Relawan Politik Mestinya Mengedukasi, Bukan Mengompori Netizen
Media sosial telah menjadi semacam “rumah kedua” bagi sebagian masyarakat kita. Silakan dihitung berapa jam dalam sehari kita berselancar di media sosial, entah itu hanya scrolling dan menjadi silent viewer atau ikut berinteraksi dengan sesama warganet lainnya. Bisa jadi durasi yang kita habiskan untuk berinteraksi di media sosial sama dengan waktu kita berinteraksi dengan kawan di dunia nyata, atau malah lebih panjang.
Ini membuat media sosial cukup diperhitungkan
sebagai “medan juang” para relawan politik untuk menaikkan exposure
tokoh atau elit politik yang mereka perjuangkan.
Sayangnya, media sosial juga bisa
jadi medan perang yang tidak kalah brutal dari peperangan di dunia nyata. Pasti
belum hilang dari ingatan kita bagaimana panasnya atmosfer media sosial kita
pada pilpres terakhir. Di sana kita bisa menemukan betapa tajamnya perseteruan
antara warganet kubu capres Jokowi dan Prabowo yang digerakkan oleh para
relawan politik ini. Setiap hari ada saja perang tagar, hoax dan black
campaign yang membanjiri lini masa.
Memang ada juga relawan politik
yang berargumen dengan adem, menggunakan data-data valid dan opini yang
berbobot. Tapi unggahan-unggahan mereka biasanya kalah pamor dengan konten dari
relawan politik yang cenderung melakukan framing dan kampanye hitam
untuk memanas-manasi warganet.
Akibatnya, warganet (dan
masyarakat) kita terpolarisasi sedemikian rupa. Hadirlah istilah-istilah untuk
memberi label kepada kubu lawan, seperti cebong, kampret, kadrun dan lain-lain.
Suasana sudah semakin tidak kondusif. Banyak netizen yang terseret
kesana-kemari dan lupa kalau ini hanya perhelatan politik belaka. Ini membuat
polarisasi tersebut menjadi susah dipulihkan.
Buktinya, saat ini Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah berada pada satu
gerbong, tapi labeling dan perseteruan di media sosial masih terus saja
terjadi.
Pilpres 2019 ini bisa menjadi
pelajaran bagi kita untuk melangkah ke pilpres 2024 yang lebih baik dan lebih
kondusif.
Politik sesungguhnya bisa menjadi alat
atau sistem yang tepat untuk memperbaiki kondisi masyarakat, bangsa dan negara.
Sayangnya banyak orang yang apriori terhadap politik karena cara-cara yang digunakan
para politisi sering kali kurang tepat ditambah lagi pemahaman masyarakat yang
belum merata karena kurang teredukasi. Oleh karena itu dibutuhkan peran dari
semua pihak untuk mencerdaskan masyarakat, termasuk para relawan politik yang
banyak bersentuhan dengan para konstituen di akar rumput.
Mungkin saja ada pembagian tugas di
antara para relawan politik. Ada yang bertugas mengolah data, ada yang bertugas
menjawab isu-isu, ada yang harus bicara slow dan sopan, ada yang harus
frontal dan seterusnya. Bagaimana pun jobdesnya, seluruh sistem kerja para
relawan politik mestinya berada dalam bingkai memberi edukasi kepada
masyarakat.
Berikut beberapa contoh kiat
pencerdasan politik kepada masyarakat khususnya untuk para netizen, saat
masa kampanye tiba.
Kampanye Sehat
Saat sedang berkampanye mestinya
para relawan politik menggunakan data-data yang valid. Informasi prestasi demi
prestasi mengenai tokoh pilihannya harus benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Ada evidence yang bisa ditunjukkan agar saat
mereka menyampaikan program kerja, masyarakat bisa menganalisis dengan baik
apakah program kerja tersebut memang masuk akal atau hanya sekadar retorika
belaka.
Hindari black campaign untuk
menjatuhkan pihak lawan, apalagi jika disertai dengan informasi sesat atau hoax.
Juga yang tidak kalah penting adalah menghindari kampanye yang mengangkat
sentimen SARA. Berkaca dari pengalaman pilpres 2019 lalu, kedua hal ini, hoax dan sentimen
SARA sangat mudah jadi pemicu perpecahan dalam masyarakat.
Adu Argumen dengan Baik
Sering kali para relawan politik
yang berbeda kubu terlihat head to head beradu argumen di lini masa.
Topiknya macam-macam. Bisa isu yang sedang aktual, pernyataan elit politik
jagoan masing-masing dan topik-topik lainnya.
Saya cukup menikmati jika adu
argumen ini berjalan dengan sehat karena masing-masing mengemukakan opini yang
berbobot didukung dengan data dan kajian-kajian ilmiah. Sayangnya, tidak jarang
juga terjadi adu argumen yang sudah
menyimpang, khususnya jika salah satu atau kedua pihak jatuh pada logical
fallacy. Yang sering terjadi adalah ad hominem atau perdebatan sudah
menyerempet ke hal-hal yang sifatnya subjektif.
Dengan adu argumen yang baik,
masyarakat yang mengikuti jalannya perbicangan pasti memperoleh informasi yang
berharga untuk menunjang keputusan politiknya.
Menggali Isu yang
Kurang Populer
Biasanya topik-topik yang sering
jadi perhatian utama para relawan politik tidak jauh-jauh dari ekonomi, sosial
budaya, hankam, geopolitik dan topik-topik lain yang populer dan juga cukup
dikenal masyarakat awam. Selain karena memang topik-topik ini yang biasanya
jadi acuan penilaian masyarakat terhadap kinerja calon pemimpinnya, referensi
terhadap topik-topik ini relatif lebih mudah ditemukan.
Padahal menurut saya, “nilai jual”
seorang tokoh akan bertambah jika memberi perhatian pada isu-isu lain yang
kurang populer tetapi juga sama pentingnya untuk masyarakat. Ini bisa tercermin
dari apa yang ikut disuarakan oleh relawan-relawan politik pada kubunya.
Beberapa contoh topik yang biasa kurang digali dan dikemas dengan baik misalnya
kesetaraan gender, lingkungan, microfinance, sains dan lain-lain.
Dengan berorientasi pada edukasi
masyarakat, strategi apapun yang akan dikerahkan oleh para relawan politik
untuk memenangkan jagoannya, mestinya akan bermuara pada perhelatan politik
yang lebih kondusif dan damai.
Kecuali masih ada politisi yang
memanfaatkan “kebodohan” sebagai cara untuk menangguk keuntungan
sebesar-besarnya. Politisi seperti ini tentu tidak akan mempertimbangkan
edukasi masyarakat sebagai opsi kampanye. Kita pun mestinya lebih awas dengan
politisi seperti ini.
Tantangan bangsa kita ke depan
semakin berat. Kita sudah harus fokus pada isu-isu lain yang lebih strategis
seperti globalisasi, pemerataan pembangunan, ketahanan pangan, energi
terbarukan dan hal-hal lain. Bagaimana mau bergerak maju, kalau energi kita
habis hanya untuk gontok-gontokan dan berkelahi tidak jelas imbas perhelatan
pilpres? Presidennya sudah terpilih, tapi masyarakatnya belum bisa move on
dari masa kampanye.
Semoga pada pilpres 2024 nanti
tidak ada lagi cara-cara kampanye yang cenderung mengompori bahkan membodohi
dan memecah belah masyarakat. Peran para relawan politik sangat dibutuhkan
untuk tujuan ini. Dengan pemilih yang lebih cerdas, kita pun akan menemukan tokoh-tokoh
yang mampu memimpin bangsa ini ke tempat yang lebih tinggi. (PG)
Ilustrasi gambar dari: pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment