menanggung dampaknya karena
elektabilitas partai yang merosot pasca mengumumkan Anies Baswedan sebagai
kandidat capres. Belum lagi beberapa tokoh besar partai yang hengkang satu per
satu karena sudah tidak sepemikiran lagi dengan arah partai.
Nah, isu reshuffle kabinet
bisa jadi cara kita menguji pemikiran-pemikiran tadi. Jika nanti seandainya reshuffle
benar-benar terjadi dan setelah kocok ulang kabinet kader-kader Nasdem
tersingkir, bisa jadi memang Nasdem telah meninggalkan dan ditinggalkan koalisi
parpol pemerintahan. Proses suksesi Anies Baswedan bisa lebih mengalami
percepatan kalau ini yang terjadi.
Jika kader Nasdem masih bertahan di
kabinet berarti hubungan Nasdem dan koalisi parpol di balik Presiden Jokowi
masih baik-baik saja. Sebaliknya, ini mestinya jadi alarm peringatan
untuk Anies Baswedan. Jangan-jangan Nasdem memang menjalankan peran untuk
mengunci posisinya. Anies jadi tidak bisa kemana-mana, juga tidak punya banyak
pilihan saat ini.
Tapi bagaimana jika kader Nasdem
ada yang tersingkir dari kabinet dan masih ada yang bertahan di kabinet? Ini
yang sedikit membingungkan. Mungkin saja Jokowi memang mendasarkan penilaian
lebih besar pada kinerja profesional dibanding pertimbangan politik untuk
menteri-menterinya. Tapi kemungkinan pertama dan kedua tetap bisa menjadi
pertimbangan untuk kondisi yang ketiga ini.
Pembaca yang mengidolakan Anies Baswedan jangan sampai baper ya dengan tulisan ini. Analisis di atas hanya pemikiran iseng yang muncul dari pengamatan dan percakapan lepas bersama kawan-kawan selama ini. Benar atau tidaknya nanti, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Sekali lagi, tidak perlu terlalu naif menyikapi dinamika politik kita. Salam sehat untuk kita semua (PG).
gambar dari kompas.com (RYANA ARYADITA)
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment