Waspadalah, "Koperasi" Bisa Jadi Modus Shadow Banking
Tata kelola koperasi berbeda dengan tata kelola perusahaan atau lembaga keuangan yang lain. Koperasi tidak dimiliki oleh perorangan, tetapi oleh kumpulan orang yang menjadi anggota koperasi tersebut.
Selain itu koperasi dibangun dan dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip kekeluargaan. Ada aturan main bersama yang disepakati oleh
segenap anggota yang kemudian dituangkan dalam AD-ART koperasi. Yang penting
AD-ART koperasi tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan di atasnya.
Tapi walaupun bukan lembaga bisnis murni, koperasi dalam
usahanya juga harus tetap mampu menghasilkan profit demi keberlanjutan
operasional dan organisasinya. Oleh karena itu, anggota mengangkat Pengurus dan
Pengawas untuk mengawal jalannya koperasi agar tidak menyimpang dari tujuan
awal pendirian sekaligus menjaga koperasi tetap sehat dan berkinerja positif.
Jadi anggota juga memiliki andil dalam menentukan orientasi
bisnis koperasi. Anggota bahkan bisa mengambil keputusan untuk memberhentikan pengurus
dan pengawas jika ada indikasi pengurus atau pengawas melakukan pelanggaran
dalam tata kelola koperasi. Mekanismenya melalui RAT (Rapat Anggota Tahunan)
yang diselenggarakan setiap akhir Tahun Buku, atau bisa juga melalui Rapat
Anggota Luar Biasa (tidak harus menunggu akhir Tahun Buku) jika masalahnya dirasakan
mendesak.
Jika anggota koperasi berjumlah kecil, RAT dihadiri oleh
seluruh anggota. Namun jika Koperasi sudah besar, anggotanya ribuan bahkan puluhan
ribu orang, RAT bisa dilakukan dengan sistem representasi yang harus diatur mekanismenya
dalam AD-ART koperasi.
Ini beberapa contoh hal-hal mendasar yang kadang belum
dipahami sepenuhnya oleh masyarakat sebelum bergabung dalam keanggotaan sebuah
koperasi. Tujuan utamanya bergabung disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya instan atau
iming-iming selangit saja, misalnya kredit mudah dan cepat, imbas hasil besar
dalam waktu singkat dan lain-lain.
Setelah itu tanpa menelisik lebih jauh bagaimana sebenarnya skema
bisnis koperasi tersebut, mereka dengan mudah menyerahkan dana hasil kerja
keras selama ini kepada oknum dalam koperasi. Ujung-ujungnya tabungan yang
sudah dikumpulkan dengan susah payah akhirnya raib entah ke mana.
Pembelajaran Bersama
Mungkin pembaca masih ada yang ingat nama-nama seperti
Koperasi Langit Biru atau KSP Pandawa yang pernah bikin geger se-Indonesia
Raya. Pasalnya, mereka berhasil menghimpun dana anggota hingga ratusan miliar
rupiah karena iming-iming imbas hasil yang besar dari dana yang disetorkan
anggota. Imbas hasilnya berupa berupa bonus, bunga, bagi hasil atau apapun
namanya yang jika dipikir-pikir memang cukup bombastis.
KPS Pandawa misalnya, menghimpun dana masyarakat dengan
menjanjikan keuntungan sampai 10% per bulan. Jika disetahunkan keuntungan ini
mencapai 120% per tahun. Siapa yang tidak tertarik?
Memang awalnya ada skema bisnis tertentu yang ditawarkan
kepada anggota. KSP Pandawa misalnya, awalnya sang pendiri koperasi, bapak N,
mengembangkan usaha bubur ayam yang memang laris manis. Dia lalu mengajak
masyarakat untuk ikut menanamkan modal pada usaha tersebut dengan janji imbas
hasil 10% per bulan tadi.
Kemudian Koperasi Langit Biru, pada awalnya bergerak pada
usaha pengelolaan dan penjualan daging sapi. Anggota yang menanamkan modal
dijanjikan bonus dengan berbagai tingkatan persentase sesuai dengan modal yang
ditanamkan. Semakin besar modal, semakin besar pula bonus yang akan diperoleh.
Saat sejumlah anggota mencium ada yang tidak beres, karena
setelah berjalan beberapa waktu imbas hasil yang dijanjikan tidak kunjung
diterima, mereka melaporkan pengurus koperasi ke pihak yang berwenang.
Saat pihak yang berwenang turun tangan barulah ketahuan kalau
koperasi-koperasi tersebut ternyata tidak punya skema bisnis yang jelas.
Praktik yang terjadi ternyata tidak berbeda dengan money game. Dana segar dari anggota
yang masuk belakangan, digunakan untuk menutupi kewajiban pada anggota yang
sudah menanamkan modal lebih dahulu. Model bisnis seperti ini sangat rapuh,
karena jika terjadi risiko pada bisnis, misalnya tidak ada lagi masyarakat yang
tertarik bergabung atau terjadi rush (penarikan dana) besar-besaran oleh anggota, atau malah
dana yang terhimpun di koperasi ternyata dibawa kabur oknum pengelola, koperasi
bisa colaps
seketika
Shadow Banking
Secara singkat shadow banking dapat diartikan sebagai praktik jual beli
produk-produk keuangan yang menyerupai produk perbankan oleh lembaga keuangan
non-bank di tengah masyarakat. Produk-produk yang ditawarkan misalnya: investasi,
kredit atau pinjaman, proteksi keuangan lain-lain.
Sejauh berjalan baik dan tidak menimbulkan gangguan terhadap
stabilitas ekonomi, tidak ada masalah terhadap praktik shadow banking ini.
Tapi ada celah kecil di sana. Karena dikelola oleh lembaga keuangan non-bank,
maka lembaga-lembaga ini luput dari regulasi ketat yang biasa digunakan untuk
mengawasi kinerja perbankan. Celah kecil ini bisa menjadi besar jika memang di
kemudian hari terjadi penyimpangan oleh oknum pengelola lembaga keuangan
tersebut.
Jadi, apakah koperasi adalah salah satu praktik
Shadow Banking?
Memang benar, koperasi menghimpun dana dari masyarakat dalam
hal ini anggota koperasi. Tapi dana bersama ini kemudian dikelola dengan baik,
akuntabel dengan penuh prinsip kehati-hatian, bisa dalam bentuk usaha simpan
pinjam, bisa dalam bentuk produksi barang dan jasa, bisa dalam bentuk penjualan
barang-barang konsumsi, bisa dengan menjadi pengumpul dan penyalur
barang-barang produksi anggota dan seterusnya.
Lalu keuntungan dari usaha koperasi ini didistribusikan secara
proporsional kepada seluruh anggota sesuai dengan modal atau sahamnya pada
koperasi. Jadi prinsip: dari, oleh dan untuk anggota, harus benar-benar menjadi
“nyawa” dari pengelolaan usaha sebuah koperasi.
Jadi sebagai sebuah entitas, koperasi memiliki identitas yang
jelas dan tegas yang membedakannya dari perbankan. Jika dari segi produk ada
yang mirip dengan yang ditawarkan perbankan tidak ada masalah, karena sebagian
koperasi juga ada yang bergerak dalam bidang layanan keuangan seperti koperasi
simpan pinjam, misalnya.
Selain itu, sekalipun tidak berada di bawah Kementerian
Keuangan cq OJK, bukan berarti koperasi juga bisa berbuat semau gue di tengah
masyarakat. Secara struktur, jalannya koperasi di tanah air diawasi langsung
oleh Kementerian Koperasi dan UMKM secara bertingkat sampai ke Dinas Koperasi
dan UMKM tingkat II sesuai dengan status badan hukum koperasi yang
bersangkutan.
Sejak tahun 2015, peran pengawasan ini semakin dikuatkan
dengan pengangkatan Deputi Bidang Pengawasan di tingkat kementerian yang khusus
membidangi pengawasan terhadap koperasi-koperasi mencakup penilaian kesehatan
usaha koperasi, tingkat kepatuhan koperasi, pemeriksaan kelembagaan koperasi
hingga penindakan jika terjadi indikasi penyimpangan.
Tapi mengapa selalu saja ada koperasi bermasalah
yang baru ramai setelah anggotanya sadar telah tertipu oleh oknum pengelola
koperasi?
Ini pertanyaan reflektif. Jawabannya bisa jadi begitu kompleks,
tapi bisa juga disederhanakan menjadi seperti ini.
Kita ketahui bersama selalu ada peluang terjadinya deviasi
antara hal-hal yang mestinya terjadi secara administrasi, dengan eksekusi yang
terjadi di lapangan. Penyebabnya antara lain: keterbatasan SDM pada dinas
koperasi setempat, topografi wilayah yang menyulitkan akses, pengurus koperasi
menutup diri, ketidakpahaman pengurus koperasi, ketidakpahaman anggota koperasi
terhadap tata kelola koperasinya dan lain-lain.
Hal lain yang menjadi benang merah tulisan ini adalah, memang
sejak awal koperasi tersebut dibangun dengan dilandasi niat yang kurang baik. Oknum
pendiri koperasi hanya mencatut nama koperasi sebagai kedok untuk menghimpun
dana masyarakat. Tujuannya untuk keuntungan pribadi semata-mata, tidak peduli
jika bahkan anggota harus mengalami kerugian karenanya.
Lebih parah lagi jika sejak awal perizinan koperasi ternyata
dipalsukan, karena dengan demikian koperasi ini tidak terpantau radar dinas koperasi
setempat. Apalagi anggota juga asal manut saja diajak bergabung karena
iming-iming, tanpa mau mengecek secara mendalam dahulu tata kelola koperasi
yang bersangkutan.
Kesimpulan
Pada judul tulisan ini kata koperasi saya beri tanda kutip,
untuk memudahkan pembaca memberi atensi khusus pada kata tersebut. Jelas
berbeda, koperasi yang benar-benar dibangun dengan tujuan mulia memberdayakan
anggota-anggotanya melalui produk-produk koperasi dan koperasi abal-abal yang dibangun
untuk mengeruk keuntungan secara sepihak saja. Yang pertama berorientasi kepada
kesejahteraan anggota, yang kedua berorientasi pada profit oknum-oknum tertentu
saja.
Nah, koperasi-koperasian inilah yang kemudian bisa jadi modus
operandi shadow banking.
Mau menawarkan jasa-jasa keuangan seperti perbankan, tapi tidak mau berada di
bawah regulasi perbankan. Biar aman, pakai nama koperasi saja, sekalipun nanti saat
berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi yang baik dan benar. Jadi
sejak awal pendirian usaha sudah ada niat-niat yang menyimpang di dalamnya.
Jika menemukan “koperasi” seperti ini, waspadalah, waspadalah, waspadalah! Bacanya, pakai intonasi Bang Napi, ya. (PG)
Ilustrasi gambar: pixabay.com
Pertama kali tayang di Kompasiana
Post a Comment