Harus Putus di Kamu!
…jangan putus di kamu!
Pernah mendapat pesan berantai yang diakhiri dengan kalimat
seperti itu (atau kalimat sejenis)?
Saya pernah beberapa kali. Seingat saya sejak zaman kirim
mengirim pesan lewat SMS, sudah ada pesan berantai seperti itu. Setelah
teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih, beberapa vendor mengusung platform perpesanan berbasis komunikasi
data sehingga hadirlah Blackberry Messenger, Facebook Messenger, Whatsapp dan sebagainya. Pada umumnya aplikasi
ini memiliki fitur komunitas atau grup, sehingga produsen pesan berantai pun
semakin mudah melakukan aksinya. Penyebaran pesan semakin mudah dan kemungkinan
pesan menjadi viral lebih tinggi. Apalagi saat ini kita bisa dengan mudah menyematkan
multimedia ke dalam pesan yang kita kirimkan.
Harapan si pembuat pesan memberi
penekanan “…jangan putus di kamu!”
tentu ingin agar orang yang menerima pesan tidak mendiamkan pesan tersebut tetapi
ikut membagikannya dengan orang lain.
Sejauh pesan yang akan dibagikan benar
dan bermanfaat bagi orang lain tidak ada masalah. Tapi lain halnya jika pesan
yang dibagikan berisi hoax, konten
yang kebenarannya masih harus diklarifikasi lagi, atau konten yang bermuatan negatif
(mengandung unsur kekerasan, pornografi, foto korban bencana tanpa sensor dan sebagainya)
Dengan meneruskan pesan seperti
ini sebenarnya kita telah merugikan orang lain maupun diri sendiri. Merugikan
orang-orang yang ikut menerima pesan karena kita telah menyajikan informasi
yang tidak benar atau tidak bermanfaat sama sekali. Informasi yang terdistorsi
atau dipelintir rentan disalahgunakan. Bisa digunakan untuk framing, mengubah persepsi penerima
bahkan sampai memincu konflik. Membagikan konten negatif sudah jelas merugikan
si penerima pesan.
Kerugian bagi diri sendiri adalah
kita bisa diberi label sebagai penyebar informasi tidak benar sehingga
mengurangi kredibilitas diri sendiri. Pada beberapa platform sosial media, orang lain malah bisa menggunaan fitur-fitur
tertentu untuk mengabaikan segala pemberitahuan tentang unggahan kita.
Oleh karena itu sebelum
membagikan pesan baiknya menimbang beberapa hal berikut ini:
Cek dan ricek. Jika pesan
yang diterima berupa berita, kutipan statement
tokoh terkenal atau analisis
sebuah isu, sebaiknya crosscheck dulu kebenarannya dengan sumber-sumber informasi yang lain.
Cara paling mudah adalah melakukan googling.
Jika pesan yang sedang viral itu memang benar, mestinya tidak sulit menemukan
informasi pendukungnya di internet. Cek apakah informasi yang akan dibagikan
sama atau berbeda dengan sumber-sumber informasi yang lain.
Sanggah. Setelah mengetahui bahwa pesan yang diterima itu tidak
benar atau hoax, pada kesempatan
pertama sanggahlah berita tersebut. Jika memungkinkan sertakan tautan yang
berisi informasi penyanggahnya. Ini berguna agar penyebar pesan sebelum anda
mengetahui bahwa dia baru saja melakukan kesalahan dan lebih mawas diri saat
menyebarkan pesan berikutnya.
Cek sekali lagi. Sebelum membagikan pesan, cek jawaban dari dua pertanyaan
ini. 1. Apakah pesan tersebut valid? dan 2. Apakah pesan tersebut bermanfaat
untuk orang lain? Jika salah satu saja pertanyaan tersebut dijawab tidak, sebaiknya pesan tersebut tidak
usah diteruskan atau dibagikan.
Filter. Jadilah filter terhadap pesan yang diterima sebelum membaginya dengan orang lain. Jika pesan berisi informasi tentang bencana, peristiwa kekerasan dan berita sejenis jangan menyebar foto atau video korban. Kalau pun akan disebar untuk mendukung informasi, blur wajah atau tubuh korban. Tidak salah juga melakukan penyuntingan pada beberapa bagian pesan yang kurang benar atau multi-tafsir agar pesan jangan disalahpahami.
Pesan-pesan berisi informasi yang tidak benar rentan untuk disalahgunakan bahkan dapat memicu konflik. Dengan melakukan kiat-kiat seperti di atas kita telah ikut andil mencegah penyebaran pesan seperti ini untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif di dalam masyarakat.
---
pertama kali ditayangkan di kompasiana.com
gambar dari https://oceanfrontrecovery.com
Post a Comment