Cek Kesalahan ini Sebelum Naskah diserahkan ke Editor
Seorang penulis pasti ingin buah pikirannya sampai kepada
pembaca melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya. Namun kadang
kesalahan-kesalahan dalam penulisan membuat pesan untuk pembaca tidak sampai secara
utuh. Kesalahan seperti typografi, diksi yang tidak tepat dan lain-lain adalah
contoh hal-hal yang membuat sebuah tulisan berkurang kualitasnya.
Hal ini berlaku pula untuk tulisan bergenre fiksi. Beberapa
waktu lalu saya mengikuti event 100
Hari Menulis Novel yang diselenggarakan oleh Fiksiana Community. Karya saya dinyatakan lolos dan setelah
melakukan self-editing beberapa kali
terhadap naskah novel, naskah tersebut diserahkan kepada editor untuk
disempurnakan lagi.
Hasil editing dari
editor masih dikembalikan kepada saya untuk dicek kembali. Saya pun
membandingkan naskah tersebut dengan tulisan aslinya. Walhasil, sentuhan editor
membuat naskah saya jauh lebih apik, lebih renyah dan jauh lebih enak dibaca.
Ternyata cukup banyak kesalahan pada naskah asli yang harus diperbaiki oleh
editor. Disinilah saya memperoleh pengalaman berharga sekaligus pelajaran baru,
bagaimana sebenarnya menulis sebuah naskah yang baik.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya akan berbagi kepada
pembaca sekalian mengenai beberapa kesalahan pada penulisan, khususnya tulisan
fiksi. Kesalahan-kesalahan ini jika dapat diminimalkan sejak awal dapat
mengurangi beban editor sekaligus menghemat waktu proses editing karya anda. Mari kita mulai.
1.
Banyak
Konjungsi yang Tidak Perlu. Ini salah satu kesalahan utama saya. Penggunaan
kata sambung kita maksudkan untuk menghubungkan kata, frase maupun kalimat. Seringkali
penulis merasa perlu mengungkapkan isi kepalanya segamblang mungkin kepada
pembaca. Penulis “takut” apa yang ada di kepalanya tidak sampai secara utuh,
sehingga menggunakan konjungsi berlebihan pada tulisannya. Padahal hal tersebut
justru bisa membuat pembaca kebingungan.
2.
Kata
tidak baku. Penggunaan kata-kata yang tidak baku dapat mengganggu suasana
membaca dan menurunkan kualitas tulisan. Penggunaan kata yang sudah sangat
familiar belum menjamin kata tersebut baku atau standar. Banyak contohnya, misalnya
masih banyak yang menulis kata nafas,
padahal semestinya napas, atau praktek padahal semestinya praktik, hembus padahal semestinya embus
dan lain-lain. Kesalahan ini dapat dihindari dengan sering-sering membuka Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Tidak usah khawatir, saat ini KBBI versi online maupun offline juga sudah tersedia, tinggal unduh saja.
3.
Hati-hati
dengan Imbuhan. Imbuhan tertentu jika digabungkan dengan kata tertentu
membuat beberapa huruf pada kata tersebut menjadi luruh. Nah, penggabungan
imbuhan dan kata yang tidak tepat dapat mengganggu mata pembaca. Sebenarnya
mirip dengan kesalahan nomor dua di atas. Penulisan yang sudah familiar tidak
menjamin kata tersebut baku atau standar. Misalnya, imbuhan me + percaya + i seringkali akan ditulis
menjadi mempercayai. Padahal ini
tidak tepat. Imbuhan me + kata dasar yang berawalan dengan huruf P membuat
huruf P diawal kata menjadi luruh. Jadi semestinya me + percaya + i menjadi memercayai,
seperti halnya me + pikir + kan
menjadi memikirkan, atau me + puncak + i menjadi memuncaki. Untuk mengurangi kesalahan
ini, penulis mesti rajin-rajin membaca literatur dan tulisan lain. Membuka
kembali pelajaran Bahasa Indonesia saat sekolah dulu juga bisa dilakukan.
4.
Hati-hati
dengan dialog. Seringkali dalam naskah terjadi percakapan antara dua atau
lebih tokoh dalam cerita. Bagi saya pribadi, menulis dialog cukup menguras
konsentrasi juga imajinasi, karena kita akan menghadirkan ekspresi dari
karakter tokoh di ruang kepala para pembaca. Nah, salah satu kesalahan pada
bagian dialog khususnya yang melibatkan banyak karakter, adalah keterangan
tokoh yang hilang. Maksudnya setiap kutipan kalimat harus diikuti atau diawali
oleh tokoh mana yang kita maksudkan. Berbeda dengan dialog yang melibatkan
hanya dua tokoh, penulis dapat meletakkan kutipan kalimat susul menyusul tanpa
keterangan tambahan. Ini sudah dapat diartikan kedua tokoh melakukan percakapan
berbalasan oleh pembaca. Hal lain saat menulis dialog adalah hati-hati jangan
sampai ada nama tokoh atau dialog yang tertukar karena akan sangat
membingungkan pembaca.
5.
Konsistensi.
Konsistensi yang dimaksud ini mencakup banyak hal. Dalam penulisan fiksi
khususnya novel, ada durasi yang cukup panjang mulai dari perkenalan para
tokoh, konflik, klimaks dan anti-klimaks. Oleh karena itu harus konsisten
dengan apapun yang sejak awal sudah dimunculkan, mulai dari karakter, PoV
sampai hal-hal kecil misalnya julukan dan lain-lain. Panggilan yang
berubah-ubah padahal diucapkan oleh orang yang sama tentu akan terasa aneh.
Misalnya pada awal-awal cerita panggilan tokoh A ke tokoh B adalah Tuan, eh di lain tempat berubah menjadi Kakak.
Atau pada awal cerita disebutkan C memiliki phobia
pada ketinggian, tiba-tiba di bagian novel yang lain diceritakan C adalah atlit
panjat tebing, tanpa keterangan tambahan.
Nah, lima hal di atas adalah contoh kecil kesalahan-kesalahan
yang biasa dilakukan penulis (khususnya penulis pemula). Sebenarnya cara paling
mudah untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan ini adalah sebelum menyerahkan
naskah kepada editor, self-editing
mutlak diperlukan. Penulis harus melepaskan egoismenya sebagai pemilik naskah
dan membaca naskah tersebut dari sudut pandang orang lain.
Ini cukup berat, karena seringkali pada self-editing kita sampai harus “tega” membuang beberapa bagian
tulisan yang cukup mengganggu keutuhan naskah. Padahal awalnya kita mungkin
saja berpikir keras saat menuliskan
bagian tulisan tersebut.
Tapi tidak usah khawatir. Kabar baiknya,
kemampuan menulis juga dapat ditingkatkan seiring dengan jam terbang. ---
gambar dari https://expertbeacon.com/
pertama kali ditayangkan di Kompasiana.
Post a Comment