Mengapa Masyarakat Masih Tertipu Investasi Bodong?
Beberapa hari lalu, kasus investasi bodong yang menyeret
pesohor Sandy Tumiwa kembali mencuat ke permukaan. Awalnya, Sandy dan rekannya
Astriana mengajak sejumlah orang menjadi investor untuk menggelontorkan dana pada perusahaan dengan
nama PT. CSM Bintang Indonesia yang bergerak pada usaha forex trading.
Para investor diiming-imingi keuntungan 40% per bulan dari
nilai investasinya. Keuntungan ini akan bertambah jika para investor menggaet
calon investor yang lain untuk ikut serta. Sepertinya cukup banyak masyarakat yang
tertarik dan menjadi investor. Setelah berjalan beberapa lama, keuntungan yang
dijanjikan pun tidak kunjung datang. Malah dana para investor pada akhirnya
tidak bisa dikembalikan.
Dikabarkan dana dari investor yang menguap mencapai 7 miliar
rupiah. Ini bukan jumlah yang sedikit. Sandy dan Astriana pun ditetapkan
menjadi tersangka yang dijerat dengan pasal penipuan. Saat ini kasusnya tengah ditangani Polda
Metro Jaya.
Kita tidak akan mengupas kronologi kasus ini. Di balik
kronologi kasusnya, ada fenomena menarik yang bisa kita potret dan dijadikan bahan
refleksi bersama.
Inilah salah satu dampak dari pertumbuhan masyarakat kelas
menengah dan pertumbuhan ekonomi tanpa didukung oleh peningkatan kapasitas pemahaman
serta pengelolaan keuangan. Masyarakat menjadi rentan terhadap penipuan
berkedok keuangan.
Pertanyaan kritis misalnya, darimana sumber dana perusahaan
untuk mendatangkan imbas hasil fantastis sebesar 40% per bulan atau 480% per
tahun untuk investornya. Kita boleh menduga-duga bagaimana kira-kira kerja
keras mesin uang perusahaan untuk memutar dana investor dan mengembalikannya
hampir lima kali lipat dalam satu tahun fiskal.
Ini hampir mustahil, apalagi investasi forex memiliki
unsur-unsur fluktuatif dan resiko. Kita bisa melirik instrumen-instrumen
investasi lain sebagai bahan perbandingan. Misalnya saya memiliki ilustrasi
dari asuransi x (salah satu asuransi
top tanah air) untuk instrumen unit link.
Setelah dihitung-hitung nilai tunainya, imbas hasil asuransi unit link tersebut dengan tingkat pendapatan
(dan resiko) yang paling tinggi hanya mencapai 55% per tahun. Itu pun dengan
catatan baru bisa diterima setelah membayar premi selama 5 tahun dan menahan
dana investasi kita selama 30 tahun berturut-turut.
Kemudian kita bisa lihat
reksadana. Saya tidak memiliki investasi reksadana, namun dari hasil googling, imbas hasil reksadana saham
yang progresif rata-rata berkisar 15-25% saja per tahun.
Makanya saya masih suka heran dengan orang yang mudah terhasut
janji-janji investasi yang sebenarnya kurang masuk akal.
Mengapa masyarakat
masih mudah tergiur dengan investasi bodong?
Ini pertanyaan besarnya. Menarik menyimak pemaparan seorang
perencana keuangan yang dihadirkan program Trending
Topic Metro TV beberapa hari lalu
(sayang sekali saya benar-benar tidak sempat mencatat nama beliau). Menurutnya hanya
dua penyebab masyarakat jatuh pada masalah investasi bodong. Pertama, ketidakmengertian, kedua,
keserakahan.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir dua alasan tersebut beda-beda
tipis dan hampir selalu berkaitan satu sama lain. Kecenderungan untuk
memperoleh “ikan besar” secara instan tanpa perlu banyak kerja membuat kita
menjadi kurang bijak berhitung. Atau sebaliknya, kita mungkin bisa
hitung-menghitung resiko, namun mungkin karena pikiran sudah terlanjur
tersumpal dengan hayalan akan keuntungan berlipat ganda, kita jadi malas menghitung
lebih lanjut.
Nah, untuk penyebab pertama sebenarnya ada begitu banyak sumber
pembelajaran di sekitar kita. Berikut beberapa kiat sederhana yang bisa
dilakukan untuk meminimalkan resiko investasi bodong yang
ditawarkan kepada kita:
Pelajari Karakteristik Produknya
Jangan mudah percaya pada janji-janji manis
hasil investasi. Para penjual produk adalah mereka yang gagah, cantik serta
pandai berkata-kata untuk membuyarkan konsentrasi anda dari masalah sebenarnya,
keselamatan uang anda. Pelajari
secara seksama produk yang akan anda beli. Jangan hanya imbas hasil-nya saja.
Telisik juga resiko, rekam jejak perusahaan serta izin operasional atau izin
dari otoritas yang berwenang. Misalnya untuk asuransi pastikan telah terdaftar
pada OJK. Untuk perusahaan pialang perdagangan berjangka, telah terdaftar di
Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi). Kemudian untuk
perusahaan broker Saham telah terdaftar pada Bapepam (Badan Pengawas Pasar
Modal) dan lain-lain. Bila perlu minta referensi dari beberapa kawan yang telah
lebih dulu menggunakan produknya.
Hati-hati
dengan Iming-iming Imbas Hasil
High
Risk High Return, ini peribahasa klasik di dunia investasi. Dengan demikian
semakin tinggi imbas hasil yang dijanjikan biasa semakin besar pula resiko yang
menyertainya. Makanya lembaga keuangan
memilik divisi atau orang-orang khusus yang bertugas mengelola dana investor
serta mengawasi resiko yang terjadi. Kemudian lembaga investasi yang mengelola
resiko pada umumnya tidak serta merta mematok angka tertentu sebagai imbas
hasil investasi dari investornya. Mereka biasa menggunakan kisaran atau
ilustrasi imbas hasil, seperti yang biasa diberikan agen asuransi kepada
pemegang polisnya. Itu pun masih menambahkan catatan kaki tertentu. Misalnya, realisasi yang terjadi masih bisa lebih
tinggi atau rendah tergantung dari situasi dan kondisi perekonomian nasional.
Jadi hati-hati dengan mereka yang terang-terangan menjanjikan, misalnya 40% per
bulan seperti pada contoh kasus kita di atas.
Batasi Dana pada Investasi yang Bersifat Fluktuatif
Contoh-contoh instrumen investasi yang
bersifat fluktuatif misalnya reksadana, pasar modal, produk derivatif (forex, indeks saham, dll). Beberapa
pihak menyebutnya spekulatif, namun para pelaku investasi pada bidang tersebut
memilih kata yang lebih positif, fluktuatif. Tapi prinsipnya sebenarnya sama,
nilai tunai investasi kita sangat tergantung pada kondisi perekonomian baik nasional
maupun global. Jika perekonomian sedang ‘hijau’, imbas hasil investasi kita
bisa menanjak namun hal sebaliknya bisa terjadi jika ekonomi sedang lesu. Kita
mesti bijak, jika ada yang menawari produk investasi berbasis instrumen
tersebut. Prinsip diferensiasi produk investasi memang penting, namun prinsip
kehati-hatian juga penting. Jangan mengalokasikan dana terlalu banyak pada instrumen
investasi seperti ini jika kita tidak siap dengan resikonya. Memang tidak ada
teori pasti berapa rasio dana yang dapat kita alokasikan karena ini sangat
tergantung pada kemampuan keuangan dan kesiapan mental seseorang menanggung
resikonya. Namun untuk keamanan dana kita, sebaiknya rasionya tidak melebihi 10%
dari pendapatan rutin, atau 5%-10% dari total aset kita.
Waspadai Money
Game
Penipuan-penipuan ala money game dengan macam-macam modus sudah sering terjadi, namun
seringkali masyarakat masih jatuh pada lubang yang sama. Waspadai ciri-ciri modus
money game berikut: Janji keuntungan
tinggi, tidak ada produk yang dijual selain perputaran uang antar user (pengguna produk), sistem jaringan
untuk menggenjot user mencari user lain dengan janji keuntungan
berlipat, user awal masih bisa
menerima imbas hasil namun yang belakangan hanya menerima pahit-nya saja. Jika tawaran investasi yang datang sudah
terindikasi sebagai money game,
sebaiknya anda segera menjauh.
Demikian beberapa kiat sederhana yang bisa menjadi filter pertama saat ada tawaran investasi
menarik tersaji di depan kita. Memang tidak semua investasi menarik itu
bersifat bodong. Namun melihat fenomena yang terjadi dari waktu ke waktu di
tengah masyarakat, sebaiknya kita tetap mawas diri sehingga lebih bijak
mengambil keputusan sehubungan dengan keselamatan uang kita. Untuk membantu
kita berpikir, ingat, ada keringat (dan juga mungkin air mata) pada setiap sen uang
yang kita hasilkan. Jadi bijaksanalah mengelolanya. (PG)
_________________________
ilustrasi gambar: www.teropongbisnis.com
(h)
ReplyDelete